Bermuara

365 43 4
                                    

Happy Reading! ✨

Bagai derai hujan
Hapus semua jejak
Seluruh hal kelam
yang menyedihkan

Hujan pada malam itu turun dengan deras. Bulan bahkan tak menampakkan dimana dirinya berada. Hanya ada angin, awan dan hujan yang menemani malam yang sunyi itu.

Ditengah lamunan nya, suara pintu terbuka berderit mengalihkan perhatiannya pada langit. Sosok wanita paruh baya yang terlihat penuh dengan ambisi datang dengan membawa susu vanila kesukaan sang anak kesayangan.

Aura ambisi untuk mendapatkan kebahagiaan anaknya terasa sangat pekat. Menyeruak dalam ruangan yang satu-satunya menjadi tempat bersedih dirinya, kini terasa berubah. Suhu ruangan yang dingin, namun tak bisa mendinginkan hatinya.

"Sayang, boleh Mama masuk?" Tanya sang Mama.

Dia menatap sebentar pada Mama, lalu mengangguk dan kembali menatap langit yang masih menurunkan rahmat dari Yang di Atas.

"Ge, anakku," Panggil sang Mama.

Antara kemarahan dan kesedihan terpatri dalam diri nya melihat sang anak yang masih saja mendiamkan dirinya. Entah salah atau tidak dirinya bertindak, ini semata-mata untuk anak kesayangan satu-satunya. Tak salah jika orang tua memiliki keinginan agar anaknya bahagia. Ia kira, anaknya yang penurut tak pernah membantah dirinya akan ikut juga pada dirinya jika masalah cinta. Tapi nyatanya tidak.

"Boleh bicara sebentar?" Sang Mama mencoba peruntungan. Kali saja anaknya mendengarkannya kali ini.

Dia mengangguk, menghela nafasnya menenangkan diri bersiap kembali beradu argumen dengan sang Mama. Ini demi cintanya, demi kebahagiaannya. Sang kekasih juga sedang berjuang, maka dia juga harus berjuang. Ini untuk mereka.

"Ge, boleh dengarkan Mama? Mama hanya ingin kamu bahagia," Ucap Mama.

Lagi dan lagi kata itu terucap. Entah sudah berapa kali Mama nya bicara seperti itu, dia tak ingat. Baginya hanya angin lalu.

"Boleh," Ucap Gracia.

"Gracia, anak ku. Kamu anugrah terindah yang Tuhan berikan kepada Mama dan Papa. Kamu penyempurna hidup kami, sebelum ada kamu semua terasa hambar. Bagi Mama, Papa adalah orang tersabar yang menghadapi sikap Mama yang tak menganggap adanya Papa kamu. Karena suatu peristiwa akhirnya hadirlah kamu, kamu menjadi alasan terkuat Mama untuk membuka hati. Nyatanya, Mama selama itu menutup mata, seakan tuli sama seperti kamu sekarang yang tak mendengarkan Mama,"

Ucapan Mama nya membuat Gracia, gadis yang tengah duduk di pinggir Mama nya diam. Ya, dia mengaku hanya karena ini dia tak mendengarkan Mama nya. Tapi dia punya hak, tak seharusnya Mama nya selalu mengatur dirinya. Dia ingin kebebasan, apa arti bahagia jika tak bebas.

"Langsung ke inti aja," Ucap Gracia.

Dia sudah muak, dia ingin kebebasan.

Mama menghela nafasnya, apakah tak ada cara untuk menyadarkan anaknya? Apakah Tuhan sedang memberi nya ujian agar meningkatkan kepercayaannya pada-Nya? Setan mana yang merasuki anaknya hingga dia tak sadar apa yang dilakukannya, apa yang dirasakannya adalah hal yang terlarang?

"Gracia sayang, kita punya kepercayaan dan dia juga punya kepercayaan. Apa etis bagi kamu untuk mengambil dia dari Tuhan-nya? Apa etis bagi kamu meninggalkan Tuhan yang selama ini menemani kamu dalam susah? Memberikan kamu kasih sayang yang melimpah agar anak- Nya tak merasa kekurangan. Gracia, tiap agama punya aturan. Kita punya dan dia juga punya,"

"Sulitkah bagi Mama untuk menyebut nama Shani sekali saja?" Gracia memotong ucapan Mama nya. Dia tak terima, apakah se menjijikan itu se sosok Shani di mata Mama nya? Kalau saja keberaniannya se besar gunung, maka dia akan bertanya dengan nada keras kemana Mama dan Papa nya saat anak nya dalam keadaan susah? Kemana kasih sayang mereka? Tapi itu hanya ada dalam angannya.

Paillettes De VerreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang