CHAPTER 12 :

17 1 0
                                    

Apa kamu sungguh pernah mencintaiku? atau semua kepedulianmu sebatas palsu yang kini membuatku rindu.

Tidak ada hubungan yang selalu berjalan mulus, seperti hubunganku dengan Jordan. Kami putus lagi, keputusan itu aku yang pilih. Jika kalian bertanya apa aku pernah menyesal menjalin hubungan dengannya? jawabanku, tidak sedikitpun. Sebaliknya, aku menjalani hari-hari perpisahan kami saat itu dengan terus bertanya kenapa aku bisa mengambil keputusan itu dalam hubungan yang sungguh aku impikan. Jordan mulai lelah, dia tidak lagi punya cukup cara untuk mempertahankan hubungan kami saat itu. Menjadikan itu adalah putus kami yang kedua kalinya. Namun, aku masih memiliki keyakinan dalam diriku bahwa kami akan menemukan jalan untuk kembali bersama, Bahwa masih ada kesempatan untuk cinta tumbuh diantara kami.

Sepasang mata Jordan adalah hal yang aku hindari, bukan karena aku membencinya. Melainkan setiap kali aku menatap mata itu, aku jatuh cinta lagi.

"Dek, kamu kenapa?". tanya Leora di kelas melihatku pucat, meringis menahan kesakitan pada perutku yang tidak tau apa penyebabnya.

"Gatau, sakit". jawabku singkat.

"Saranku setelah kelas, ke klinik". tambah Cindy.

Aku mengangguk, meskipun aku tau bahwa aku tidak akan pergi ke dokter setelah kelas. Mungkin badanku butuh istirahat, bukan obat-obatan.

Ternyata dugaanku salah, perutku semakin sakit bahkan sudah dua hari aku tidak masuk kelas.

Aku yang masih termasuk baru di Salatiga dan tidak pernah berurusan dengan dokter sebelumnya disana, memutuskan untuk memposting di story menanyakan terkait dokter yang bagus untuk memeriksakan kondisiku. Ada yang tau dokter penyakit dalam yang bagus di Salatiga?. Bukan tanpa sebab aku langsung mencari dokter penyakit dalam, karena orang tuaku yang memintaku untuk langsung mencari dokter tersebut. Sungguh, malam itu perutku sangat kesakitan. Bahkan sudah berulang kali aku muntah dan tidak nafsu makan karena sakitku.

Tiba-tiba saja handphone ku berdering, telfon dari Jordan.

"Halo". ucapku pelan, menahan gemetar.

"Depan". jawabnya singkat.

Jordan langsung menutup telfonnya, membuatku langsung berlari keluar menemuinya. Benar saja, lelaki itu sudah berdiri di depan kosanku dengan menggunakan hoodie hitam. Begitu dia menoleh ke arahku, sekali lagi aku tidak bisa memalingkan pandanganku darinya.

"Kau sakit apa?". tanya Jordan.

Aku menunduk, "sakit perut biasa". jawabku.

Jordan tertawa kecil, seolah menghinaku. "sakit perut biasa tapi statusmu nyari dokter". katanya.

Aku tersenyum kecil, tidak mau menjawab pertanyaan Jordan yang nadanya terdengar menyudutkanku. "ayo ke rumah sakit". Jordan meraih tanganku, menariknya dengan cepat sehingga posisiku berpindah mengikuti langkahnya.

"Gak perlu". ucapku, melepas tangannya.

Jordan tidak bisa menutupi rasa kesalnya padaku yang tidak mau menurutinya, aku tau dia khawatir tapi tidak pernah terbayangkan di pikiranku bahwa dia akan mengucapkan suatu kalimat yang malam itu sungguh menyakiti perasaanku. "Kau penyakitan ya?". ucapnya dengan lantang, tanpa ada sedikitpun keraguan atau memikirkan perasaanku mendengar perkataannya. Semakin sakit rasanya ketika aku menemukan sepasang matanya, melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki saat berkata begitu.

"Iya aku penyakitan, jadi lebih baik kita putus kan? jangan sama aku, aku penyakitan". balasku pada ucapannya yang berhasil membuat air mataku menetes di depannya.

"Terserahmu lah". Jordan langsung pergi meninggalkanku begitu saja di depan kosanku.

Aku kembali ke kamarku, sungguh aku menangis mengingat perkataannya yang melekat erat dalam ingatanku.

Keesokan malamnya, Jordan datang lagi ke kosanku. Aku juga tidak tau kenapa aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melangkah menemuinya. Dari jauh aku sudah bisa melihat dirinya yang mondar mandir di depan. Begitu aku keluar, dengan cepat Jordan menghampiriku dan memelukku erat. Hangat, itu yang aku rasakan dalam dekapannya. Lelaki yang menyakitiku dengan perkataannya kemarin adalah penawar dari rasa sakit yang sama. Ternyata benar, terkadang orang yang melukai kita adalah orang yang sama untuk menyembuhkan kita.

"Aku salah, aku minta maaf. Aku salah udah ngomong kayak gitu kemarin ke kamu, aku kayak gitu karena aku khawatir sama kamu". ucapnya pelan.

Jordan melepas pelukannya, merapihkan rambutku yang sedikit berantakan karena buru-buru keluar menemuinya.

"Ayo kita periksa, pakai jalur orang dalam biar gak antri". katanya.

Aku tertawa, "Besok pagi, aku janji". balasku.

Jordan menatapku serius, "janji? tidak bohong? janji nurut kali ini sama aku pergi ke dokter buat periksa?". tanya lelaki itu pelan. Aku mengangguk.

Namun, besok pagi ternyata Jordan sudah harus kembali ke kota asalnya karena kami sedang libur semester. "astaga aku lupa, aku gak bisa nemenin kalau besok. Malam ini ayo".

Aku menggelengkan kepala, menolak. "udah malam, dingin banget di luar aku bisa tambah sakit kalau keluar semalam ini".

"Besok minta salah satu temanmu nemenin". katanya. Aku mengangguk setuju.

Jordan akhirnya berpamitan setelah memastikan aku akan pergi ke dokter besok, malam itu aku tau bahwa ada orang asing yang kini peduli padaku. "Jo". panggilku, dia menoleh. Dengan cepat aku menghampirinya, lalu mencium pipinya. "makasih". ucapku singkat, tersenyum padanya menunggu motornya perlahan menjauh dari kosanku.

Pagi itu aku memutuskan untuk pergi ke dokter ditemani oleh Cindy yang memang sedang tidak ada kelas di hari itu. Antrian yang panjang sudah cukup membuatku semakin sakit karena harus menunggu lama, untung saja ada yang menemaniku setidaknya untuk mengajakku berbicara dibanding harus fokus pada sakit di perutku.

Ting. Bunyi notifikasi dari layar handphoneku, menunjukan nama Jordan disana. Aku langsung menatap Cindy yang langsung diam dan tersenyum di sampingku.

"Kerjaan kamu, ya?". tanyaku mengangkat handphoneku, menunjukan padanya.

"Habisnya dia tanya ke aku, ya aku suruh langsung hubungin kamu". jawab Cindy.

Jordan

Apa kata dokter

Valerie

Belom periksa

Jordan

Ya udah

"Udah? gitu doang???". tanyaku dengan suara keras, membuat beberapa pasien yang sedang menunggu disana menoleh ke arahku.

Cindy langsung menutup mulutku, menjauhkan handphoneku sebelum aku banting. "Aku tau kamu emosi, dek. Ingat ini masih di dokter". katanya.

Setelah menunggu antrian sekitar satu jam, akhirnya aku bisa masuk untuk periksa. Asam lambung. Sakit yang terdengar sederhana, tapi bisa mematikan begitu mendengar penjelasan dokter. "punyamu bisa semakin parah kalau kamu tidak menjaga pola makan dan pola pikir kamu, karena asam lambung juga bukan sebatas telat makan. Kebanyakan pasien asam lambung itu justru karena pola pikir mereka, stress juga bisa buat asam lambung naik". kata dokter.

Aku mengangguk, "kamu sudah punya pacar? biasanya juga masalah percintaan sering jadi alasan remaja seperti kamu sakit". lanjutnya.

"Kita lihat perkembangan kamu dikontrol selanjutnya setelah mengkonsumsi obat yang saya resepkan, apabila tidak ada perkembangan kita akan melakukan endoskopi. Tindakan endoskopi itu nanti kami akan memasukan kamera ke lambung pasien, jadi lambungmu nanti saya periksa". jelas dokter.

Penjelasan dokter yang sederhana dan mudah dimengerti semakin membuatku takut, tentu saja aku akan meminum apapun obat yang dia resepkan asalkan tidak harus endoskopi. Aku tidak berani mengatakan penjelasan dokter itu kepada Jordan, dia bisa jadi lebih ekstra menjagaku dibanding sebelumnya jika tau tentang asam lambung yang ada pada diriku ini.

Terkadang aku masih merindukan perhatianmu saat aku sakit, yang kini sudah bukan lagi menjadi milikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KATA MEREKA INI BERLEBIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang