13. Terkuak

18 11 25
                                    

Aku suka melihatnya tertawa. Tapi kenapa aku merasa kesal jika alasannya tertawa bukan karenaku?

-Number of Time-

Suasana isak tangis melanda. Kabar meninggalnya wali kelas dua belas MIPA 1 benar-benar menggetarkan hati. Bu Kelly selalu menjadi penolong, penasehat dan teladan bagi setiap siswa. Ketika berita tiba-tiba itu menyebar, kekecewaan dan kehilangan terasa begitu mendalam.

Sepulang sekolah, langkah-langkah berat terdengar di jalan menuju makam bu Kelly yang baru saja dikubur. Siswa-siswi dua belas MIPA 1 tiba di sana dengan hati yang hancur.

Di antara mereka, Aiko dan Evelyn, yang telah menjadi seperti saudara karena pengalaman bersama dalam kelas yang sama. Mereka masih belum bisa mengendalikan emosi. Keduanya saling merangkul, mencoba menopang satu sama lain di tengah-tengah kepedihan yang dirasakan.

"Bu Kelly ... kenapa harus secepat ini ...." isak Evelyn dengan suara parau.

Aiko berusaha menenangkan Evelyn, meski dirinya sendiri juga hampir tak bisa menahan tangisan yang susah payah ditahan.

"Ikhlaskan bu Kelly ya, El. Kita harus berserah pada kehendak-Nya," balas Aiko sambil mengusap punggung teman sebangkunya.

Evelyn mengangkat wajah, air mata masih mengalir di pipinya. "Tapi, kenapa harus sekarang, Ai? Kita, kan, udah berencana untuk traveling bareng sama bu Kelly?"

Aiko mengangguk mengerti, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Iya, El. Tapi kita nggak pernah tau kapan saatnya tiba. Kita hanya bisa menerima dan berdoa untuk kebahagiaan bu Kelly di sisi-Nya," jawabnya, suaranya tetap lembut dan penuh pengertian.

Setelah acara mendoakan bersama selesai, suasana mulai surut. Dikarenakan rumah Aiko dan Evelyn berlawanan, mereka tidak bisa pulang bersama. Aiko tersenyum tipis pada teman sebangkunya sebelum keduanya berpisah di perempatan jalan.

Aiko berdiri di sana, memandang ke arah jalan yang mulai sepi, kebingungan tampak di wajah. Tiba-tiba, sebuah motor besar berhenti di hadapannya dan seorang cowok membuka helmnya. Itu adalah Rizky.

Aiko menghela napas panjang saat cowok itu menghampirinya. Ia menegajkan tubuh, memposisikan diri agar tidak terlalu dekat.

"Ada masalah, Aiko?" tanya Rizky sambil mendekat.

Aiko mengangguk ragu. "Aku bingung pulangnya gimana."

Cowok di hadalannya tersenyum. "Pulang bareng aku aja. Lebih cepat daripada menunggu angkot," tawar Rizky secara hangat.

Aiko mempertimbangkan sejenak sebelum akhirnya setuju dengan tawaran Rizky. "Baiklah, terima kasih, Rizky."

Senyum Rizky semakin melebar mendengar persetujuan Aiko. Ia memberikan helm cadangan untuk Aiko dan memakainkannya dengan lembut.

"Udah biasa bawa dua helm?" lontar Aiko, mencoba memecah keheningan.

Rizky menggeleng. "Hanya untuk kesempatan seperti ini, Aiko," timpalnya.

Aiko terkesiap, lalu tersenyum malu. "Terima kasih, Rizky. Ayo pulang"

Mereka berdua kemudian memulai perjalanan pulang, membawa senyuman di wajah masing-masing. Kedekatan mereka terlalu hangat, hingga tak menyadari seseorang dari kejauhan menyaksikan keduanya.

Tatapan Jin turun, menatap jaket hitam yang ada di tangan. Lalu, ia kembali mengenakannya. Jin menghela napas berat saat melihat kedekatan antara Aiko dan Rizky. Ia merasa sesuatu yang tidak pasti menghinggapi hati. Melihat mereka tertawa dan bahagia bersama membuatnya merasa lebih kesepian.

Number of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang