20. Pergi tanpa Pamit

8 4 0
                                    

Tak ada yang tahu kapan kematian itu datang.

-Number of Time-

Sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya Pak Yuji memuji dua muridnya yang berhasil memenangkan olimpiade tingkat Provinsi. Perasaan bahagia menyeluruh di dalam mobil, begitu juga dengan Aiko dan Rizky yang sukses membanggakan nama sekolah dan mendapatkan hadiah.

Senyum Aiko terus mengembang sembari menatap amplop coklat yang berada di genggamannya. Ia tak berhenti bersyukur karena kembali diberi rezeki oleh Tuhan dari perjuangannya sendiri. Aiko sangat tidak sabar memberitahu mamanya mengenai kabar kemenangannya ini.

"Aiko, apa yang kamu bicarakan sama Zefa-Zefa itu?" tanya Rizky memecah keheningan.

"Ah, itu ...." Aiko menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Dia cuma mengucapkan selamat kepadaku dan meminta tips mengerjakan soal secara cepat," jawab Aiko mengarang.

Rizky ber-oh panjang. Sedangkan Aiko menghela napas lega, beruntung Rizky mempercayainya.

Beberapa jam berlalu, mereka telah kembali ke SMA Radiant. Turun dari kendaraan beroda empat sambil membawa piala kejuaraan membuat seluruh pasang mata yang melihat berdecak kagum.

Pak Yuji menepuk pundak Aiko dan Rizky. "Untuk kalian berdua, saya berterima kasih sekali lagi. Silakan hadiah dibawa pulang, ya. Besok saya mau ajak kalian ke sebuah tempat, kita rayakan kemenangan ini, bagaimana?" tawar paruh baya itu.

Aiko dan Rizky mengangguk secara bersamaan. "Oke, Pak!" balas mereka kompak.

Sang lawan bicara mengembangkan senyumnya. "Kalian boleh pulang sekarang. Istirahat lah di rumah."

Dengan senyum yang melebar, Aiko dan Rizky saling melempar pandangan. "Baik, Pak. Terima kasih banyak," sahut mereka.

Pak Yuji kembali lagi ke ruang guru. Sedangkan Aiko dan Rizky berjalan menuju parkiran. Seruan semangat dari para murid di lorong membuat mereka ikut bahagia.

"Aiko, gimana kita pulang bareng, mau?" tanya Rizky.

Aiko menganga sejenak, tapi pada akhirnya mengangguk pelan. "Boleh."

"Ayo!"

Usai sampai di parkiran, Rizky mengeluarkan kendaraan beroda dua miliknya. Lalu memakaikan helm kepada Aiko seperti biasa. Mereka berdua bersiap untuk membelah jalanan di siang hari yang panas itu.

Momen Aiko dan Rizky yang berboncengan membuat para siswa-siswi berteriak histeris. Hal itu cukup memalukan bagi Aiko. Akan tetapi, ia berusaha untuk tak peduli.

Tak ingin memperpanjang waktu, Rizky sontak menginjak gas-nya menjauhi area sekolah.

Di sudut lain, tepatnya dari rooftop, seseorang menjadi saksi keduanya terlihat lebih dekat usai memenangkan olimpiade.

Jin tersenyum tipis. "Selamat, Aiko."

***

"Makasih banyak ya, Rizky. Mau mampir dulu ke rumahku?" tanya Aiko setelah memasuki gang perumahannya.

"Wah, boleh?"

"Enggak, lah."

Di balik helm full face-nya, Rizky menggerutu kesal. Sedangkan Aiko justru terkekeh. "Maaf, aku cuma bercanda."

"Kamu boleh mampir, kok. Ayo!" ajak Aiko kemudian.

Setibanya mereka di rumah Aiko, kondisi rumah yang ramai akan orang-orang membuat setengah tubuh Aiko terasa membeku. Ditambah lagi, bendera kuning yang tertancap di depan rumah membuat kaki Aiko terasa lemas untuk turun dari motor Rizky.

Rizky pun sama. Ia menghentikan motor sambil menatap kondisi rumah Aiko. "Aiko, ini ada apa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.

Aiko menggeleng sangat pelan. "A-aku nggak tau, Ky. Tapi ...." Ia turun dari motor, melepas helm dan melangkah dengan kekuatan yang tersisa. "Nggak, nggak mungkin ...."

Diikuti Rizky dari belakang, Aiko mendekat ke depan rumah. "I-ini ada apa, Bu?" tanya Aiko kepada salah satu warga di sana.

"Alhamdulilah kamu pulang juga, Aiko. Mamamu ditemukan udah tergeletak di depan rumah, setelah kami mengecek ternyata beliau udah nggak bernyawa," ungkap salah satu tetangganya.

Seperti tersambar petir yang sangat dahsyat, Aiko mati kutu di tempat. Kini, bukan hanya setengah tubuhnya yang melemas, tapi sekujur. "Nggak ... nggak mungkin." Mata Aiko mulai memburam. Buliran demi buliran hangat meluncur ke area pipinya. "Bu, tolong katakan ini semua hanya rekayasa. Iya, kan?" ujar Aiko yang masih tak percaya.

Paruh baya di hadapannya kontan mengelus pundak Aiko. "Aiko, ibu harap kamu bisa ikhlas dengan ini semua. Sudah jadi takdir Tuhan memanggil mamamu."

"NGGAK, NGGAK MUNGKIN. MAMA PASTI MASIH HIDUP!"

Aiko berlari masuk ke dalam rumah. Di sana, terdapat banyak orang yang tengah membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an sambil mengelilingi sebuah kain berwarna putih.

Ia kontan mendekat dan menjatuhkan lutut. Tangannya bergetar disertai tangisan yang mulai deras. Perlahan, Aiko membuka kain kafan dari atas yang menampilkan wajah seseorang. Itu adalah Nita, mamanya.

"MAMAAA!"

Tangisan Aiko pecah saat itu juga. Ia memeluk mamanya dengan erat sembari terisak hebat. "MAMA KENAPA PERGI SEKARANG, MA?"

"AIKO JUARA SATU OLIMPIADE, MA. AIKO MOHON, JANGAN TINGGALIN AIKO!" teriaknya histeris.

Ia memperlihatkan piala yang dibawa sedari tadi dan amplop berwarna coklat. "Ma ... lihat, ini buktinya. Aiko menang, Ma. Mama nungguin ini, kan, dari pagi ...." rintihnya.

"MAMA HARUS LIHAT INI, AIKO UDAH MENANG, MA. TOLONG BUKA MATA MAMA, AIKO NGGAK MAU DITINGGAL SENDIRIAN!"

Rizky yang berada di samping Aiko tampak berusaha menenangkan cewek itu. Ia merangkul pundak Aiko yang bergetar hebat.

"Aiko ... aku tahu ini berat buat kamu. Aku juga nggak nyangka banget, tapi kita harus ikhlasin mamamu, ya? Biar mamamu tenang di sana," kata Rizky dengan lembut sambil menyeka sudut matanya yang sedikit berair.

"Ky ... kenapa harus mendadak seperti ini? Aku belum siap, aku mau sama mama lebih lama ...." isak Aiko.

Melihat itu, Rizky kontan memeluk Aiko dengan erat. Mengusap puncak kepala cewek itu, memberikan kekuatan serta ketabahan. Aiko pun tak segan untuk menangis sejadinya di dada Rizky. Ia belum bisa menerima fakta menyakitkan ini. Semua terasa seperti mimpi.

Suasana dipenuhi oleh kabar duka. Aiko menarik tubuhnya dari dekapan Rizky. Ia menatap kembali wajah pucat milik mamanya yang terpampang di hadapannya. "Ma ... seharusnya hari ini Aiko nggak berangkat, seharusnya Aiko tetap di rumah untuk menjaga mama. Maafin Aiko, Ma!" teriaknya sambil menangis tersedu-sedu.

"Aiko, kamu nggak boleh menyalahkan diri sendiri. Nanti mamamu sedih melihatmu kayak gini," sela Rizky sembari mengelus pundak Aiko dengan lembut.

Aiko yang masih terisak kembali memeluk jasad mamanya. Hanya Nita satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Tidak tahu harus melangkah ke arah mana lagi, Aiko benar-benar ingin menghilang dari dunia ini sekarang. Tak ada yang tahu kapan kematian itu datang.

Kemenangan yang akan ia tunjukkan kepada sang mama justru mendatangkan sebuah kabar duka. Aiko meraih tangan Nita perlahan. Nomor yang ada di tangan paruh baya itu terpampang nol. Sialnya, Aiko tak menyadari sejak pagi tadi, nomor Nita terus berjalan semakin sedikit.

Aiko gagal melindungi orang yang ia cintai.

-Number of Time-

Salam hangat, Hanna Shimi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Number of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang