19. Kemenangan

9 4 0
                                    

Aku mengerti, manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi, apa kamu tahu kesalahanmu di masa lalu itu bisa saja membuat dunia orang lain hancur berantakan?

-Number of Time-

Nomor tidak dikenal.

Aku masih mencintaimu, Jin. Kumohon terima aku lagi.

Kita berdua masih bisa diperbaiki. Aku dan kamu masih bisa bersatu kembali, aku menyesal mengingat kelakuanku dulu ke kamu, Jin.

Pesan yang masuk bertubi-tubi itu membuat Jin mendengkus. Ia membanting tubuhnya sendiri ke atas ranjang. Sepulang dari rumah Aiko, tenaga Jin terasa terkuras lebih, pikirannya semakin kacau balau kala Zefa kembali datang ke hidupnya.

Setelah sekian lama Jin berusaha untuk melupakan, Zefa justru datang tanpa rasa bersalah. Kembali berhubungan dengan seseorang yang pernah membuatnya terluka bisa saja menjadi sebuah jebakan bagi dirinya sendiri.

Sela beberapa menit, Jin meringis menahan sakit yang tiba-tibe menyerang dadanya. Ia meremas pelan-berusaha meredakan rasa sesak yang melanda. "Kenapa dia harus datang kembali ke hidupku?" gumam Jin dalam keheningan kamar gelapnya.

Kemudian, Jin mengubah posisi menjadi duduk, mencoba mencari kenyamanan meskipun hatinya masih berkecamuk. Dengan punggung yang bertumpu pada kepala ranjang, ia mencoba menenangkan diri.

Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan-bayangan pikiran yang mengganggu. Suasana malam di rumahnya yang seringkali menyeramkan, tapi sekarang tidak Jin rasakan. "Bahkan, rumah ini terasa sepi dan dingin tanpamu, ayah. Tapi, inilah yang Jin inginkan, ketenangan tiap malam," bisik Jin, merenungkan kedalaman perasaannya.

Tangannya kembali menggulir layar benda pipih yang masih berada di genggamannya. Mata Jin menyipit saat melihat kalender digital yang menunjukkan tanggal yang 'spesial'. Ia menghela napas, lalu meletakkan ponselnya dengan perasaan campur aduk.

Jin menoleh, menatap sela jendela kamar dengan sinar bulan yang menyelusup, mencoba menemukan kekuatan dari keheningan malam. "Aku harus bisa bertahan," ucapnya dengan tegas, sambil menggenggam erat tekadnya untuk menghadapi tantangan yang mendera.

***

Langit pagi yang cerah, embun menyelimuti rumput dan aroma kopi segar memenuhi udara. Cewek berambut pendek itu tengah menaiki angkot yang akan menuju ke sekolah. Hari ini adalah hari yang penting bagi Aiko Masayu, olimpiade sudah ada di depan mata. Aiko adalah tipe siswi yang tak kenal menyerah, setiap malam ia terus belajar tanpa sepengetahuan mamanya.

Di dalam angkot, banyak adek kelas yang menyapa Aiko dengan hangat. Di antaranya juga memberikan dukungan kepadanya karena akan mengikuti olimpiade tingkat Provinsi. Dibekali do'a dari mama dan ketekadannya sendiri, Aiko merasa dirinya sangat optimis hari ini.

Senyumnya terus mengembang kala mengingat perkataan Nita—Mamanya, beberapa menit yang lalu sebelum Aiko berangkat. Paruh baya itu memeluk sambil berkata, "Semangat, Sayang. Mama tunggu kabar baiknya. Mama do'ain yang terbaik untuk anak Mama yang cantik ini. Mama bangga banget sama kamu. Hati-hati ya, Sayang. Jaga diri."

Lamunannya membuyar saat tiba di sekolah, Aiko disambut oleh senyuman guru-guru yang ditemuinya di area depan. Akan tetapi, seruan dari Rizky membuatnya menoleh.

"Aiko!"

Cowok tampan berlari mendekati Aiko dengan senyum mengembang. "Kamu udah siap?"

Number of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang