17. Kembalinya Masa Lalu

21 12 50
                                    

Ketika seseorang sudah memberikan luka di masa lama, mengapa orang itu datang kembali di saat korbannya sudah merasakan bahagia?

-Number of Time-

Sinar pagi membelai wajah Jin yang masih terlelap, mengusiknya dari alam mimpi secara lembut. Dengan mata terpejam, ia merasakan kehangatan matahari yang mulai masuk ke dalam kamar. Jin menguap pelan sebelum akhirnya meringkuk untuk turun dari kasur. Diiringi langkah gontai, ia berjalan menuju ke area depan rumah.

Tawa ceria dari luar mengiringinya keluar dari kamar. Jin mengikuti suara itu, langkahnya ringan seperti melintasi awan putih. Saat melangkah keluar, pemandangan indah menanti di halaman depan-Aiko dan mamanya tengah sibuk merawat tanaman-tanaman di taman kecil mereka.

Dengan senyuman tipis di bibirnya, Jin menghampiri mereka. Nita-Mama Aiko, langsung menyambut kedatangannya sambil melempar senyuman hangat. "Selamat pagi, Jin. Sudah bangun?" tanyanya ramah.

"Sarapannya ada di meja, ya. Sana cuci muka dulu, langsung makan aja," ujar Nita dengan lembut.

Jin mengangguk, tetapi ia justru sedikit termenung setelah mendengar Nita bicara. Suasana hangat antara Aiko dan mamanya mengingatkannya pada kehangatan keluarganya sendiri, yang kini jauh di sana. Dalam keheningan, Jin menghela napas panjang, yang pasti ia merindukan momen tersebut.

Namun, dengan tekad bulat, Jin membalikkan tubuh dan berjalan ke kamar mandi. Setelah bersih dan segar, ia menuju ke ruang makan. Melihat hidangan bubur ayam dan kerupuk di meja, rasaapar tak bisa dielak. Dengan selera yang menggairahkan, ia menikmati hidangan tersebut.

Setelah menyudahi makannya, Jin bangkit dari kursi. Pandangannya tertuju pada Aiko yang tengah memanjat pohon mangga penuh semangat.

Ia datang menghampiri dengan cepat. "Ada apa sampai kamu manjat-manjat begini?" tanya Jin, wajahnya penuh kekhawatiran.

Nita menoleh. "Aiko lagi metik buah mangga, Jin. Padahal dia nggak berani, tapi memaksakan diri," jawab Mama Aiko dengan raut wajah khawatir.

Nita menoleh. "Aiko sedang mengambil buah mangga, Jin. Padahal dia nggak suka ketinggian, tapi terus memaksakan diri," jawab Mama Aiko merasa cemas.

Jin mengernyitkan dahi. Lalu, ia mendekat ke arah Aiko secara hati-hati. "Aiko, turunlah. Kamu bisa jatuh," serunya sambil mendongak.

Aiko yang masih fokus pada mangga yang hendak diambilnya, refleks menunduk. "Udah hampir dapat, kok."

Namun, ketakutan Aiko akan ketinggian membuatnya tiba-tiba merasa pusing saat melihat ke bawah.

"AAAAAA, MAMA!" teriak Aiko sambil memeluk erat batang pohon di sampingnya.

Nita semakin khawatir. "Aiko, turunlah sekarang, Nak!"

"Takut, Ma!"

"Kalau takut, lompat saja, Nak!"

"NGGAK MAU, AIKO MOHON MAMA JAGA DIRI BAIK-BAIK, INI WASIAT TERAKHIR AIKO."

"Sayang, jangan tinggalkan Mama. Mama akan menelpon petugas pemadam kebakaran," balas Nita panik.

Mendengar percakapan antara seorang mama dan anak membuat Jin menepuk jidatnya sendiri. "Nggak perlu panik, Tante. Ayo, biar aku yang bantu," katanya sambil berdiri tepat di bawah pohon.

"Tante ambilkan tangga dulu, ya." Nita pun beranjak menuju ke belakang rumah.

Jin menghela napas dalam-dalam, matanya memancarkan ketegasan yang memaksa. Ia berjinjit, lalu menawarkan tangan ke Aiko. "Sekarang, turunlah. Ayo, pegang," desaknya.

Number of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang