Episode 5

392 32 1
                                    

FAHRI POINT OF VIEW

Belakangan ini aku nggak lihat Mas Raden, dia juga nggak mampir ke rumahku. Waktu itu dia nelfon kalau lagi sibuk sama kerjaan kantor, aku maklumin aja karena emang dia kalau udah kerja semua mau cepet selesai. Aku habis dari bank, ambil uang buat bayar uang tagihan sekolah Rehan. Sampai rumah aku langsung beresin meja lalu buka warung.

Belum juga selesai, ada mobil yang terparkir di depan warungku. Waktu orang yang di dalam keluar, aku secara spontan melihat kesana kemari kalau aja ada orang yang tau. Raka jalan dengan gagahnya menghampiriku.

“Belum buka?” tanya dia tanpa basa basi.

“Belum.” Jawabku.

“Mau aku bantuin?” tawar dia membuatku memandangi Raka. “Kayak dulu aku bantuin kamu.”

Aku melenguh, menghembuskan nafas setelah dia mengatakan itu. Raka tersenyum miring habis itu duduk di kursi. Dia ambil rokok di saku kemejanya, dinyalakan sama dia. Hembusan asap rokok begitu terasa sampai hidungku. Waktu aku beresin etalase, aku sempat ngelirik ke Raka. Dia masih aja ngerokok sambil lihatin aku.

“Ada perlu apa kamu kesini?” tanyaku.

“Ketemu partner lama.” Raka emang pintar kalau main kata-kata, dia nggak bisa diremehin gitu aja.

“Kita udah nggak ada hubungan lagi.” Balasku.

Raka mematikn rokoknya, dia berdiri kemudian jalan menghampiriku. Dia tiba-tiba aja meluk aku dari belakang, dagunya dia taruh di bahu kiriku. “Kata siapa?” aku mau ngelepasin pelukan Raka tapi dia semakin memojokanku.

“Raka, tolong jangan gini. Kita udah selesai.” Ujarku.

Tangan Raka semakin nakal, dia mencari putingku dibalik kaos yang aku pakai. Dipilinya sampai aku nahan desahan supaya nggak keluar. “Raka aahh udah hentikan.” Aku meminta Raka buat menghentikan perbuatanya tapi dia malah mencium leherku.

“Aku kangen sama kamu, desahan kamu, sama permainan kamu.” Bisiknya disamping telingaku.

Aku mencoba mendorong Raka tapi dia malah semakin berani. Jari tengah Raka dia masukan ke dalam mulutku sampai aku harus mengulum dengan paksa. Dibalik pantatku, ada yang megeras dengan terus digesekkan ke celanaku.

“Rak-mmhpp…” aku nggak bisa ngelawan saat dia dengan tiba-tiba menekan jarinya sampai aku nggak bisa bicara.

“Kamu mau kan balik sama aku lagi? Kamu bakal aku puasin, aku bakal bantu kamu perluas warung kamu.” Raka sama sekali nggak memberi ruang buat aku bicara, dia udah dikuasai sama nafsu. Sampai ponselku bergetar memperlihatkan nama Mas Raden di layar.

Raka melepaskanku, dia masih berdiri disampingku. “Kenapa nggak diangkat?” tanya Raka. Tanganku perlahan mengambil ponselku, aku angkat telfon dari Mas Raden sambil aku lirik Raka yang ngerokok lagi di depanku. Dia terus memperhatikanku.

“Halo Mas.” Sapaku.

“Kamu di rumah?” tanya Mas Raden.

“Iya, gimana Mas?” waktu telfonan sama Mas Raden, Raka semakin mengintimidasiku, dia menatapku penuh arti.

“Nanti aku habis pulang mau tidur di rumah kamu. Masakin ayam kremes bisa nggak? Lagi pengen nih.” Tawa akhir Mas Raden sama sekali berbeda denganku yang nggak tersenyum.

“Bisa Mas, nanti aku masakin. Pulang jam berapa?” aku kembali lirik Raka, dia masih menatapku.

“Jam empat kayaknya, kangen kamu pengen cepet pulang.” Raka mematikan rokoknya, dia berdiri lalu menarik aku.

“Mas udah dulu ya. Aku lagi beresin warung.” Aku tutup telfon sepihak karena Raka menarik aku masuk ke dalam rumah. Aku dibawa ke ruang tengah sampai dia dorong aku ke sofa. “Aduh.. kamu kenapa sih?”

Tanpa basa-basi, dia menciumku sampai aku mendorong bahunya. Raka tetap terus menciumku sampai memaksa lidahnya menyatu dengan lidahku. Begitu kasar yang dia lakukan sampai bajuku dia tarik ke atas. Waktu dia ngelepas ciumanya, dia beralih ke putingku.

“Aah.. Rak aku nggak mau.” Tolakku.

“Rakaaa.. mmpphh..” belum sempat aku bicara, dia kembali melumat bibirku, kali ini dia lebih liar dan lebih ganas. Aku sampai mukul dia karena saking nggak kuat buat beradu ciuman. Raka masih tetap Raka, dia nggak lepasin aku malah semakin menjadi.

Pukulanku makin keras, aku nggak mau tau kalau sakit atau enggak. Aku beneran udah nggak kuat. “Hah.. hah.. hah.. gila kamu.” Waktu Raka ngelepasin ciumanya, aku ambil nafas sebanyak-banyaknya, liurku yang menyatu dengan liur Raka sampai menetes keluar.

Raka mengusap bibirnya kemudian beralih ke bibirku. Aku tepis tangan dia karena aku marah sama apa yang dia lakukan. “Sorry.” Ujar Raka padaku.

Aku ngedorong dia kemudian pergi ke wastafel dapur buat basuh muka. “Aku nggak bisa ngontrol diri.”

“Kamu nggak seharusnya ngelakuin itu.” Balasku.

“Aku cuman mau hubungan kita balik lagi.” Aku membalikan badan menghadap Raka, dia jauh beda sama Raka yang tadi.

“Cukup Raka, aku udah nggak bisa balik kayak dulu lagi. Makasih buat semuanya tapi maaf sekarang aku punya kehidupan sendiri.”

Raka menghembuskan nafasnya, rambutnya dia sisir kebelakang dengan tangan kananya. “Apa yang bisa aku lakukan biar kamu mau balik lagi sama aku? Kamu mau semua hartaku? Mau masukin Rehan ke kampus ternama? Mau besarin warung kamu? Aku bisa bantu semuanya.”

“Ini bukan soal harta Raka! Aku udah ada orang yang nemenin aku selama ini.” Kataku.

Kami terdiam, lebih tepatnya Raka bersandar ke tembok. Dia nggak lagi bermacam-macam. “Aku bisa jadi orang kedua kamu.” Kata Raka.

“Jangan konyol, aku nggak mau.” Masih dalam keadaan kurang baik, suara Rehan pulang ngebuat aku cemas.

Tiba-tiba aja Rehan datang, dia nyapa Raka karena emang udah kenal dari dulu akhirnya Raka menyembunyikan wajah musamnya tadi. Dia Raka yang berbeda dengan Raka yang sebelumnya. “Mas Raka kok baru muncul?” tanya Rehan.

“Baru pindah kerja ke sini lagi. Sorry ya dulu ninggalin kamu sama kakak kamu gitu aja.” Aku menatap Raka sama Rehan yang lagi bicara.

“Namanya juga kerja Mas. Gimana di luar negeri Mas? Enak?” Raka ketawa sampai mengacak rambutnya Rehan.

“Nggak seru, nggak ada kamu.” Raka berjalan keluar sama Rehan ninggalin aku di dapur. Aku sejenak memejamkan mata, menyesali apa yang baru aku lakukan. Aku nggak tau bakal gimana kedepannya, kenapa denga Raka yang tiba-tiba datang ke aku padahal dulu kami hanya sebatas orang yang saling membutuhkan saja.

Aku sama sekali nggak pernah berharap lebih dari Raka. Aku tau kapasitasku dulu, aku khawatir dibilang doyan harta. Posisiku dengan Raka jauh berbeda begitu juga dengan Mas Raden.

---

RADEN: Sayembara Membagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang