Episode 9

336 31 1
                                    

FAHRI POINT OF VIEW

Seperti biasa, aku ke pasar buat belanja warung sama kebutuhan sehari-hari sendiri. Kalau biasanya ke pasar pagi cuman beli bahan masakan, kalau sekarang sekalian beli buat bakso sama mie ayam. Aku udah punya langganan jadi tinggal ambil. Membawa barang banyak ke dalam angkot emang butuh tenaga lebih.

Aku sampai rumah sekitar jam 10.00 pagi, baru turun dari angkot aku udah dihadapkan sama mobil orang yang aku kenal. Dia memarkirkan di depan warungku, Raka keluar dari mobil langsung menghampiriku yang sedang mengangkat wadah bakso.

“Sini aku bantu.” Ujarnya langsung bawa barang banyak menuju ke dalam rumah.

“Makasih.” Balasku saat barang belanjaan udah ditaruh di meja.

“Kalau mau belanja kan bisa bilang sama aku jadi nggak usah repot-repot naik angkot.” Kata Raka sambil menggulungkan kemeja biru yang dia kenakan.

“Nggak repot kok, udah biasa.” Jawabku entah terdengar ketus atau enggak. Kutatap Raka sambil membereskan belanjaan sampai Raka menatapku juga.

Aku mengalihkan pandanganku, mengambilkan minuman dari kulkas dan kuberikan ke Raka. “Kamu jangan lagi beli apapun buat Rehan.” Ujarku tiba-tiba.

“Emang kenapa? Rehan juga udah tak anggap adek aku.” Raka meminum minumanya, dia masih bersandar di meja.

Aku hiraukan dia, aku sibukan diri membereskan warung. Kutinggalkan Raka sampai dia ngerokok sambil lihat jalan depan. Aku lihat punggung Raka, rasanya aku ngelihat dia yang dulu. Berdiri di depan sambil lihat jalan. Waktu Raka menoleh ke belakang, dia langsung tersenyum.

Seketika aku sadar diri, aku balik ke warung. Menaruh bakso dan beberapa mie ke dalam etalase. “Aku mau nawarin kamu kerjaan lagi.” Ujar Raka.

Langsung aku menoleh ke dia. “Nggak, aku udah nggak mau lakuin itu lagi.” Balasku.

“Kamu sebegitu nyeselnya kerja sama aku?” aku menghentikan aktivitasku, kupandangi Raka yang juga melihat ke aku. “Tanpa aku, kamu nggak bakal buka warung ini.”

Aku terdiam, nggak bisa menanggapi ucapanya. Semua yang Raka katakan benar, aku nggak bakal bisa buka warung ini kalau dulu nggak kenal dia. Tau gitu aku bisa kenal sama orang lain aja. “Aku anggap itu utang.” Ujarku.

“Terus setiap kita main kamu anggap apa?” pertanyaan Raka ngebuat aku nggak nyaman banget. Aku menaruh keranjang bakso, berdiri di depan meja menatap Raka.
“Jangan pernah kamu ungkit masa lalu.” Tunjuku ke Raka.

Dia bermain lidah, membuang rokoknya sembarang. “Kamu bilang sendiri kalau kamu mulai nyaman sama aku, kamu yang bilang kalau kamu pengen hubungan yang lebih jelas, kamu..”

“TERUS KAMU JAWAB APA?” buat pertama kali setelah sekian lama, aku teriak ke orang. “Kamu cuman butuh badan aku doang, aku orang miskin yang cuman butuh uang kamu. Terus kenapa kamu balik kesini?”

Raka belum membalasnya sampai aku biarkan dia berdiri mematung ditempat. “Aku jawaban buat kamu.” Kutoleh dia yang menatapku. “Aku sadar kalau aku cinta sama kamu.”

“Telat.” Balasku. “Aku nggak mau balik lagi sama kamu, aku punya Mas Raden. Aku nggak mau nyakitin orang lain.”

Suara meja yang bergeser akibat tendangan Raka sempat membuat aku terkejut. Aku pikir dia udah mulai emosi. Raka melirikku, lalu pergi ninggalin aku gitu aja. Aku merasa lega sekaligus khawatir kalau sesuatu bakal terjadi sama Raka.

Siang ini aku di warung nunggu pelanggan, setelah tadi aku sama Raka adu mulut. Aku malah mikirin gimana dia sekarang. Saat aku lagi kalut sama pikiranku, Mas Raden datang langsung menciumku.

“Nggak kerja?” tanyaku karena lihat dia pakai baju biasa.

“Libur, kerja terus capek.” Mas Raden mengambil gorengan lalu memakannya satu.

“Mau kopi?” tawarku, Mas Raden mengangguk lalu kubuatkan kopi. Sewaktu menaruh kopi di depan dia aku lihat Mas Raden lagi pegang bungkus rokok.

“Punya kamu?” tanya dia ke aku.

Kulihat rokok yang dia pegang. “Bukan, aku aja nggak ngerokok.” Saat itu juga aku tersadar, aku lihat lagi bungkus rokok itu.

“Keknya aku pernah lihat, kayak punya..” aku menunggu Mas Raden bicara, nggak mungkin kan Mas Raden tau itu rokoknya Raka, mereka kan belum kenal. “Raka.”

Saat nama itu disebut, aku terkejut bukan main. Mas Raden kenapa bisa menyimpulkan nama Raka. “Raka siapa?” tanyaku penasaran.

“Rekan bisnis, kemarin meeting sama dia terus dia nawarin rokok ini.” Mas Raden menatapku, aku cemas bukan main. Nggak mungkin kan kalau yang namanya Raka hanya itu aja. “Kok kamu punya rokok ini?”

Waktu itu juga Raka datang disaat nggak tepat. Dia dengan santainya masuk warung hingga lihat aku sama Mas Raden. “Eh bro disini juga?” tanya Raka ke Mas Raden.

Maksud Raka menyapa Mas Raden itu gimana? Apa mereka kenal satu sama lain? Sejak kapan? Semua itu berkecamuk dipikiranku. Kulihat Mas Raden yang mulai berdiri. “Iya.. kok lo bisa ke sini?” Mas Raden menoleh ke aku lalu melihat ke Raka lagi.

“Rokok gue ketinggalan disini tadi.” Sial emang, Raka nggak bisa menyembunyikan sesuatu. Dia jelas-jelas seperti menantang Mas Raden.

Tentu saat itu juga Mas Raden menatapku penuh arti, tajam dan enggak ada raut wajah senang. “Tadi dia kebetulan lewat sini terus mampir.” Alasanku entah diterima atau enggak yang ada Mas Raden malah semakin mengerutkan dahinya.

“Aku lihat rokok ini di asbak ruang tengah rumah kamu.” Bagai disambar petir siang hari, aku terkejut dengan yang dikatakan Mas Raden. Aku menoleh ke Raka.

“Lo salah lihat kali.” Timbalnya Raka mencoba membantuku.

“Lo pikir gue bego? Rokok ini nggak sembarangan orang bisa beli!” suara Mas Raden sempat membuat beberapa pelanggan juga terkejut, aku menenangkan dia.

Mas Raden membanting bungkus rokok tersebut ke lantai. “Masuh ke dalam.” Suruh Mas Raden ke aku.

“Tapi Mas..”

“MASUK!” gertakan Mas Raden ngebuat aku takut buat ngelawan, Aku berjalan masuk ke dalam rumah sambil melihat ke belakang. Mas Raden masih ditempat tadi dia berdiri.

“Fuck!” suara keras dari depan terdengar sampai pintu masuk. Aku nggak tau apa yang Mas Raden lakukan, aku berharap ini bakal baik-baik aja.

---

RADEN: Sayembara Membagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang