Episode 21

376 39 4
                                    

FAHRI POINT OF VIEW

2 Minggu Kemudian

Rehan benar-benar udah tamat SMA, aku baru aja nerima surat kelulusan dari Rehan. Buat perpisahan katanya ada acara di sekolah tapi bukan wisuda, hanya acara perpisahan kelas 12 kata Rehan. Senang rasanya bisa lihat Rehan akhirnya menyelesaikan sekolahnya, tinggal sekarang dia lagi belajar buat lanjut kuliah.

Soal Mas Raden, dia sempat beberapa kali ke rumahku. Minta maaf kepadaku bahkan ke Rehan, hanya itu dan tidak lebih. Jujur aku kangen dengan Mas Raden tapi rasanya perasaanku masih belum bisa diobati. Terakhir dia ke rumahku seminggu yang lalu, mengantar beberapa makanan buat Rehan walaupun setelah itu aku mengancam kalau dia mau ketemu Rehan nggak usah bawa apapun.

Aku kembali ke rutinitasku, menjaga warung bakso bersama Rehan. Sekarang nggak cuman Rehan aja yang sering di warung tetapi Davin juga selalu ke rumahku. Aku tau Davin bakal ke luar negeri setelah ini jadi dia habiskan waktu bersama Rehan.

“Kak, ini bagus nggak sih?” tanya Davin memperlihatkan kucing putih di layar ponselnya.

“Bagus, punya kamu?” tanyaku.

Davin menggelengkan kepala. “Punya sepupu aku, katanya kalau mau diadopsi boleh tapi aku nggak bisa juga. Kalau Kak Fahri mau nanti aku bilangin.” Ujar Davin.

“Enggak ah, repot Vin udah ngurus Rehan nanti ngurus kucing juga dong.” Balasku.

“Coba mana aku lihat.” Rehan tiba-tiba datang mendekati Davin, dia menggeser foto-foto sampai kelewatan. Davin mendengus sebal karena ulah Rehan.

“Mau adopsi kamu aja, lucuan juga kamu.” Ujar Rehan membuatku menjauh dari mereka karena nggak mau ketularan bucinya Rehan.

Aku jalan ke dalam mau ambil tisu buat persediaan di warung. Baru aja keluar, mobil yang aku kenal terparkir di depan rumahku. Raka keluar dari mobil masih dengan baju kantornya, aku hanya lihatin dia sampai Raka menyapaku duluan.

“Mau bakso satu nggak pakai mie.” Ucap Raka.

“Iya bentar, duduk dulu.” Raka duduk nggak jauh dariku. Dia ngeluarin rokoknya, karena ada Rehan jadinya mereka ngobrol.

Selesai membuatkan bakso, aku bawakan ke Raka, dia makan terlebih dahulu. Aku lihatin dari tempatku berdiri, dia lahap banget seperti emang lapar. Aku jarang lihat Raka makan selahap itu, tiba-tiba aja Raka ngelihatin aku mendadak aku memalingkan wajahku.

Dia jalan menghampiriku, memberikan uang seratus ribu. “Kembalianya buat kamu.” Ujar Raka.

“Nggak, aku masih punya kembalian.” Raka menahan tanganku membuatku menatapnya.

Perahan Raka melepaskan tanganku, dia meminta maaf barulah aku memberikan kembalian tetapi Raka tetap nggak mau mengambilnya. Rokok yang masih terselip di jari-jari tanganya dia hisap lalu menoleh ke Rehan yang lagi ambil mangkuk kotor di meja.

“Jangan lupa besok ya Han.” Ujar Raka.

“Siap Mas.” Balas Rehan begitu semangat menjawabnya.

Raka kembali menolehku, dia tersenyum membuatku harus menelan ludah sembari salah tingkah. “Aku kerja dulu.” Raka pamit, dia kembali ke dalam mobilnya.

Setelah Raka pergi, aku tanya ke Rehan ada apa dengan Raka sampai bilang ke Rehan. “Mas Raka mau nganterin aku kontrol. Oh iya, kita nggak mau ngasih sesuatu buat Mas Raka gitu Kak? Kan Mas Raka yang bayarin dari awal aku di rumah sakit.”

Aku sampai lupa kalau selama ini Rehan berobat dibayarkan oleh Raka. “Besok Kakak pikirin.” Aku kembali ke dalam.

Malam itu setelah menutup warung aku membersihkan diri. Habis itu makan malam sama Rehan. Lanjut istirahat nonton tv, sesekali aku menghitung pendapatan uang kali ini. Aku bingung mau ngasih apa ke Raka, nggak mungkin aku ngasih sesuatu yang murah dengan pengorbanan dia yang banyak.

Entah ide darimana, sesuatu datang saat aku melihat iklan di tv. Barang yang dulu Raka suka mungkin bisa sedikit buat rasa terima kasihku ke dia. Malam itu aku tidur nyenyak menunggu hari esok yang entah akan seperti apa.

Paginya aku dikejutkan dengan Raka yang datang pagi banget ke rumah. Dia bahkan nggak ngetuk pintu tapi berdiri di depan. Aku, Raka, dan Rehan sekarang lagi ke rumah sakit buat kontrol Rehan yang terakhir. Selama perjalanan aku menatap ke Raka yang menyopir disampingku, dia hanya menggunakan kaos lengan pendek dan kemeja hitam polos.

Sampainya di rumah sakit, kami turun dan mengantar Rehan. Raka menunggu di luar sampai aku dan Rehan selesai. Setelah selesai kami kembali ke mobil, sebelum pulang aku mau bilang makasih ke Raka.

“Mau makan sate dulu nggak?” tanyaku ke mereka.

Raka menatapku, dia tersenyum membuatku ikut tersenyum juga. “Mau sih.” Jawab Rehan.

“Kamu doyan sate kambing nggak Han?” tanya Raka.

“Doyan aja Mas, masak nggak doyan sama makanan.” Balas Rehan.

“Yaudah kita makan sate kambing dulu.” Raka melajukan mobilnya ke suatu tempat, agak jauh dari rumahku tapi lumayan dekat dengan rumah Raka. Ini tempat yang sering kami datangi dulu waktu aku sama Raka masih ada hubungan.

Sesekali Raka menolehku membuatku canggung. Sampai di tempat, belum ramai akhirnya kami makan di tempat dulu. “Ini Han kesukaan Mas kalau pulang ke sini.” Ujar Raka.

“Oh Mas Raka suka sate kambing?” tanya Rehan.

“Suka banget, suka makananya, suasananya, sama orangnya.” Waktu kata terakhir keluar, Raka mentapku membuat aku mengalihkan pandanganku.

“Ehemmm. Harusnya aku nggak ikut kali ya.” Rehan malah menggodaku, dia duduk disampingku memainkan ponselnya membuat aku dan Raka berhadapan satu sama lain.

“Makasih ya udah bantu Rehan, aku nggak tau mau ngasih kamu apa.” Ujarku ke Raka.

“Udah tanggung jawabku, nggak usah mikirin mau ngembalikan uang.” Tegasnya ke aku.

“Iyaa, sekali lagi aku mau bilang makasih buat kamu.” Ujarku ke Raka.

Sate yang kami pesan udah datang, seketika Raka langsung menyantapnya dengan lahap begitu juga dengan Rehan. Sate kambing ini selalu jadi makanan favorit Raka, awalnya dia nggak suka tapi aku yang maksa dia buat mencobanya. Sejak saat itu Raka selalu meminta sate kambing apalagi sebelum malamnya aku dibawa ke rumah dia.

Selesai makan, kami segera pulang ke rumah. Mereka berdua udah pulas di sofa karena kekenyangan. Aku meninggalkan mereka ke dalam kamar, waktu mau ganti baju aku melihat tumpukan baju milik Mas Raden. Nggak tau harus kuapakan baju itu, Mas Raden juga nggak mau mengambilnya.

Baru mau keluar, Raka udah di depan kamarku. Dia menatapku seperti orang mabuk. “Makasih kamu masih mau ingat soal itu.” Ujarnya.

“Sama-sama, aku juga makasih buat bantuan kamu ke Rehan.” Balasku.

“Apa artinya aku punya kesempatan lagi?”

---

RADEN: Sayembara Membagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang