Episode 20

294 35 0
                                    

FAHRI POINT OF VIEW

Aku masih duduk di ranjang milik Raka. Aku tau kalau aku pingsan, bahkan aku masih memikirkan semua hal yang ada di kepalaku saat aku sudah bangun. Kedatangan Raka membuatku menoleh kepadanya, dia duduk disampingku membawa mangkuk berisi bubur.

“Makan dulu.” Raka hendak menyuapiku tapi aku menggelangkan kepala. “Kalau nggak makan nanti kamu sakit.”

“Aku mau jenguk Rehan, kasihan Davin sendirian.” Ujarku ke Raka.

“Nanti dulu, kamu makan terus istirahat bentar ya.” Raka kembali mau menyuapiku, akhirnya aku mengikuti apa yang dia katakan. Aku memakan bubur yang dia bawa,

“Maaf ya soal yang tadi.” Ujarku meminta maaf kalau saja Raka menjadi tidak nyaman.

Raka nggak membalas, dia masih terus menyuapiku sampai aku meminta buat memakan buburnya sendiri. “Aku yang harusnya minta maaf.” Kata Raka. Aku menatapnya, saat itu juga Raka menatapku balik. “Udah lupain aja.”

Raka duduk melihat ke jendela yang memperlihatkan pemandangan langit sore menjelang malam. Aku habiskan makanan yang tadi dibawa Raka, kuletakan di meja samping ranjang. Aku melihat Raka yang masih setia duduk menemaniku.

Kalau dipikir-pikir, Raka sama Mas Raden itu sama aja atau aku yang terlalu banyak drama. Semua orang pasti mengalaminya kan? Tapi kurasa apa yang aku lakukan semua gara-gara ulahku.

“Kamu beneran mau putus sama dia?” tiba-tiba Raka menanyakanku soal Mas Raden, dia menoleh ke aku.

“Iya.” Jawabku.

Raka menyentuh punggung telapak tanganku. “Kalau butuh sesuatu bilang sama aku.” Ujarnya.

“Makasih, tapi aku mau sendiri dulu.” Balasku, begitu aku seperti tau apa yang Raka mau. Bukanya aku terlalu percaya diri tetapi apa yang dia lakukan selama ini terus menghantuiku.

Raka tersenyum, senyumanya begitu manis. “Kapanpun kamu siap, aku juga siap buat nerima kamu lagi. Buat kali ini biar kamu sembuh dulu, aku bakal ada buat kamu kalau butuh sesuatu. Selama ini aku nunggu kamu, nggak mungkin aku nyerah gitu aja.”

Andai waktu bisa berputar kembali, aku pengen kembali disaat aku masih sendiri. Entah nanti bertemu dengan siapa yang jelas aku ingin hidupku baik-baik saja. “Bisa anterin aku ke rumah sakit?” tanyaku ke Raka.

“Bisa.” Jawabnya sambil tersenyum.

Sekarang aku udah di rumah sakit, kulihat Rehan sudah lebih baik bahkan luka di wajahnya mulai menyusut. Davin masih setia di samping Rehan, bukan karena Davin yang enggak mau pergi tapi tangan Rehan yang terus menggenggam erat telapak tangan Davin.

Aku sedang merapikan baju, tadi aku sudah tanya ke dokter kalau Rehan udah bisa pulang besok. Raka pergi setelah nganterin aku, entah kemana aku nggak tau. Aku duduk di kursi sesekali mendengarkan Rehan sama Davin bicara.

“Tadi Mas Raden ke sini.” Waktu Rehan menyebut nama Mas Raden, sontak aku berhenti melipat baju. “Kak Fahri ada masalah sama Mas Raden?” tanya Rehan.

Aku perlihatkan wajahku ke Rehan, aku menggelengkan kepala. “Enggak ada apa-apa.”

“Mas Raden tadi minta maaf ke aku, padahal Mas Raden nggak salah apa-apa. Terus Mas Raden titip salam buat Kakak juga.” Ujar Rehan membuatku teringat soal Mas Raden.

“Nggak salah kan kalau orang mau minta maaf. Kakak tinggal dulu ke belakang ya.” Pamitku ke mereka berdua.

Aku keluar dari kamarnya Rehan, saat itu juga setelah aku menutu pintu, aku melihat Mas Raden tepat berdiri di samping pintu kamar rawat Rehan. Kami saling memandangi satu sama lain tapi kami juga sama-sama diam.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Mas Raden.
Aku menggelengkan kepala, membuatnya tersenyum tipis melihatku.

“Aku mau minta maaf. Buat kamu ataupun Rehan.” Aku hanya bisa mendengarkan ucapan Mas Raden, Aku ambil duduk di kursi sebelah, Mas Raden juga ikut duduk disebelahku.

Sempat Mas Raden mau menyentuh tanganku, tapi karena aku sadar lebih dulu akhirnya aku menyingkirkan tanganku. “Aku nggak mau kayak gini terus sama kamu.”

“Kita udahan aja Mas.” Aku menoleh ke Mas Raden, dia juga menoleh ke aku. Wajahnya terlihat lelah entah kenapa Mas Raden seperti enggak bisa membalasku. “Aku tau ini bakal berat buat kita, aku mau sendiri dulu.”

“Apa kamu nggak mau nyoba bertahan sebentar?” aku menggelengkan kepala. Mas Raden menghembuskan nafasnya lalu menyandar di dinding. Telapak tanganya menutupi wajahnya.

“Aku masuk dulu.” Kutinggalkan Mas Raden diluar sendiri. Ini mungkin bakal jadi pertemuan yang terakhir, aku nggak mau lihat Mas Raden sementara waktu. Aku masih belum menerima kenyataan ini.

Malam ini Davin pulang, membuat aku yang menjaga Rehan seperti kemarin malam. Aku sedang bantu Rehan dari kamar mandi. Setelah dia tiduran lagi, aku menarik selimut tapi Rehan malah tiduran agak kesamping.

“Tidur sini aja Kak.” Suruh Rehan menunjuk sebelahnya.

“Enggak ah, kamu kan lagi sakit. Kakak juga bisa tidur di sini.” Balasku.

“Sini aja, aku kangen tidur samping Kak Fahri.” Kata-kata Rehan mampu membuatku tersenyum, akhirnya aku luluh juga.

Aku naik ke ranjang yang sebenarnya ukuranya nggak terlalu besar. Aku dan Rehan sama-sama tidur menghadap langit-langit. “Kalau rumah kita dirampok lagi nanti kita pindah aja.” Ujar Rehan tiba-tiba.

“Emang kamu punya uang?” tanyaku ke Rehan.

“Nanti kalau udah kerja pasti punya.” Jawabnya.

“Beli rumah itu mahal loh Han, apalagi di kota bisa dua kali lipat.” Rehan terkekeh membuatku melirik dia.

“Kalau aja kita lahir di keluarga kayak Mas Raden, Mas Raka, atau Davin. Kira-kira sekarang kita lagi apa ya?” random banget Rehan bukanya tidur malah main tanya-tanya.

“Bersyukur aja Han kita masih bisa hidup cukup, nggak perlu jadi kayak mereka. Hidup udah ada garisnya sendiri loh Han.” Kataku.

“Misalnya aja loh Kak.”

“Kamu tuh ya bukanya tidur malah mikir yang aneh-aneh.” Aku menarik selimut, satu selimut buat berdua.

“Belum ngantuk.” Sepertinya Rehan yang biasa udah datang lagi. Kadang aku mikir kalau Rehan sakit ada senengnya juga, soalnya dia bisa tidur awal nggak begadang terus.

“Yaudah, Kakak mau tidur dulu.” Aku membalikan tubuhku membelakangi Rehan tapi bukanya mataku terpejam malahan aku nggak bisa tidur. Aku pikir buat fokus sama Rehan biar bisa kuliah lebih baik daripada aku terus-terusan mikirin soal hubunganku sama Mas Raden.

Lagipula aku udah mutusin Mas Raden, nggak mungkin aku mau meralat kata-kataku. Aku udah sepenuh hati buat pisah sama Mas Raden. Demi aku yang lebih baik lagi.

---

RADEN: Sayembara Membagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang