Episode 10

291 28 1
                                    

FAHRI POINT OF VIEW

“Sejak kapan kamu kenal sama dia?” setelah aku masuk ke dalam rumah. Mas Raden menanyaiku banyak hal. Dia terbawa emosi sampai tanganya terus-terusan mengepal. “Kamu pacaran sama dia belakang aku hah?”

“Mas jangan nuduh sembarang, aku nggak pacaran sama Raka.” Jawabku.

“TERUS KAMU KENAL DARIMANA?” lagi-lagi Mas Raden menendang sofa disampingku, dia berjalan kesana-kemari sambil bertolak pinggang.

“Kamu nggak perlu tau semua hal Mas.” Mendadak Mas Raden manatapku tajam, dia berhadapan denganku penuh intimidasi.

“Terus kamu anggap aku selama ini apa?” tanya Mas Raden. Dia melirihkan suaranya hingga aku nggak berani mengeluarkan sepatah katapun. “Anjing!“

“Kamu hanya perlu tau, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Raka.” Ujarku.

“Sebelumnya kamu punya hubungan apa sama dia?” aku menoleh ke pintu depan, entah Raka masih disana atau enggak. Aku nggak bisa jelasin ke Mas Raden soal aku sama Raka sebelumnya.

“Kalau kamu nggak jelasin semua, aku anggap kamu selama ini bohong sama aku.” Mas Raden ninggalin aku pergi keluar, beberapa saat kemudian aku dengar barang terjatuh. Mendadak aku cepat-cepat ke depan.

Waktu kulihat Mas Raden sedang memukul orang dilantai, orang itu tidak lain adalah Raka. “Mas Raden stop! Mas!”

Aku merelai mereka tapi mendekatpun aku susah, Raka melawanya sampai meja disisi mereka jatuh terbalik. “ASU!” pekik Mas Raden kemudian aku tarik sampai akhirnya mereka bisa dipisah beberapa menit kemudian. “Cuih!”

Keduanya sama-sama babak belur, aku mendekati Mas Raden yang masih menahan emosinya. Kejadian siang itu membuat aku harus menutup warung buat sementara. Apa yang dilakukan Mas Raden ke Raka berdampak buat kedepannya. Raka aku suruh pergi setelah perkelahian ini terjadi.

Kini aku lagi duduk berhadapan dengan Mas Raden, aku bawa kompresan air buat membersihkan luka diwajahnya. Napasnya masih terengah-engah, Mas Raden nggak mau menatapku.  Terdengar samar-samar dari bibir Mas Raden saat aku mengenai goresan luka.

“Apa yang kamu lakuin tadi tuh bisa dilaporin ke polisi Mas.” Kataku tapi nggak dibalas sama sekali sama dia.

“Achh..” sudut bibirnya terkena air lumayan banyak, luka sobek itu mendadak dipegang dengan tangan kanan Mas Raden.

“Bentar aku olesin obat dulu.” Dengan telaten aku mengolesi luka Mas Raden dengan obat. Tapi masih aja dia nggak menatapku padahal jelas-jelas kami saling berhadapan.

“Aku belum cerita sama kamu tapi kamu udah bikin masalah kayak gini. Gimana aku mau cerita sama kamu kalau nantinya bisa bikin bahaya.” Kataku.

“Udah.” Mas Raden menepis tanganku yang lagi mengoles obat ke lukanya. Dia memakai jaketnya lagi lalu berdiri.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Bukan urusan kamu.” Mas Raden pergi gitu aja, dia masuk ke mobilnya melaju entah kemana. Aku hanya bisa melihat Mas Raden pergi menjauh dari rumahku. Sekarang aku dirumah sendiri, membenarkan barang-barang yang tadi kena imbas dari perkelahian dua orang itu.

Malam ini aku sama sekali enggak semangat, bahkan Rehan sampai tanya tapi aku bilang nggak ada apa-apa. Aku pergi ke kamar buat istirahat setelah menyelesaikan tugasku. Dalam kamar aku sampai bertanya ke diri sendiri kenapa semua bisa terjadi diwaktu yang bersamaan. Apa yang aku lakukan sampai aku harus nerima semua ini.

Nggak terasa kesedihanku larut hingga aku tertidur, aku bangun dengan keadaan yang kurang baik. Aku langsung bersih-bersih rumah, karena hari ini akhir pekan dibantu Rehan bersihin halaman rumah. Aku sampai nggak berniat buka warung, aku masih kepikiran kejadian kemarin.

Sehabis membuang sampah, mobil Raka kembali datang di depan rumahku. Dia keluar masih dengan luka yang tersisa kemarin, Raka menghampiriku. “Kamu nggak apa-apa?” tanya dia.

Aku tatap dia dengan tajam. “Kalau kamu nggak datang kemarin nggak bakal terjadi kayak gitu.” Aku tinggalkan dia berdiri di depan.

“Emang salah aku sayang sama kamu?” kata Raka sedikit lebih keras. “Bukanya aku bilang aku bisa ngelakuin apapun?”

Aku menoleh ke dia, kulihat Raka masih menatapku. “Aku nggak butuh bantuan kamu.” Ujarku.

Raka berdecih. “Apa baiknya dia daripada aku?”

Kulirik dia tapi aku malas buat berdebat dengan Raka.”Kamu nggak tau apa-apa soal Mas Raden.” Aku tinggalkan Raka buat masuk ke dalam rumah.

Aku masih dengar suaranya saat dia mengatakan sesuatu yang buat aku memejamkan mata. “Kamu bakal butuh aku suatu saat nanti, kamu bakal tau semuanya. Aku cuman nggak mau lihat kamu kecewa lebih dari kamu kecewa sama aku.”

Setetes air mata jatuh melewati pipiku. Aku usap sampai bersih. Rasa sakit dihatiku kembali hadir, rasa kecewaku saat dulu terasa lagi. Raka, orang yang buat aku memahami soal cinta pergi disaat aku jatuh ke dalam godaanya.

Aku berjalan menuju dapur membersihkan wajah dengan air wastafel. Aku singkirkan terlebih dahulu soal Raka dan dunianya. Aku melanjutkan aktivitasku, saat aku memasak sendiri, Rehan datang berdiri disampingku.

Aku menoleh ke Rehan begitu juga dia melihatku. Rehan mengelus punggungku membuatku berhenti mengiris wortel. Aku peluk Rehan begitu juga dia memelukku. “Aku bakal disamping Kak Fahri kalau Kakak butuh sesuatu.”

“Makasih ya Han.” Aku lepaskan pelukan Rehan melanjutkan memotong wortel.

“Tadi pagi Mas Raka tanya aku makanya dia datang sepagi ini ke rumah.” Aku hanya bisa dengerin Rehan bicara, aku tersenyum ke Rehan habis itu nggak aku balas. “Maaf ya Kak gara-gara aku jadi gini.”

“Enggak, bukan salah kamu Han.” Balasku.

“Aku nggak tau kalau Mas Raka..” Rehan menghentikan bicaranya. “Suka sama Kakak.” Rehan hanya sebatas mendengar percakapan tadi, dia nggak tau lebih soal aku dan Raka.

Aku menyuruh Rehan buat mengepel lantai, akhirnya aku bisa sendiri lagi. Aku menyelesaikan pekerjaanku, kemudian sarapan bareng Rehan. Selesai sarapan aku menonton tv entah mau ngapain aku merasa enggak semangat.

Suara seseorang membuatku menoleh ke depan. Aku keluar dan lihat ada orang dengan penampilan modis berhadapan denganku. “Iya, cari siapa?” aku seperti kenal orang ini tapi lupa mengingatnya.

“Aku dengar sekitar sini ada warung bakso enak tapi tutup ya?” tanya dia.

“Iya, maaf ya kami lagi tutup.” Balasku.

“Yah, yaudah deh.” Saat kami berbicara, seorang supir datang menghampiri kami lebih tepatnya orang yang di depanku.

“Mas Jaya ditunggu Pak Ardi di kantor sekarang.”

---

RADEN: Sayembara Membagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang