Masakan Tetangga

32 4 2
                                    

Sore itu Arya berlari cukup kencang menuju kos-kosannya. Beruntung halte busway Trans Jogja tidak jauh dari sana, kakinya tidak perlu berotot hanya karena jadi atlet lari jarak pendek. 

Baru saja, Dewa mengirimkan pesan, kabarnya tetangga memberi hasil masakannya. Mungkin ini lah yang namanya rezeki anak kos. Tentu Arya tidak mau kehabisan makanan gratis itu. Lantas ia sumringah melihat jarak ke kos-kosan Bu Harini kian mendekat. 

Mantan mahasiswa arsitek itu memang sialan, dia sengaja menggoda Arya untuk segera datang. Jika tidak, makanan yang dimaksud dihabiskan olehnya. Sebagai yang paling muda diantara ketiga anak kos Bu Harini, tidak membuat Dewa sungkan terhadap dua seniornya. 

Napas Arya tercengat melihat pagar sengaja dikunci.

"Dew!"

Pagar besi itu berdenging dan bergetar diketuk oleh Arya.

"Bu, Bu Harini!" teriaknya lagi.

Wajah Dewa berseri menyambut teman satu rumahnya. Kedua kaki pria itu menari-nari di atas batu-bata yang tertata rapih sebagai jalan menuju gerbang, sedangkan tangannya meraih pengait di bawah dan membuka pintu gerbang yang tingginya sepinggang.

Dewa tampak gembira mengerjai kakak tingkatnya yang satu ini. Alasannya sederhana, Arya yang jarang berbicara dan tidak pernah menunjukkan perasaannya justru menggila hanya karena masakan tetangga. 

"Kelamaan," celoteh Arya selagi masuk ke area halaman.

"Mas, yang penting itu gua niat bukain pagarnya buat lo."

"Tapi lama."

Tawa kecil Dewa terdengar bersamaan dengan gesekan kakinya, mereka berjalan bersama menuju rumah kos-kosan. Bu Harini memiliki dua rumah, satu di kiri sebagai bisnis kos-kosannya, lalu yang kanan digunakan sebagai tempat tinggalnya bersama anak.

"Wah, bakmi ketoprak." Wajah Arya begitu cerah, seperti mendapatkan suatu hadiah ketika membuka ikatan kantung plastik di meja makan.

"Loh, tahu? Gua aja gak ngerti tadi waktu Jelita jelasin."

Kakak tingkatnya itu menarik keluar kotak makan plastik dan dibukanya dengan perlahan, aroma bumbu menguak menggugah selera. Kemudian, ditutupnya kembali. Ia pandang sosok Dewa di sampingnya dengan kepala sedikit miring, tanpa sengaja karena tengah berpikir.

"Dari siapa?"

"Jelita, Mas."

"Jelita?"

"Yes. Itu loh, anaknya Pak RT."

Arya mengerenyit. "Yang mana?"

"Emang anaknya Pak RT berapa sih?" tanya Dewa dengan garukan di tengkuk.

Baik Arya maupun Dewa sama-sama tidak tahu perihal keadaan warga sekitar. Pasalnya mereka hanya fokus dengan kuliah, anak kos, tagihan dari Bu Harini, dan satu anak kecil yang selalu mengisi waktu luang.

"Yang jelas anaknya cewek, Mas."

"Ya, tahu."

Arya buka tutup kotak makan tadi secara penuh, lalu membagi isinya sedikit di atas piring. Sadewa pun mengambil piring lagi dan menunggu Arya meletakkan bagiannya.

"Ambil sendiri."

"Ya ampun, Mas. Tolong lah," lirih pria itu, tidak lupa bibirnya cemberut dengan mata berbinar. Memaksa Arya menyetujui permintaanya.

Satu suapan masuk ke dalam mulut Arya, sementara Dewa menunggunya dengan bibir terbuka lebar. Sulit baginya menahan diri agar air liur tidak jatuh secara sembarang, wangi masakan masuk ke dalam rongga hidung Dewa, pikirannya melayang membayangkan rasa masakan tetangga itu. Namun yang lebih utama saat ini, Dewa sangat penasaran dengan reaksi Arya.

AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang