Ajakan Pertama

22 1 0
                                    

Warga sekitar rumah Jelita berkumpul di rumahnya, kabarnya ingin membahas sesuatu yang penting. Tentu dengan adanya Pak RT, pertemuan ini dipimpin olehnya. Sementara anak tunggalnya bergabung dengan anak muda lainnya. Tanpa rencana, ia duduk di samping Arya.

Memikirkan bagaimana file "Catatan Pribadi" itu begitu nyata membuat Jelita semakin nyaman memandang Arya sedekat ini. Memperhatikan mata Arya yang tidak begitu besar, bibirnya mungil dan sedikit tebal, lalu poni rambutnya yang disisir ke depan. Penampilan sederhana Arya cukup membuat Jelita terpesona.

Kamu beneran suka aku, Ar?

Pikirannya itu membawa Jelita pada satu ide. Mungkin mereka bisa lebih dekat, lalu pada akhirnya pria itu mau mengakui perasaannya.

"Arya, besok ada acara nggak?"

Bagai disambar geledek, Arya diam seribu kata. Bahkan geblek di tangan tidak jadi ia gigit hanya karena pertanyaan sederhana.

"Yah, sayang sekali dikacangin," ejek Dewa.

Panji pun jadi nomor satu perihal mengejek teman satu kosnya. "Waduh, kacang mahal ya?"

"Mahal banget, Ji. Pilus, rebus, polong, semua perkacangan lewat," tambah Indri di akhir.

"Eh, nggak ya dia lagi mikir. Ya kan, Ar?"

Arya berdeham. "Emang kenapa kalau kosong?"

"Nggak tau."

Arya langsung menoleh. "Kenapa gak tahu?"

"Gapapa, mau nanya aja."

Tatapan Arya semakin intens melihat dua manik di depannya, sesekali dua lingkaran itu redup tertutup bulu mata lentiknya.

"Kalau nanya harus ada dasar," jelas Arya. Suaranya terdegar tenang, tidak marah juga tidak senang. Datar saja.

"Berarti kalau model pertanyaan kamu suka aku apa nggak, juga harus ada dasarnya?"

Suara tepuk tangan Panji terhalang oleh ributnya para Bapak dan gelak tawa mereka. Tepuk tangan itu adalah apresiasi atas keberanian Jelita.

"Wow! Sangat to the point," komentar Panji.

"To the point kenapa?" balas Jelita.

Tawa Indri sudah tak tertolong, ia sembunyikan tubuhnya dibalik punggung Jelita sembari meneruskan tawanya. Kadang tangannya usil meraih pinggang Arya.

"Ndri!" katanya sambil mendorong tangan Indri.

"Santai dong, Ar. Gak usah salting gitu."

"Siapa yang salting?" balas Arya, sengaja suaranya ia buat kesal agar Indri percaya dengan omongannya. Namun, apa daya jika Indriyani Yosita profesional dibidang mengejek, menyindir, menertawakan, dan menggosip.

Tidak sabar dengan jawaban Arya, Jelita pun mencoleknya hingga sang pria menoleh. Mata mereka bertemu, Jelita langsung mengalihkan pandangannya. Bagaimana pun juga, Jelita tidak pernah bisa melihat lawan bicaranya secara langsung.

"Kamu jawab dong, Arya."

"Harus dijawab?"

Jelita berusaha menguasai dirinya, ia tegapkan tubuh agar siap menjawab Arya. "Iya, besok ada acara gak?"

"Kenapa nanya?"

"Soalnya mau lihat hasil wawancara kemarin."

Begini lah mereka, satunya enggan menjawab sedangkan yang lain memaksa bertanya.

"Setelah rapat sama anak majalah."

"Apa?" tanya Jelita.

"Apanya yang apa?"

AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang