Hujan Di Ujung Tahun

31 2 3
                                    

Hai! Aku paling gak bisa bikin kalimat pembuka yang bagus, padahal pengin banget sapa pembaca:')

Semoga cerita Asmara membekas di hati kamu. Memang slow banget ceritanya, tapi aku percaya sebuah proses.

Enjoy! Jangan lupa beri komentar dan tekan tombol bintangnya.

Kali ini agak panjang, semoga tetap nyaman dibaca yaa.

★★★

Asmara terjadi ketika manusia tertarik untuk mengenal seseorang lebih dari sekedar manusia biasa. Namun, jalan pikiran manusia dan hak untuk merasa egois pun menjadi hambatan terbesar ketika sejoli menjalin kasih.

Ada yang begitu lemah ketika ekspektasi tidak sesuai dengan realita, juga ada yang tidak peduli karena manusia kesayangannya tidak pernah menghargai cinta yang ia beri. Katanya menjalin kasih itu harus setara sayang dan kasihnya, lantas apakah itu bagian dari ekspektasi? Bagaimana jika ternyata sang kekasih di luar ekspektasi itu?

"Belum dibalas Arya, Jeng?" tanya Indri sebelum menyantap soto di atas meja. Sambil cemberut dengan ponsel dalam genggaman, Jelita mengangguk pelan.

"Wah, ini nih! Masuk hashtag Rekomendasi By Sadewa! Apa nama sotonya?"

Dewa sempitkan pandangannya demi membaca nama warung makan yang mereka kunjungi sebelum sampai di Semarang. "Soto Segeer ... Hj. Fatimah! Oke, gua catat!"

"Isi pikiran lo makan mulu," komentar Panji.

"Mas, Mas, Mas, bahagia karena makan itu bahagia paling sederhana. Makan itu nomor satu! Kalau gak makan, kita gak punya energi loh. Harus dihargai!"

Adit dengan makanan yang belum ditelan dalam mulut ikut berkomentar, "Eh, tapi Mas Sadwa-"

"Sadewa woy," protes si pemilik nama.

"Iya, itu deh. Mas kalau ngomongin makanan bisa sampai ke akar-akarnya! Gua inget banget, lo pernah bahas nasi kucing, Mas. Asal usul, tetek-bengeknya dibahas. Terus rasanya dipilah satu-satu. Anjir, udah kayak dokter bedah makanan lo, Mas!"

Lirikan Jelita mengarah pada tusuk sate dalam genggaman Adit yang menari-nari saat pria itu berbicara, maka ia raih pergelangan tangannya luntuk sekedar menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

"Eh, hehe. Maaf, Kak."

Jelita hanya bisa tersenyum dalam gelengannya, kemudian kembali memandang layar ponsel yang belum berganti sejak tadi. Nama "Arya(Kelas Sabtu)" yang diberikan sejak awal mengenal pria itu tak kunjung diganti. Beberapa kali pemiliknya terdeteksi online, tapi dalam waktu singkat tanda itu menghilang.

Wajah murung Jelita membawa tanya bagi Adit. "Mas Arya kenapa sih? Kok gak mau balas Kakak?"

Panji melirik seraya mengetikan sesuatu di ponselnya. "Lagi ngambek ya, Jel?"

"Hah? Masa mau disamperin malah ngambek?"

Panji berdecak. "Gua nanya, Jel. Siapa tahu tadi malam kalian berantem, kan gua nggak tahu."

Mendengar penjelasan Panji, Jelita pun semakin melebarkan potensi-potensi dari alasan mengapa Arya tak kunjung menjawab pesannya sejak kemarin. Barangkali Arya sibuk membantu kedua orangtuanya. Bisa saja ia repot membantu kakaknya, Amira Liandini si influencer di Instagram.  Atau ... entah lah. Memikirkan berjuta-juta alasan membuat napsu makannya hilang.

Lantas apa yang terjadi pada pria berstatus batu itu? Apakah benar seluruh praduga yang ada dalam benak Jelita?

"Ar," suara wanita paruh baya mengalun lembut di telinga, sentuhannya begitu hangat di kepala anak bungsunya.

AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang