Bab 3. Kemiskinan Ini

15 5 0
                                    

"Kalau nggak punya duit, ngapain sok-sokan nyekolahin anak ke SMK Swasta?"

Percayalah, sudah beberapa kali kudengar sindiran itu dari para tetangga. Mulutku seolah gatal ingin menjawab: tanyakan itu pada yang namanya zonasi.

Aku bukannya nggak berusaha masuk ke sekolah negeri. Tapi, apa mau dikata? Sekarang sistemnya memakai zonasi. Sedangkan aku hanya anak ngontrak, yang levelnya di bawah anak kos.

Gakin? Aku tahu apa itu gakin. Kata orang, itu adalah tiket emas. Namun sayangnya gakin sama sekali nggak berguna untukku. Bagaimana bisa? Yah, mari kuceritakan sedikit.

Aku mendaftar SMA Negeri terdekat dengan rumah kontrakan. Yang paling dekat berjarak dua kilometer, asal kalian tahu. Tak lupa, aku juga memilih sekolah lain, SMK Negeri, sebagai pilihan ke dua. Jaraknya hampir tiga kilometer. Dan, pilihan ketigaku, SMK Harapan yang adalah sekolah swasta paling murah sekotamadya.

Meski menggunakan gakin, aku tercatat sebagai calon murid dari luar kota. Sementara kuota penerimaan murid baru dari luar kota amat sangat terbatas. Dan ternyata, nggak cuma aku yang menggunakan gakin dan berasal dari luar kota. Ada banyak calon murid lain yang sepertiku dan mereka mengincar SMA yang sama. Nilai mereka tinggi-tinggi pula. Jadi, yah, aku tereliminasi. Begitu pula dengan pilihan sekolah ke-duaku. Mau nggak mau, aku harus menerima nasib. Mungkin aku memang ditakdirkan sekolah di SMK Harapan, yang benar-benar menjadi harapan.

Aku menghela napas panjang saat teringat sindiran itu. Pernah suatu ketika tetangga depan rumah menasehatiku agar menikah dengan orang kaya saja daripada sekolah, apalagi katanya aku cantik. Saat itu aku bilang padanya bahwa memang aku akan mencari suami yang kaya, tua, nggak punya pewaris, dan bentar lagi koit. Namun, aku menambahkan, biasanya orang kaya itu pintar, dan susah dijebak. Jadi, aku perlu sekolah untuk belajar bagaimana caranya meracun tanpa ketahuan, apalagi saat mayatnya nanti diuji forensik. Aku juga bilang padanya bahwa mungkin aku butuh eksperimen dahulu, dan tetangga yang nyinyir lumayan oke untuk dijadikan eksperimen. Sejak itu setiap aku lewat, dia memanggil anaknya yang masih balita dan membawanya masuk rumah.

Udara dingin menyusup ke sela-sela dinding rumah kontrakanku yang hanya dari papan kayu. Adapun tembok, hanya setengah sisi bagian saja. Ibu belum pulang, meski waktu sudah menunjuk pukul delapan malam. Toni, adikku yang masih kelas 2 SMP main entah ke mana. Aku di rumah sendiri.

Kutata jadwal untuk besok. Nggak lupa, kuperiksa ada PR atau tidak. Meski nggak ada PR, tapi aku ingat besok ada ulangan Matematika. Tepat ketika kubuka buku Matematika, pintu rumah berderit. Aku mengintip. Ternyata, Ibu sudah pulang.

Rumah kontrakanku kecil, hanya seluas tiga puluh meter persegi, terdiri dari ruang depan, satu kamar, dan dapur. Kamar mandi ada di luar. Biasanya Ibu dan aku tidur di kamar sedangkan adikku bebas. Dia biasa tidur di mana saja, termasuk rumah temannya, juga kolong jembatan. Tapi, pas tahu dia tidur di kolong jembatan, ibuku marah.

"Lun, sudah makan?" tanya ibuku menyelonjorkan kaki di lantai. Ia meraih remot televisi dan menyetel saluran kesayangannya. Aku mengintipnya sejenak dari pintu kamar. Kulihat profil Ibu dengan pilu. Ibuku terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya. Beberapa helai uban tampak di rambutnya yang mulai menipis. Tubuhnya kurus. Wajahnya cukup cantik seandainya terawat, tetapi Ibu nggak pernah sempat merawatnya sehingga matanya tampak cekung, kulitnya kendur, bibirnya kering. Beliau memakai setelan kusam saat bekerja dari rumah satu ke rumah lain untuk mencuci dan setrika.

"Sudah, Bu," jawabku kembali menekuri buku. Tak lama kemudian, Ibu masuk ke kamar, lantas duduk di sampingku. Dia melongok singkat ke buku Matematika yang kubaca. Aku menoleh padanya. "Ada apa?"

Dia mengelus punggungku. "Kapan uang PKL-mu harus dibayar?" tanyanya.

Aku mengernyit, mengingat uang yang harus dibayarkan untuk keperluan praktek kerja lapangan. "Masih bulan depan, Bu. Kenapa?"

Hati-Hati Beda LevelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang