Kututup pintu dengan tergesa. Aku belum siap menunjukkan rumahku yang jelek kepada Ara dan Ken yang tiba-tiba datang. Jantungku rasanya mau copot. Aku nggak tahu harus berbuat apa.
"Lun? Kok ditutup?" Ara mengetuk pintu seng-ku.
"Gu—"
"Kita khawatir sama lo, udah beberapa hari nggak masuk. Lo sakit apa?" timpal Ken.
Kubuka pintu perlahan. Kuintip mereka. "Gue belum mandi."
"Gue juga belum." Ara mendesak masuk. "Lagian, masih jam empat." Ken mengekori. Mereka duduk di lantai, berselonjor dengan santai.
"Gue belum mandi dari pagi," kataku.
"Kalau gitu, lo jorok," sahut Ara melepas tas selempangnya. "Gue minta minum, dong! Lelah tau, nanya orang-orang di mana rumah lo."
"Alah, yang nanya kan gue. Dari tadi lo cuma diem aja," tukas Ken mengipas-ngipaskan amplop ke muka.
"Sori, gue nggak punya kursi. Kalian jadi duduk di lantai."
"Di lantai malah adem. Tapi, lo punya air, kan? Putih aja, deh."
"Oh." Aku segera mengambil gelas dan air untuk mereka. Setelah mereka puas minum, aku ikut duduk dan bertanya, "Ngapain kalian ke sini?"
"Kita khawatir sama lo. Kenapa nggak sekolah?" Ara menautkan alisnya. Dia mengamatiku. "Lo nggak sakit parah, kan?"
Aku menggeleng.
"Tuh, kan? Udah gue bilang, Luna tuh nggak sakit badannya, tapi hatinya."
"Sok tahu!" Ara menempeleng Ken. "Emang iya?"
Kugelengkan kepala.
"Trus, kenapa nggak sekolah?"
Aku mendesah. "Gue malu."
Ken dan Ara saling berpandangan. "Malu kenapa?"
"Kalian nggak lihat? Ada banner dengan foto gue jualan jamu di gerbang sekolah."
Gadis tomboy itu merengut. "Kenapa malu? Lo kan jadi model, Lun?"
"Model madul?" sahutku kesal.
Ken dan Ara saling berpandangan lagi. "Sebenarnya apa yang membuat lo malu, Lun?"
Kurentangkan tangan dengan pasrah kemudian jujur pada mereka. "Kemiskinan. Kalian lihat? Kursi untuk duduk tamu aja gue nggak punya. Gue takut semua orang tahu kalau gue miskin. Gue takut bakal dikucilkan karena miskin, sama kek SMP dulu."
"Kalau gitu, gue juga bakal dikucilkan dong?" sahut Ara. "Lo pikir gue kaya?"
"Setidaknya lo berkecukupan, Ra. Lah, gue? Buat beli kuota aja harus nabung dulu dari uang jajan. Iya, semiskin itu."
"Emangnya lo pikir gue enggak? Mo pakai celana dalam aja, gue jahit sendiri, Lun."
"Mo bayar PKL aja, gue harus dagang flanel dulu."
"Lah, gue aja belum bayar PKL. Masih utang."
"Ini kenapa pada miskin-miskinan, sih?" tukas Ken.
"Habisnya, Luna tuh, masa gitu aja minder?"
Aku memutar bola mata. "Lo nggak ngerasain gimana sakitnya jadi tong sampah, Ra. Makanya lo gampang aja ngomong kek gitu."
"Lah? Kenapa terima kalau dikata sampah? Lo nggak nyuri, nggak ganggu orang lain. Lo bukan sampah masyarakat. Kalau ada yang bilang gue sampah karena miskin, gue bakal tantang dia buat duel."
"Tong sampah, Ra! Bukan sampah masyarakat. Gimana perasaan lo kalau dikasih barang rongsok, barang sisa, seolah-olah lo nggak bisa beli sendiri karena miskin? Apa itu nggak merusak harga diri lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Teen FictionDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...