Bab 10. Dusta dan Dusta

8 2 0
                                    

Bioskop itu dingin. Begitu dingin hingga rasanya tanganku membeku. Yash dengan sangat pengertian—atau memang mau cari kesempatan—menggenggam tanganku. Dia juga menarikku mendekat hingga kepalaku bersandar di bahunya.

Bukan film romantis yang kami tonton, melainkan film thriller.

Yash memaksa menonton film romantis tadi, tetapi sayangnya dia juga ngebet milih kursi belakang. Katanya kalau tidak duduk di belakang, matanya bisa sakit. Menurutku, itu hanya alasan.

Karena kursi belakang sudah penuh dan harus menunggu pemutaran pada jam selanjutnya yang tentu saja kesorean, maka kami putuskan untuk ganti film saja. Dan yang ada hanya film thriller. Jadi, terpaksa kami menonton itu.

Pada adegan pertama, kami sudah disuguhi pembunuhan dan darah.

"Kenapa?" tanyaku menoleh pada Yash. Dia terlihat pucat.

"Nggak apa-apa," katanya. Matanya memandang kursi depan kami. Aku mengikuti arah pandangnya. Di kursi depan, di sela-selanya, sepasang sejoli muda tampak berciuman.

Aku segera menatap apa pun selain mereka dan Yash. Untungnya, lampu bioskop redup, hanya cahaya dari layar besar saja yang menyinari, kalau tidak mukaku pasti tampak semerah tomat.

Ketika layar menampilkan adegan menagangkan, Yash menggenggam tanganku erat. Kulihat raut wajahnya semakin pucat. Kutautkan jemariku pada jemarinya. Kusandarkan kepalaku pada bahunya.

Aku melirik dua sejoli tadi yang masih saling memangut bibir.

"Popcorn-nya nggak dimakan?" tanyaku pada cowok itu.

"Nggak kuat," katanya menatapku. "Gue benci darah."

"Ya udah, nggak usah ditonton."

"Nonton lo aja kalau gitu." Dia mendekat.

Aku terdiam. Kutatap matanya yang cokelat. Kulitnya tampak mulus. Dia semakin mendekat hingga napasnya terasa hangat di pipiku. "Lun," bisiknya mengelus rahangku. Jempolnya mengusap bibirku dengan lembut.

Aku terlena. Sesaat, aku menginginkannya. Namun, ketika sadar di mana levelku berada, aku menunduk, menarik diri dan menggeleng.

Yash menarikku, memaksaku menatap matanya sekali lagi. "Kenapa?"

Kugigit bibir saat teringat 'warung pinggir jalan' Ceysa.

"Ibarat hujan, cinta gue ke lo itu bagai air yang turun, banyak," bisiknya.

"Ibarat hujan juga. Saat air itu turun, gue meneduh. Cinta lo terhalang."

Dia mengernyit. "Bisa gitu, ya?"

Aku mendengus. Dia melepas tangannya dari wajahku, mengenyakkan punggung ke kursi, kembali menyimak film. Sembari tersenyum, kutarik lengannya mendekat, lalu kusandarkan kepala ke bahunya. Kutautkan jemari lebih erat.

Yash hanya diam. Matanya terfokus pada layar. Aku teringat kata Ken kemarin yang bilang kalau pemuda itu kecewa, dia hanya akan diam. Apa Yash kecewa padaku?

Kulirik wajahnya. Dia masih bergeming. Ketika film mencapai puncak ketegangan, tanpa berkata apa-apa dia bangkit, lalu keluar ruangan.

"Yash!" pekikku. Kusambar tas, dan kukejar dia. Aku celingak-celinguk saat keluar ruang bioskop. Sekelebat, tampak seragam putih abu-abu Yash berbelok ke arah toilet. Bergegas, aku mengikutinya. Kuintip toilet khusus laki-laki. Karena yakin kosong, aku pun masuk.

"Yash!" panggilku ragu.

Salah satu bilik toilet terbuka. "Mbak, toilet cewek di sebelah," kata seorang cleaning service keluar membawa pel.

"Maaf." Kuputuskan menunggu di depan pintu toilet.

Tak berapa lama, Yash keluar. Dia bersandar di tembok sampingku. Wajahnya terlihat amat pucat.

"Lo kenapa?" tanyaku khawatir.

Dia mengambil tasnya dari tanganku. "Gue mual lihat darah di film tadi."

Aku mendesah. Kupikir dia kecewa padaku. "Ya sudah, kita istirahat dulu. Lo pucet banget. Apa perlu gue beliin obat?" Aku menuntunnya duduk di sofa empuk depan ruang bioskop.

"Nggak usah. Nanti juga baikkan." Dia duduk dengan lemas.

"Lo fobia darah?" tanyaku.

"Enggak, kok, Yank," katanya mengelus pipiku. Aku ingin protes, tetapi bukan saat yang tepat. Dia lantas melanjutkan, "Sori ya, harusnya bisa nikmati kencan pertama kita."

"Yash—"

"Sekali aja, lo iyain gue." Dia memelukku.

Oke, sekali saja, batinku. Kubalas pelukannya.

***

Aku menyesal mengibaratkan cinta Yash degan hujan. Seolah sebuah kutukan, hujan beneran turun ketika kami pulang. Baju seragam kami basah, sepatu pun basah. Tas? Apalagi. Tapi kuharap, buku-buku kami nggak basah. Yash mencopot sweternya dan memaksa aku memakainya. Namun, kutolak. Karena pertama, aku sudah memakai jaket beludru. Kedua, Yash tampak amat pucat. Kuyakin dia sakit.

Setelah sampai ke halte tempat biasanya aku menunggu bus, Yash berkeras ingin mengantarku pulang. Sejujurnya aku ingin mengajaknya sekadar meneduh di rumah hingga hujan berhenti. Tapi, aku terlampau malu dengan keadaan rumahku yang jelek. Aku pun yakin atapnya pasti bocor, dan lantainya banjir. Aku nggak mau dia melihat betapa miskinnya aku hingga bakal menjauh karena jijik. Aku terlanjur trauma.

"Emang di mana rumah lo?" tanyanya.

"Masih masuk gang," tunjukku pada gang sempit.

"Gue numpang neduh bentar, dong."

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Motor nggak bisa lewat," dustaku.

"Bohong."

"Udah, ya, makasih udah ngajak gue nonton." Aku berlalu. belum sempat melangkah, Yash menarik pergelangan tanganku.

"Kenapa gue nggak pernah lo ajak ke rumah?"

Kulepas cengkeramannya. "Nggak apa-apa. Ibuku nggak suka aku pacar-pacaran."

"Tapi, gue kan bukan pacar lo," katanya. "Belum," tambahnya mengoreksi.

"Lain kali aja. Lagian ini hujan. Lo harus cepet pulang."

"Apa lo suka sama tetangga lo?"

"Apa?" tanyaku mengernyit. "Enggak."

"Trus?"

"Ibu gue galak."

Dia meraih tanganku lagi, lalu menempelkan ke dahinya. "Gue demam, Lun. Masa lo tega nyuruh gue hujan-hujanan. Rumah gue jauh."

Aku menggigit bibir sekejap. Lantas mengerang. "Maaf, gue nggak bisa. Pokoknya lo harus pulang."

Aku meninggalkannya.

"Luna, lo kok tega, sih?" Dia merajuk. Aku mengabaikannya.

Saat aku berbalik, dia sudah melajukan motornya. Aku hanya bisa berdiri menatap kepergiannya. Kusesali keegoisanku. Kata maaf beberapa kali terucap di bibir atas ketidakberdayaanku.

Di bawah guyuran hujan, air mataku ikut luruh. Ketika aku sampai di rumah, kulihat genangan air membasahi lantai. Barang-barang tampak basah, juga berantakan. Jemuran yang mengantung di depan rumah juga basah. Aku duduk di tengah pintu menatap rumah sempit berdinding papan yang sudah reot ini dengan nelangsa. Kutumpahkan semua air mata. Bagaimana bisa kemelaratan ini kutunjukan pada Yash, sementara aku yang menjalaninya saja merasa malu.

***


Hati-Hati Beda LevelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang