Ramalanku benar. Semuanya. Suatu saat, aku pasti akan dihukum karena melanggar sekat antara aku dan Yash. Aku sudah menduganya jauh sebelum kumenerima cintanya. Namun, yang nggak kuduga adalah bahwa hukuman itu rasanya sakit. Amat sakit.
Aku pulang bersama Toni setelah dia lolos dari Satpol PP yang tengah mengamankan para pengamen, tanpa menjelaskan apa pun kepada Yash. Saat kutinggalkan, dia hanya mamandangku dalam diam. Air mata nggak bisa kubendung lagi. Bahkan, setelah turun dari bus pun aku masih menangis.
"Mbak?" Toni mengikutiku.
"Diam!" Aku membentak.
Setelah masuk rumah, kurebahkan tubuh di kasur, lantas meringkuk. Aku ingin sendiri, nggak mau diganggu.
"Ada apa?" tanya ibuku pada Toni. Taruhan, dia nggak akan bisa bercerita apa-apa karena kalau tahu dia mengamen, Ibu nggak akan memberinya ampun.
Aku benci keadaanku. Aku benci ketidakberdayaanku. Seharusnya, aku tak berjualan lagi. Seharusnya, aku nggak usah bayar uang PKL sekalian. Seharusnya aku nggak menyukai Yash biar rasa sakitku ini nggak begitu besar.
Bagi kalian yang nggak mengerti rasanya jadi aku, akan mudah saja menyuruhku untuk bilang jujur apa adanya kepada Yash. Tapi, percayalah, itu sulit. Aku teringat teman-temanku dulu yang mengucilkanku ketika SMP. Mereka merendahku. Saat jajan pun, kalau ada sisa, dikasihkan ke aku, seolah aku nggak punya cukup uang untuk membeli jajanan sendiri. Aku bagai sampah di mata mereka. Dan itu membuatku tersiksa.
Meski sekolah di SMK, tetap saja aku masih remaja, yang harusnya nggak perlu susah-susah mikirin besok ada ongkos untuk ke sekolah atau nggak? Bisa bayar SPP bulan depan atau nggak?
Awalnya kupikir kalau punya uang, segala permasalahanku selesai. Tetapi, saat mengintip sedikit kehidupan yang dijalani Yash, aku sadar bahwa aku keliru. Dia sama menderintanya seperti aku. Dia bahkan dituntut lebih keras daripada remaja lainnya. Sebenarnya kami semua sama. Tapi, kenapa aku begitu pengecut sedang dia tidak? Jawabnya jelas, Yash tak pernah dikucilkan. Dia selalu dicintai teman-temannya.
Kulihat ponselku yang hening. Fotoku dan Yash saat di danau menjadi wallpaper. Air mataku kembali mengalir ketika teringat saat-saat indah bersamanya. Bagaimana dia menggodaku dengan gombalannya yang norak, bagaimana dia mencuri-curi kesempatan untuk berdua di sela prakerinku.
Kubaca lagi pesan-pesannya yang segaja nggak kuhapus. Saat membaca sekali lagi pantunnya yang konyol, aku tersenyum, lantas menangis. Bahkan, isakku kali ini terdengar lebih keras. Dadaku sakit, teramat sakit hingga rasanya sesak. Aku menangis sampai lelah lalu tertidur.
***
Sisa PKL yang tinggal dua hari kuhabiskan meringkuk di dalam kamar. Aku nggak mau masuk. Aku meminta izin dengan alasan sakit.
Beberapa kali, Ibu bertanya padaku apa yang terjadi, tapi aku hanya bisa mendesah dan bilang padanya kalau tidak ada apa-apa. Aku juga menghindari Toni, meski mustahil mengingat betapa luasnya rumah kami. Beberapa kali dia memanggilku tapi aku menyuruhnya diam.
Aku marah padanya. Kenapa harus saat itu? Kenapa nggak nunggu sehari lagi aja, atau seminggu, atau bahkan selamanya? Aku muak dihadapkan pada ketidakberdayaan.
"Kenapa Mbak nggak jujur saja pada pacar Mbak kalau aku itu adikmu?" cerocosnya menerobos kamar. Ibu sedang bekerja.
Aku diam. Mataku mendelik padanya, kemudian berlalu. Dia menghalangi jalanku. "Mbak jangan diam. Pukul saja aku, Mbak!" serunya menampar dirinya sendiri. Dia lantas berlutut.
Air mataku tumpah. Kupukul dia bertububi-tubi. "Sudah Mbak peringatkan. Jangan ngamen dekat-dekatku! Aku malu, Ton! Menurutmu, kenapa aku nggak mau jelasin kalau kamu adikku? Ingat gimana keadaanmu? Kamu kucel, kotor, kek gembel dan dikejar Satpol PP pula."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Novela JuvenilDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...