Bab 9. Minder Yang Berkepanjangan

8 2 0
                                    

Aku tetap di kelas meski sekolah sudah bubar. Kutunggu semua murid pulang dulu sebelum kukeluarkan buket bunga flanel pesanan. Aku nggak mau Ken dan Ara tahu bahwa aku berjualan sembari sekolah. Apalagi beberapa kali mereka bilang bahwa remaja seumur kita wajib menikmati masa-masa remaja dengan bebas. Aku nggak mau masa SMP-ku terulang.

Waktu itu rasanya aku sangat terganggu dengan pandangan iba dari teman-teman sekolahku. Nilaiku juga turun drastis. Meski pas kelas tiga udah nggak berjualan lagi, tetapi cap pedagang pasar masih melekat hingga aku lulus.

Di sekolahku yang sekarang memang ada beberapa murid dari SMP-ku dulu. Untungnya, mereka nggak banyak omong. Topik tentangku juga udah nggak menarik lagi. Jadi, aku sedikit lega.

Aku mengintip sekolah yang sudah sepi. Diam-diam, aku menuju gerbang. Meski ada beberapa murid yang lagi menongkrong, nggak ada yang kukenal. Aku juga mengintip gerbang SMA Harapan, takut kalau-kalau Yash atau temannya ada di sana. Untungnya sudah sepi.

Murid Utopian jarang menongkrong lama-lama di depan gerbang. Kalaupun mereka mau kongkow-kongkow tak mungkin mau di sana. Mereka pasti memilih kafe, atau tempat semacamnya yang lebih keren.

Setelah keluar gerbang, aku berjalan memutar. Kutelusuri gang samping sekolah, sembari sesekali mataku tertuju pada layar ponsel yang menunjukkan GPS, di mana lokasi si pemesan buket berada.

Gang yang kutelusuri itu cukup sempit. Suasananya pun begitu sepi. Rumah-rumah berdempetan. Beberapa mempunyai gerbang, tapi sebagian besar tidak.

Aku terlojak saat ada anjing yang mengonggong di balik gerbang salah satu rumah itu. Cepat-sepat, aku menjauh. Sialnya, kakiku terantuk batu. Tubuhku oleng hingga punggungku menabrak tembok.

Si anjing masih mengonggong. Kutarik napas kuat-kuat, lantas kuembuskan perlahan. Nggak apa-apa, batinku, rileks. Ketika kutegakkan tubuh, aku melihat sebuah brosur tertempel di tembok bertuliskan: Area ini diawasi CCTV.

Aku mendesah lega. Tampak bulatan hitam tertempel di sudut-sudut tembok.

Kulirik ponsel lagi. Sudah dekat. Ketika membelok sekali lagi, tampak seorang pemuda duduk di motor bebek berwarna pink. Dia menunduk, mengamati ponselnya. Hatiku mencelus. Mungkinkah dia Yash?

Tanganku sedikit gemetar saat menggenggam ponsel. Aku mengamati profil WhatsApp-nya. Hanya gambar quotes. Hal itu membuatku tambah curiga.

Nggak boleh. Yash nggak boleh tahu kalau aku jualan. Dia sudah kublokir dari instagram, dan aku nggak pernah posting jualan lewat WA.

Aku malu, kalau dia tahu. Aku nggak mau kejadian dengan kakak kelasku terulang.

Aku sembunyi di sudut gang Kutenangkan jantungku yang terpacu. Kupejamkan mata dan mengatur napas.

"Dik?" Aku tersentak saat seseorang menyentuh pundakku. "Adik yang buat buket flanel?" katanya lagi memamerkan ponsel.

Aku mendesah lega ketika melihat wajahnya. Dia bukan Yash. Dari postur dan rambut memang hampir sama, tetapi dia tampak lebih tua, dan kulitnya lebih gelap. Ya ampun, betapa parnonya aku, betapa bodohnya aku. Motornya saja yang mirip.

"Oh, iya, Mas." Kuulurkan buket yang sudah jadi padanya.

Dia menerima, kemudian memeriksanya dan aku tersenyum saat dia puas. "Ini untuk pacarku. Niatnya sih, mau aku lamar sekalian."

"Wah, selamat, ya, Mas!"

Dia balas tersenyum. "Kalau bunga asli kan bisa layu. Kalau bunga plastik, keknya biasa aja. Jadi, pas lihat di Instagram gambar bunga flanel buatanmu ini, aku lihat-lihat kok, bagus. Jadi, kupesan saja. Hasilnya sesuai ekspektasi, kok. Nggak mengecewakan pokoknya," cerocosnya yang membuat hatiku gembira. "Totalnya berapa, Dik?"

Hati-Hati Beda LevelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang