Lima gantungan kunci yang berhasil kubuat tadi malam berjejer pasrah di meja. Bentuknya lumayan, meski hanya beberapa tiruan emoji. Jahitannya belum serapi yang aku harapkan. Karena sudah lama tidak memjahit, jariku menjadi kaku. Meski begitu, menurutku sudah layak dijual.
Ara dan Ken ke kantin setelah bel istirahat berbunyi tadi. Karena bawa bekal, aku nggak ikut. Namun, meski bawa bekal makanan, aku lupa nggak membawa minum.
Kakiku menyenggol helm Yash yang kutaruh di bawah meja. Nanti, setelah pulang sekolah akan kukembalikan helm itu, sekalian bilang terima kasih. Meski dongkol ketika teringat caranya menyetir motor tadi, tetap saja gara-gara dia aku nggak telat dan bisa ikut ulangan walau nilainya nol.
Jamu kunir asam dari Yash kusimpan di laci. Karena haus, dan harus mengirit, kuminum seteguk jamu itu. Rasanya manis, namun getir. Aku malah semakin haus. Kuminum lagi hingga habis. Tiba-tiba blitz menyorot, suara kamera terdengar. Ken memotretku. "Pelanggaran privasi!" seruku.
Dia terkekeh.
"Sekarang lo juga pens-nya Luna?" Ara menyusulnya, membawa seplastik es teh yang menggoda. Aku memintanya seteguk saat dia duduk di bangkunya.
"Gue masih pens lo, kok," katanya meringis. "Gue mau aman soalnya. Secara, lo kan premannya Distopia."
Ara mendengus.
"Pans-pens-pans-pens. Fans!" koreksiku.
Mereka mengabaikanku.
"Ngapain lo poto gue?" tanyaku lagi.
"Foto, Lun," koreksi Ken. Aku mengabaikannya, biar tahu gimana rasanya diabaikan. Aku memang pendendam orangnya. Namun, Ken melanjutkan, "Ini buat bukti."
Kernyitan tampak di dahiku. "Bukti? Memangnya gue nyolong? Ini kan jamu yang lo kasih."
"Yash yang kasih," ralatnya. "Iya. Itu buat bukti ke Yash kalau lo udah minum."
"Ya ampun, gitu doang pakai bukti," cetus Ara. "Pelit amat!"
"Enggak gitu," Ken mendesah frustrasi. "Kalau gue kirim nih foto, Yash pasti seneng banget."
"Jangan!" Aku melarang.
"Ho'oh, sebaiknya jangan," kata Ara dan aku menyukainya. "Mending lo jual. Dia kan kaya. Pasti mau bayar buat foto Luna."
Aku ralat. Aku nggak jadi menyukainya.
"Ide bagus," sahut Ken memasukkan ponsel ke saku.
Aku memutar bola mata. "Awas kalau lo kirim, apalagi jual. Gue laporin UU ITE."
"Bercanda, Lun." Ken meringis. "Betewe, itu ganci dari mana?" tanyanya menunjuk gantungan kunci di meja.
Ara mengambil satu gantungan kunci dan mengamatinya. "Lo buat sendiri? Kok, lucu? Buat gue, ya?"
Ken melakukan hal yang sama. "Gue mau yang ini."
Sebenarnya, aku ingin bilang kalau itu untuk kujual. Tetapi, aku nggak sanggup, juga malu. "Ambil aja," kataku akhirnya.
Sindi, teman sekelasku yang lain menengok. Ia menghampiri mejaku dan mengamati gantungan kunci yang susah payah kubuat. Ia mengambil satu gantungan kunci yang berbentuk emoji hati. "Lucu, nih."
Bahuku semakin merosot. Bukan untung malah tekor. Rasanya aku ingin berteriak bahwa rocker juga manusia, bahwa air laut rasanya asin, bahwa negara api punya air, dan bahwa-bahwa lainnya. "Ambil aja." Aku ingin menangis.
"Beneran?" tanyanya dengan mata berbinar.
Aku mengangguk. Ya, Lord, berikan aku rezeki yang banyak. Kalau boleh request, rezekinya uang aja. "Iya, ambilah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Teen FictionDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...