Benar apa yang dikatakan Ceysa padaku tadi. Kuempaskan tubuh ke kasur dengan lemah, tanpa mengganti baju. Aku terlalu lelah, baik pikiran maupun raga. Kutengok waktu yang sudah menunjuk pukul tujuh malam. Air mataku meleleh, isakku menggema seiring jatuhnya air hujan ke genting. Rupanya, adikku atau ibukku sudah membetulkan atap sehingga rumahku nggak bocor lagi. Meski begitu, hawa dingin dapat masuk dari celah-celah papan dinding.
Di sampingku, tergeletak di lantai, ada buket bunga flanel sederhana yang kubuat dengan susah payah. Bentuknya sudah tak keruan. Ketika melihatnya, dadaku menjerit, seolah ada sebuah pisau mengoyaknya. Sebelum ibu maupun adikku pulang, kutumpahkan seluruh kesedihanku ke bantal.
Semua berawal dari telepon yang kuterima sepulang sekolah tadi.
"Lun, gue tahu kenapa Yash nggak bisa balas chat lo," cerocos Ken tepat ketika telepon tersambung.
"Kenapa?" tanyaku mengernyit.
"Gue juga dapet kabar baru aja. Dia sakit, mondok di rumah sakit."
Hatiku mencelus. "Sakit apa?"
"Nggak tahu. Katanya operasi."
Bagai tersambar petir, aku mulai panik. Mungkinkah dia sakit karena kupaksa hujan-hujanan? "Operasi apa? Dia sakit apa?"
"Bentar," kata Ken.
Aku menunggu suaranya dengan jantung berdegup lebih keras. Kegelisahan dan rasa bersalah bercampur jadi satu. Hingga serasa setahun lamanya, suara Ken kembali terdengar di seberang sambungan. "Halo."
"Ya. Gimana Ken? Yash sakit apa?"
"Oh, ternyata cuma demam. Nggak operasi, kok. Tadi salah informasi."
Aku mendesah. "Trus, kenapa pakai dirawat di rumah sakit segala?"
"Dia udah dua hari demam. Jadi dia mutusin buat ke rumah sakit. Sepertinya kena radang. Tapi sekarang udah sembuh, katanya. Udah pulang juga. Dia belum bisa bales WA lo, soalnya masih di rumah."
"Maksudnya?"
"Kalau di rumah, Yash jarang buka Hp. Oh, ya, ini gue sama temen-temen mo nengokin. Lo mau ikut, nggak?"
"Mau," kataku segera.
"Lo punya motor nggak? Soalnya ini pada mo ngumpul dulu di rumah gue. Pada mo boncengan. Betewe, yang mo njenguk semuanya cowok, lho. Kalau lo ikut, lo cewek sendiri."
Aku tersenyum kecut. "Ya udah, gue nyusul nanti aja. Bisa kirim—" Sambungan terputus. Sebuah pesan masuk, memberitahu kuotaku habis. Sialan!
Kutarik napas kuat-kuat, lantas kuembuskan perlahan. Kukeluarkan uang yang tinggal lima ribu di kantung. Kucari lagi di semua tempat, kali aja masih ada receh. Kukumpulkan uang koin yang kutemukan, hanya dua ribu. Aku duduk di tepi kasur dengan lesu. Andai uang dari buket nggak kuhabiskan untuk membeli bahan flanel lagi, aku punya cukup uang untuk membeli kuota. Saat itu kupikir bakal banyak pesanan yang akan datang, tetapi nyatanya tidak. Di Instagram pun nggak ada like maupun follower yang nambah.
Teringat akan buket bunga flanel, aku terpikir membikin itu saja untuk buah tangan saat menjenguk Yash nanti.
Dua jam berikutnya kuhabiskan membuat buket bunga flanel sederhana dengan bentuk bunga mawar merah. Kubuat sekitar tujuh tangkai mawar lengkap dengan daunnya. Kemudian, kususun rapi. Kubungkus bunga-bunga itu dengan dua layer kertas buket warna pink lembut dan putih. Kutali luarnya dengan pita berukuran sedang warna ungu. Setelah selesai, aku merasa puas. Kusisipkan tulisan 'Semoga cepat sembuh' di dalam buket. Tak lupa kutulis namaku.
Aku tersenyum-senyum sendiri saat melihat hasil karyaku.
"Mbak buat apa?"
Adikku datang. Tubuhnya yang kurus kadang membuat langkahnya nggak terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Teen FictionDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...