Sumpah, ya, aku sudah membuka hati untuk Yash. Tetapi nyatanya apa, dia malah ghosting. Tahu kan apa itu ghosting? Itu lho, temannya gunting yang suka banting anting-anting.
Sudah tiga hari dia nggak terlihat. Hari Minggu nggak dihitung, betewe. Di warung tempatnya biasa nongkrong nggak ada, di depan gerbang nggak ada, di genteng SMA Harapan juga nggak ada. Pokoknya berhari-hari aku nggak melihatnya saat sekolah. Padahal biasanya dia ada di mana-mana.
Seperti orang cengo, setiap datang dan pulang sekolah, aku menengok, mencari-cari batang hidungnya yang tak tampak. Kadang, aku juga duduk di halte, melewatkan busku hanya untuk menunggu motornya keluar gerbang. Tetapi, semua sia-sia. Rindu? Enggak! Oke, dikit.
Pada hari Minggu, kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Apalagi, kakak Sindi akhirnya jadi memesan souvenir untuk pernikahan. Seperti yang dikatakan oleh sang adik, dia memesan souvenir seharga dua ribu persatuan sebanyak tiga ratus buah. Untuk seharga itu, aku membuatkannya aneka bros, gantungan kunci, dan pouch wadah recehan.
Selama tiga hari aku melembur. Kutargetkan semua harus selesai dalam empat hari. Meski jariku beberapa kali tertusuk jarum dan melepuh terkena lem tembak—karena lagi-lagi melamun memikirkan Yash—aku mengerjakannya dengan semangat. Sindi sudah memberiku uang muka.
Pada Minggu sore, aku lega karena berhasil menyelesaikan pesanan. Kubungkus dengan kotak mika hasil prakaryaku satu per satu, lantas kuhias pita untuk mempercantiknya, tak lupa kufoto dan kuunggah di Instagram untuk testimoni.
Esoknya, aku sengaja masuk lebih awal supaya dapat bus yang longgar.
"Wah, cepet banget?" kata Sindi saat kuserahkan plastik besar berisi hasil prakaryaku. Dia sudah menyiapkan sisa bayaran karena sebelumnya telah kuberitahu lewat pesan. Aku melihat uang itu dengan penuh rasa syukur.
"Makasih, ya," kataku senang.
"Same-same," sahutnya.
"Sama-sama!" Ara datang mengoreksi. "Lo punya bakat loh, Lun. Nanti gue share di grup, ya? Sapa tahu ada yang mo pesen."
"Ja-jangan!" cegahku.
"Kenapa?" tanya Sindi. "Ini lumayan loh, Lun."
Aku malu, batinku. Tapi, aku hanya bisa menggigit bibir.
Ara menautkan alis, kemudian mengangguk paham. "Mungkin mulut ke mulut dulu aja kali, ya? Lagian, lo pasti nggak punya banyak waktu luang buat bikin, karena masih sekolah. Iya, kan?"
Dia memang teman paling pengertian yang pernah kujumpai.
Aku tersenyum lantas mengangguk. Dengan begitu, aku segera melesat ke bagian TU untuk membayar uang PKL-ku. Setelah keluar kantor itu, bebanku seolah terangkat. Tak henti-hentinya aku bersyukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Lalu, terbetik dalam benakku bahwa Yash benar-benar membawa sial.
Nyatanya, sejak pemuda itu jauh, keberuntungan seolah mulai datang. Keyakinan itu bertambah saat aku kembali ke kelas. Ada pesan masuk, dari nomor baru yang memesan buket bunga flanel. Senyumku semakin lebar. Meski begitu, hatiku terasa kosong, seolah ada sesuatu yang hilang.
***
Bel pulang sekolah adalah bunyi terindah bagi setiap murid SMK Harapan. Beberapa murid memilih langung pulang, beberapa lagi masih menongkrong di depan gerbang, sekadar kongkow-kongkow atau menumpang wi-fi SMA Harapan. Sekolah distopia mana ada wi-fi? Meski ada proyektor, nggak jarang para guru lebih memilih menyuruh muridnya menulis di papan sebagai hukuman. Mereka bisa kehabisan akal untuk menghukum murid-murid jika teknologi semakin berkembang.
Bak pinang dibelah dua, suasana kedua sekolah itu sama. Hanya saja, sisi satu pinangnya terlihat lebih busuk dari sisi lainnya. Siswa yang keluar dari sisi pinang yang matang sempurna tampak mengendarai motor sport, lengkap dengan helm dan jaket kulit. Mereka terlihat gagah, seperti geng motor di sinetron yang ditonton ibuku setiap malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Teen FictionDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...