Aku marah. Tentu saja, siapa yang nggak marah saat tahu telah dipermainkan seperti itu? Apa maksud Yash menyuruh Ken mengubah proposal pengajuan PKL-ku? Apa karena dia kaya trus bisa melakukan apa pun seenak udel?
Dengan perasaan mendongkol, kuikuti ke mana cowok itu melangkah. Sweter hitamnya berkelebat dari atas tangga lantai dua. Aku mengikutinya naik, tanpa menoleh pada Ken dan Mbak Fitri yang tengah meladeni pembeli rewel.
Di lantai tiga, sejajar dengan tangga atas, ada toilet. Di dalamnya tak ada bak mandi, hanya toilet dudukan, shower, kran, ember berisi air, dan gayung. Di sudutnya terdapat alat pel dan ember kecil. Di seberang toilet terdapat ruangan yang merupakan gudang tas, dengan papan triplek sebagai dinding. Di sampingnya tampak pintu yang setengah terbuka.
Aku mengintip sebentar. Kulihat Yash sedang menyampirkan sweternya ke cantolan dinding. Dia menyalakan AC, lalu duduk di kursi beroda. Dia menyalakan komputer di meja depannya.
Aku lantas masuk, tanpa mengetuk. Di sisi belakang gudang rupanya ada spring bed, lengkap dengan sprai dan selimut yang tertata rapi. Poster band rock luar negeri tertempel di dinding atas ranjang. Di sampingnya tampak hiasan 10 boneka jari dari flanel yang dilaminating dalam figura. Di bawahnya ada lemari dari plastik. Rak berisi buku-buku menempel di tembok. Tas ransel hitam tercantol di dinding sampingnya.
Yash memutar kursinya. "Ya, ada apa, Mbak?" tanyanya menatapku.
"Nggak lucu," kataku kesal.
Dia mengernyit.
Aku memelotot. "Maksud lo apa sengaja bikin gue PKL di toko lo?"
"Hah?" Dahinya semakin berkerut. Nggak lama kemudian, ekspresinya berubah. Bibirnya tersenyum miring. Kakinya dilipat, punggungnya disandarkan. Kedua tangannya menyentuh lengan kursi pada masing-masing sisi. Dia tampak sombong. "Maaf, ya, Mbak. Masalah siswa prakerin itu bukan urusan saya. Kalau mau protes silakan ke HRD."
Aku memutar bola mata. "Ini pasti perbuatan lo, kan? Lo yang nyuruh Ken mengubah proposal gue ke toko lo. Buat apa? Buat nunjukkin betapa kayanya lo? Betapa berkualitasnya diri lo?" tuduhku.
Dia memijat kening. "Tolong, ya, pakai logika dikit. Gue mana tahu soal PKL lo? Kalau Ken yang ngubah proposal lo, ya, lo tanya dia, dong. Bukan gue. Lagian yang ngurusi SDM itu HRD. Gue cuma numpang di sini. Karyawan bukan, bos juga bukan. Jadi, mana bisa gue nyuruh-nyuruh orang buat ngatur PKL lo. Emangnya lo pikir gue apa? Raja?"
Aku menggigit bibir bawahku. Benar apa katanya. Tetapi, tetap saja aku belum bisa menerima kebetulan ini. "Beneran, bukan lo yang ngatur ini?"
"Bukanlah," katanya. Dia memberengut, lantas mencerocos, "Omong-omong, lo ke mana aja? Lo tahu kan, kalau gue habis sakit? Kok, nggak nengokin? Habis gitu, pas ketemu bukannya disayang-sayang, malah lo galakin lagi. Seharusnya gue yang marah, dong. Gue juga pengen kek di film-film yang dibuatin bubur ceweknya pas demam, trus bisa ... anu, yah pokoknya gitulah. Tapi apa? Lo gue hubungi malah nggak bisa. Njenguk juga enggak."
"Gue udah ne ...," kataku terhenti. Aku enggan bilang padanya apa yang terjadi sebenarnya. Aku nggak mau dia tahu betapa tak percaya diri, betapa pengecut, betapa pecundangnya aku.
Dia mendorong kursinya tepat ke hadapanku. Tangannya meraih tanganku. "Trus selama ini kenapa telepon lo mati? Lo ganti nomor? Atau blokir gue?"
Aku menggeleng.
"Gue kangen, Lun." Dituntunnya jemariku menyentuh pipinya yang mulus.
Perlahan, kutarik tanganku. "Gue nggak bisa, Yash."
"Nggak bisa apa?" bisiknya.
Nggak bisa, meski hanya sesaat, membalas perasaannya. Siapa pun yang mengatur keadaan ini, tujuannya untuk membuatku sadar di mana posisiku berada telah sukses. Dia majikan sedangkan aku hanya karyawan. Ralat, aku bahkan di bawah posisi karyawan. Kugelengkan kepala kuat-kuat, lalu keluar kamar Yash. Kuturuni tangga dengan langkah cepat sembari menahan air mata yang sudah menggenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati-Hati Beda Level
Teen FictionDear Murid Utopian, Di Tempat bak Khayangan. Tolong dengan sangat awasi teman kalian yang bernama Yashna El-entahlah, aku lupa. Apa kalian tahu bahwa tanpa adanya dia di dekatku, hidupku sudah sial. Aku miskin dan ayahku meninggalkanku. Bahkan untuk...