Bab 6. Yang Penting Yakin

11 3 0
                                    

Sebenarnya, apa yang membuatku begitu dingin terhadap Yash? Aku sendiri juga nggak tahu. Dia begitu berbeda denganku, bukan hanya materi, melainkan kepribadian juga. Dia begitu berani dan terang-terangan. Tidak seperti aku.

Dulu, ada seseorang yang kusuka, yaitu kakak kelas di SMP. Namun, aku hanya berani menandangnya dari jauh. Hal yang paling berani kulakukan untuk mengungkap perasaan hanyalah lewat surat yang kutaruh dalam laci mejanya. Itu pun jantungku mau copot rasanya. Berminggu-minggu aku menunggu balasan, tetapi tak kunjung datang. Hingga suatu ketika, aku nggak sengaja mendengar salah satu temannya membicarakanku. Mereka mengejekku: mengatai jika kakak kelasku itu mau denganku maka bukan mal ataupun kafe yang akan kami datangi untuk pacaran, melainkan pasar. Mulai saat itu, aku nggak pernah lagi berani menyukai seseorang.

Mungkin, aku membenci Yash karena dia lebih berani daripada aku. Aku juga membencinya karena dia cakep, juga kaya, juga baik, dan juga-juga lainnya. Aku benci dia karena nggak memberiku satu pun alasan untuk membencinya. Dan yang paling utama, aku benci diriku sendiri atas sikapku padanya.

Kuraih ponsel yang sudah terisi kuota. Layar menampilkan analog jam, menunjukkan waktu sudah pukul sepuluh malam. Di samping tempatku berbaring, ada Ibu yang sudah tidur. Hari ini adikku pulang, dan mengorok di ruang depan.

Tadi, setelah pulang latihan karate, aku langsung membuat aneka kerajinan flanel untuk difoto. Meski hanya menggunakan ponsel, hasilnya cukup lumayan. Tak lupa, kukirim foto beserta harga persatuan kepada Sindi. Aku juga mengunggahnya ke Instagram.

Sudah hampir sebulan aku nggak membuka aplikasi itu. Pengikutku masih sedikit, sekitar empat ratusan saja.

Saat login, ada sepuluh pemberitahuan, salah satunya pengikut baru yang namanya membuatku mengernyit. Lunanya_Yashc3. Foto profilnya adalah fotoku yang tengah meminum jamu kemasan.

Aku mendengus, kemudian mengetik untuk mengiriminya pesan, tetapi nggak jadi. Aku pilih memblokirnya, lantas mengubah nama akunku dengan Danastri_Souvenir3030. Kuhapus  swafotoku yang nggak penting, lalu kuganti dengan foto produk hasil karyaku. Sampai aku tertidur, hanya delapan like yang kudapat. Sepertinya aku harus sabar. Tak mudah memang, memulai suatu usaha.

***

Menaiki bus kloter terakhir sebelum masuk sekolah itu rasanya emejing banget. Nggak ada tempat duduk sama sekali. Banyak siswa berdiri berjejalan, belum lagi yang bergantungan di pintu hingga membuat bus doyong ke satu sisi. Pak Sopir yang pengertian melajukan bus hampir ugal-ugalan. Klakson mewarnai setiap menit perjalanan.

Saat sampai ke depan sekolah, rupaku sudah tak keruan. Rambutku acak adut, seragamku kusut, sepatuku entah telah berapa kali orang menginjak. Aku menarik napas kuat-kuat, lantas terbatuk karena knalpot bus yang sedang tancap gas.

Kupandang sekolah suramku dengan syukur, bahwa seenggaknya aku selamat sampai tujuan. Ketika menuju gerbang, kulihat Yash dan kawan-kawannya nongkrong di samping warung yang ada di sudut depan sekolah SMK Harapan. Dia mengabaikanku, bahkan nggak melirikku sama sekali.

Di sampingnya ada Ken dan Ceysa, bersama dua kroninya. Mereka bersenda gurau. Beberapa kali Ceysa memeluk pinggang Yash, dan pemuda itu diam saja. Aku yang melihatnya merasa seakan ada ular yang membelit perut. Tapi, kuabaikan saja mereka. Aku bahkan nggak mau menyapa Ken.

Saat masuk gerbang, tanpa sadar kakiku melangkah ke pembatas tembok sekolah. Aku mengintip dari belakang warung tempat mereka berada. Meski samar, aku dapat mendengar pembicaraan mereka.

"Lepasin, Ceys," suara Yash terdengar. "Sandiwaranya udah selesai."

"Nggak mau," suara Ceysa manja.

"Gue cuma mo manasin Luna aja. Kan tadi lo udah gue bilangin."

Hati-Hati Beda LevelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang