"Apa yang kalian bicarakan barusan?" sahut seorang pria dengan pakaian formalnya sembari menenteng tas.
Keempat atensi yang berkumpul disana tertuju pada Rangga yang berdiri mematung, alisnya mengkerut karena mendengar beberapa kata yang dilontarkan dengan jelas oleh istrinya.
"Ayah? kapan sampe nya?" ujar Elisya sedikit mengalihkan perhatian, wanita itu sudah gelagapan saat mendekati Rangga untuk membantunya membawakan tas.
"Yang lebih penting sekarang, kalian bahas apa?" ucapnya tegas.
Ia menatap serius ibu Rafa seperti meminta penjelasan, lelaki itu berjalan mendekat untuk melewati Elisya menuju anaknya.
"Ayah salah dengar, 'kan?" tanyanya kepada Rafa, remaja itu justru kebingungan untuk membalas apa hingga akhirnya memutuskan untuk menundukkan kepala.
"Dek? jelaskan, kenapa semua diam?" Pria itu mengedarkan pandangannya untuk menatap semua yang ada disana, tak ada satupun berhasil menjawab. Semakin membuat Rangga tersulut emosi.
"Tian?" panggilnya dengan nada datar, sontak Dika menegakkan badannya yang masih terduduk disamping Erika.
Dika membalas tatapan tegas Rangga setelah mengumpulkan tekad. Remaja itu berdiri dan mendekati pria yang lebih tua. Tangannya mengepal hebat, berusaha melawan rasa ragu nya dan mengatakan semua dengan yakin. Resiko apapun itu, siap tak siap Dika akan menanggung semua.
"B-biar ... biar Ibun jelasin ..."
Wanita itu berdiri ditengah-tengah mereka dan menghadap suaminya, meski agak takut namun ingin mengurangi pertikaian.
Tangan Erika bergetar hebat menyaksikan itu, dia sangatlah menyalahkan dirinya karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Nia melihat tubuh gemetar adiknya yang sedang mempertahankan posisi kepalanya yang menghadap kebawah, Rafa benar-benar tidak menginginkan hal ini terjadi. Bagaimanapun, dirinya tidak mau terjadi pertikaian sekecilpun didalam keluarganya.
Gadis remaja itu mendekati Rafa untuk meraih pundaknya, ia merangkul dengan lembut untuk menenangkan Rafa.
Dia adalah adik tersayangnya, mau apapun yang terjadi kepada Rafa, lelaki itu tetaplah adiknya, pikir Efania.
"Gak usah, tante. Makasih, biar Tian selesaikan masalah Tian sendiri," tolak Dika sembari tersenyum kecil.
Elisya yang mendengar itu ingin menyangkal, namun memikirkan bagaimana solusi masalah adalah inti dari semuanya. Mungkin, jika Dika yakin untuk menghadapinya, semua akan selesai. Pasti ada peluang, sekecil apapun itu. Karena semua masalah akan selalu ada jalan keluarnya.
Kedua tatapan elang kembali saling beradu saat ibu rumah tangga tersebut menyingkir memberi mereka ruang. Pasrahkan saja sekarang, tak ada yang tau nasib akan seperti apa di masa depan.
"Om nggak salah dengar, yang dikatakan tante itu benar adanya. Saya bukan gay, namun saya memang punya rasa dengan anak bungsu om dan tante," jelas Dika.
Keadaan menjadi hening akibat pengakuan tersebut, bocah yang paling muda disana, membelalak menatap tak percaya kepada Dika yang benar-benar mengakui itu semua.
"Tolong jauhi anak saya," ucap Rangga pada akhirnya. Lelaki itu berkata dengan sangat dingin.
Anaknya, Rafa, menggigit bibir bawahnya sendiri. Sembari merasakan usapan yang agak kasar yang kakaknya berikan supaya dirinya tetap tersadar.
Nia pikir, bisa saja adiknya yang sangat cengeng itu kenapa-napa karena tidak terlalu sering mendapatkan masalah seperti ini.
Di waktu itu, remaja lelaki yang berhadapan dengan ayah Rafa itu menatap satu-persatu orang disana. Dia menatap Rafa yang terakhir, dan perlahan membalikkan badan.
Erika mengikuti langkah Dika yang semakin dekat dengan pintu keluar, tak ada yang mencegah mereka untuk pergi. Elisya, sudah menahan air matanya sedari tadi. Melihat persahabatan yang sekian lama terjalin, akhirnya memiliki konflik tak terduga seperti sekarang.
Setelah benar-benar melihat kedua orang itu keluar, Rangga menatap anak bungsunya yang hanya bisa terdiam dan menunduk. Lelaki itu menghela nafas gusar, lalu pergi tanpa pamit menuju kamarnya meninggalkan mereka yang tersisa.
"Rafa ..." lirih Efania.
Remaja dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan itu, memegang tangan Nia yang bersandar dipundaknya untuk disingkirkan. Perlahan ia berdiri dan pergi berjalan menuju kamar setelah menatap lama ibunya.
Hingga Elisya bersuara, "Kenapa jadi gini ..."
Nia bingung sekarang, harus bertindak seperti apa. Dan pikirannya hanya tertuju pada kakak pertamanya, Rasya. Mungkin saja, dengan memanggil dirinya, gadis itu akan menemukan tindakan. Dia akan mengikuti yang dilakukan lelaki itu.
Sementara Rafa terduduk di pinggiran ranjang sembari menatap kosong pintu yang tertutup rapat. Tangannya sedang memegang sebuah lampu yang memiliki bunga di dalamnya.
Sungguh indah, namun juga begitu pahit untuk memandanginya.
Meski anak itu sedikit bersyukur, tak ada yang berbicara dengan emosi dikejadian beberapa waktu lalu. Hanya kata-kata singkat, dan semuanya berakhir. Walaupun ini perpisahan yang membuatnya kesal.
Dia lebih merasa sebal karena mendapatkan sebuah desiran dihati. Bagaimana bisa Rafa sedih? padahal selalu dan selalu saja ia memgusir Dika. Seharusnya dia senang akan hal itu, tapi mengapa?
"Gak masuk akal," gumamnya sendiri.
5 detik setelah dirinya kembali melamun, Rafa berdecak kala memikirkan wajah Dika yang selalu tersenyum padanya. Remaja itu merasa ada yang ganjal, bahkan dia tidak bisa tidur karena dirasa ada yang aneh.
"Gue kenapa sih, anjing," umpatnya kesal.
Sudah cukup bergerak kesana-kemari, remaja manis tersebut beranjak ke kamar mandi. Karena tadi pulang sekolah ia belum sempat membersihkan diri, jadi lah tanpa sadar sudah jam segini.
Sekian waktu dilewati, sekitar 20 menit dia baru selesai mandi. Rafa membuka ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar. Dengan handuk yang terlilit dileher, beserta rambut yang masih meneteskan air.
Ia mengulum bibir, kedua alisnya menyatu saat tidak ada satu pesan pun dari seseorang. Jujur saja, Rafa sangat menantikan sepatah kata dari Dika.
Entah apa yang harus dilakukannya besok...
Sementara di sisi lain, disuatu rumah yang berisi dua orang saja. Ibu dan anak laki-laki. Mereka duduk berhadapan di meja makan, bergulat dengan pikiran masing-masing yang masih berhubungan.
Lama diam, akhirnya Erika membuka suara, "kamu sudah makan? ibu buatin makan malam, ya?"
Dika mencegah wanita itu yang hendak berdiri, memegang pergelangan tangannya erat sembari tertunduk.
"Maaf, Bu," katanya dengan suara kecil.
"Buat apa, sayang?"
"Tian bikin onar, Ibu pasti kecewa, 'kan?" akunya.
Wajah Dika yang biasanya tenang dan selalu diselimuti senyuman, kini nampak begitu teduh.
"Gak perlu minta maaf, ibu sudah bilang kemarin-kemarin hari, bukan?" ujar Erika dengan nada penuh kasih sayang.
Tangannya menyentuh pipi Dika yang dingin, wanita tersebut tersenyum seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.
"Kamu ingat semua yang ibu katakan?" tanyanya, Dika mengangguk.
Senyumnya kembali melebar, Erika merasa keputusan yang tepat adalah membantu sang anak. Melihat tidak ada yang bisa mendukungnya selain dia, perempuan itu merasa bersalah karena menjadi ibu yang belum benar untuk Dika.
__________
Jangan lupa follow:
Tiktok: @itsaellow
Instagram: @inii.aell
Twitter: @flowerslonelyy
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Dika! [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[Sebagian Part Diunpublish Untuk Kepentingan Penerbitan] Gimana jadinya kalo lo dicintai secara ugal-ugalan sama mas-mas Jawa? Start: 12/02/24 End: 08/06/24