48

7K 507 40
                                    

Rafa membuka pintu ruangan itu dengan perlahan, ia tersenyum kala kedua sorot matanya menangkap seorang remaja lelaki sedang terbaring di atas ranjangnya. Langkahnya mendekat kesana, duduk di kursi yang berada didekat tempat Dika tertidur.

"Pagi, gue dateng lagi, nih," sapa Rafa mengulas senyuman.

Sudah sekitar 2 Minggu lelaki itu belum juga memberikan tanda-tanda untuk bangun, dan sudah selama itu juga Rafa mengendap-endap untuk menjenguk Dika dari sepengetahuan Sang Ayah.

"Bentar lagi tanggal 17 November, pokoknya lo harus bangun dan ngucapin selamat ke gue. Kalo nggak bangun, nanti gue marah besar," ujarnya dengan mengerucutkan bibir.

"Udah bilang ini tiap hari, tapi gue nggak pernah ngerasa puas. Gue kangen banget sama lo, senyuman lo, tawa lo, kapan gue bisa liat lagi?"

Rafa terkikik geli. "Gue ngerasa kayak orang gila, tiap hari hobi ngomong sendiri."

Lelaki itu meraih tangan Dika, mengelusnya dengan lembut dan meneliti wajah tenang itu ketika tidur. Ia menumpukan kepalanya di tepi ranjang Dika, mata kantuk-kantuk itu perlahan tertutup. Dia selalu tak bisa tidur setiap malam, selalu merasa takut jika dirinya tertidur maka akan mendapat kabar tidak menyenangkan ketika bangun. Namun Rafa rasa, begitu menenangkan ketika ia memejamkan mata di samping lelaki itu. Seolah semua akan baik-baik saja.

Ia mulai tertidur, sedangkan tangan dingin yang dia pegang itu mulai bergerak-gerak kecil. Dika dengan sedikit kesadaran, membuka matanya perlahan. Sedikit demi sedikit ia bisa merasakan sinar matahari menembus jendela menyilaukan matanya. Karena 2 Minggu koma, dia tidak bisa bergerak seperti semula. Tubuhnya masih kaku.

Rafa terbangun setelah ketiduran 2 jam lebih. Dia segera bangun dan melihat ponselnya, lalu menghela nafas lega. Belum menyadari jika orang yang terbaring itu sedang memperhatikan.

Remaja manis itu segera mematung dan otaknya masih ngeblank, melihat seorang Dika sedang tersenyum kecil menatap dirinya. 5 detik berlalu, bahkan hingga detik ke 9 dia terhempas kebelakang.

"Lo udah bangun?!" sentaknya.

Ia mencubit pipinya dan mengucek kedua matanya, berharap ini bukan mimpi. Sakit, itu terasa nyata. Ini mimpi, atau bukan?

"Mas Dika ...?" panggilnya dengan ragu.

Dika hanya bisa tersenyum, mulutnya tak memiliki tenaga untuk berucap. Tetapi hanya dengan respon itu, Rafa menyadari ini bukanlah mimpi. Dengan segera ia beranjak tergesa-gesa pergi keluar.

"Gue panggil dokter dulu!"

Melewati waktu, ini sudah sore hari dan Erika bersama yang lain pergi untuk menyiapkan barang-barang keperluan Dika. Dan kini hanya ada Rafa dengan lelaki itu yang sudah lumayan bertenaga.

"Lo tau! gue khawatir banget, gak bisa tidur, gak mood makan, sekolah kagak bener, kerjaannya pengen kesini mulu gara-gara lo!" protesnya.

Dika tersenyum kecil. "Maaf, ya ..." Mendengar itu, tentu saja Rafa langsung luluh. Ia tak bisa marah jika seperti ini. Sejenak ia terdiam, lalu air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya keluar. Dika menyaksikan itu, tentu saja gelagapan.

"Kok nangis?"

Ditanyai seperti itu, membuat Rafa semakin mengeraskan senggukannya. Dika semakin bingung harus berbuat apa, dia tidak pandai jika berurusan dengan orang yang sedang menangis. Lelaki itu berusaha untuk bangun, namun Rafa segera mencegahnya.

"Diem lo! gue nangis gara-gara lo! ini karena lo bikin gue sedih! minta maaf, cepet!" sentak Rafa masih sesenggukan.

"Iya ... iya, maaf ... maaf, kamu jadi sedih ... maaf ..." ujar Dika berusaha menenangkan Rafa.

"G-gue, gue takut ... gue takut lo ninggalin gue ... jangan ... jangan pergi kemana-mana ... gue nggak suka sendiri ..." ucap Rafa terbata-bata. Dika menatap tak tega kepada lelaki itu. Apa yang harus dia lakukan di situasi ini?

"Iya ... aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku selalu di sisi kamu, Dek," tutur Dika menenangkan.

"Janji?"

Rafa mengangkat jari kelingkingnya, lalu mereka mengaitkan kelingking masing-masing. Dika tersenyum. "Janji."

"Bersihin dulu air matanya," perintahnya dengan nada begitu lembut, Rafa segera menurut dan mengusap pipinya yang basah kemudian tersenyum.

"Oh, ya, ini udah sore, kamu ngga dicariin orang rumah?" tanya Dika mengingatkan.

Rafa menggeleng. "Gue bilang sama Ayah kalo mau nginep dirumahnya Bian, nanti sisanya biar Ibun yang atur," jelasnya.

"Pembohong kecil," ucapnya menekan hidung Rafa yang memerah.

"Biarin, siapa suruh gituin anaknya sendiri, bikin kesel aja tuh bapak-bapak," geramnya.

"Heh, dosa, Sayang," tegur Dika. Rafa menyengir, lalu kepalanya ia baringkan di pinggir ranjang Dika. "Gue pengen tidur bentar, jangan bangunin gue, ya!" ucapnya sebelum menutup mata.

"Rafa, sebelum kamu bobo, biar Mas ngomong," kata Dika, remaja manis kembali membuka matanya.

"Hm ... apa?"

"I love u, as always."

Rafa mengerutkan kening, lalu mendongak untuk melihat Dika sebelum ia kembali menaruh kepalanya sendiri. "Lopyu mor," balasnya dengan menutup mata.

Dika terkekeh mendengarnya, sebelum menutup kedua matanya dengan tangan yang ia sanggahkan di pucuk kepala Rafa. Senyuman tulus dan tenang ia simpulkan. Tanpa disadari oleh Rafa, itulah kata-kata terakhir yang terucap oleh lelaki dengan berbagai kenangannya itu.

Dia yang memberikan bermacam keindahan, telah pergi ke tempat yang lebih layak untuknya. Dia benar-benar pergi, kembali ke tempat asalnya.

13 November 20**

__________

Jangan lupa follow:

Tiktok: @itsaellow
Instagram: @inii.aell
Twitter: @flowerslonelyy

Mas Dika! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang