44

7.1K 622 58
                                    

"Gue serius, Pantek!"

Rafa memasang wajah sebal menatap Dika yang tertindih di bawahnya. Dika menghela nafas. "Kenapa?"

"Lo yang kenapa! sok-sokan ngejauhin gue!" sungut Rafa ngegas.

"Kan, Ayah kamu yang suruh, kamu tau sendiri to?" terang lelaki itu.

Rafa menatap jengah, masih menahan Dika agar tidak membubarkan posisi mereka, yang masih bertumpu. "Ya, emang harus senurut itu?" cibirnya.

"Terus gimana? gak mungkin aku lawan Ayah kamu," bela Dika.

Rafa semakin jengkel, ia rotasikan kedua matanya dengan malas. "Mana gue tau! lo harus tanggung jawab, lah! gue udah suka sama lo, malah ngejauh gini, kan kek bangsat! kalo lo kayak gini, gue ngerasa cuma di baperin pas di awal doang, anying! perasaan ini, bukan mainan," protesnya panjang lebar.

Dika terdiam, Rafa menatap sinis lelaki yang berada di bawahnya. Nampaknya, Dika sedang memproses perkataan itu satu demi satu.

"Apa sih, malah ngelamun," timpal Rafa, wajah manis itu sudah begitu kesal melihat respon Dika.

"Perasaan aku selalu jaga kebersihan telinga, kok masih korslet, ya?" ujarnya blak-blakan.

Rafa mengerutkan kening. "Lo ngomong apa, sih, anjir?"

Dika menggeleng dengan wajah bingung nya membuat kontak mata bersama Rafa. Meski sedikit membuatnya salah tingkah, remaja berparas manis itu berdehem untuk mengurangi kecurigaan.

"Ngelantur, lo?"

"Emang kamu tadi bilang apa?"

Lelaki yang berada di atas Dika itu mengulum bibirnya sendiri. Ia sudah merasa malu sedari tadi, karena kalimat yang terlontar dari mulutnya sendiri. Tetapi, haruskah mengatakan itu sekali lagi untuk meyakinkannya?

"Gue ... gue tadi bilang ..."

"Gue ..."

"Gue suka lo ..." lirihnya, ia menenggelamkan wajahnya sendiri ke dada bidang Dika dengan pipi dan telinga merah.

Speechless, itulah yang menggambarkan keadaan Dika sekarang ini. Dia tidak bisa berkata apa-apa, hanya mematung karena mendengar hal tak terduga dari remaja di atasnya. Ruangan itu hening, mereka masih dalam posisi yang sama selama beberapa waktu. Saking membeku nya, Rafa bisa mendengar detak jantung Dika yang berdebar kencang.

"Ternyata aku ketiduran, toh? tak kira masih bangun, ternyata masih di alam mimpi?"

Dika tertawa garing, lalu Rafa mendongak dengan ekspresi wajah yang campur aduk. Antara kesal, sedih karena Dika masih mengelak, senang, dan salah tingkah karena masih tak menyangka bisa mengatakan kalimat tersebut.

"Makan nih mimpi!" sosor Rafa, jemarinya mencubit pipi Dika.

"Aduh, duh!"

"Iya, iya! nggih, sampun, Dek!" pekik Dika berusaha menjauhkan tangan Rafa.

TL: "iya, udah, Dek!"

Remaja manis itu berdecak sebelum dengan kasar membangunkan diri dari tubuh Dika. Lama-lama kasihan juga kalau di tindih terus.

Dika mengelus pipi nya sendiri merasakan perih, Rafa tak main-main saat menjepitnya menggunakan jari. "Belum apa-apa udah KDRT aja, kamu," keluhnya.

"Bacot, Jawir!"

Dika melirik Rafa yang bersedekap dada. "Emang tau arti Jawir?" selidiknya mengangkat sebelah alis.

"Jawa icikiwir, 'kan?" tebak Rafa.

Mas Dika! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang