Sekarang sudah 4 tahun loh. Kapan kamu mau pulang ke Korea; pesan itu tak sengaja terbaca oleh Taeyeon. Bukan bermaksud lancang hanya saja Jessica sedang pergi ke kamar kecil saat ponselnya berdering tanpa henti di atas meja. Pada akhirnya panggilan itu berhenti diikuti satu pesan masuk yang muncul pada tampilan lockscreen.
Taeyeon bertanya-tanya apa yang membuat Jessica berada di kota ini dalam waktu yang lama. Rasanya mustahil jika hanya sekedar berlibur. Adakah keinginan untuk menetap; entah karena untuk mengejar karier, mimpi atau alasan lainnya.
Sebagai seorang fotografer lepas Taeyeon pernah pergi ke Paris, melancong sampai ke London, kemudian pindah ke San Francisco dan baru-baru ini tinggal di New York. Dari semua tempat yang telah Taeyeon datangi rasanya kota ini punya daya tarik tersendiri. Ketika seseorang tidak bisa membungkam suara berisik yang ada di dalam kepalanya, maka dia perlu mencari suara yang lebih gaduh yang dapat membuatnya tertidur. Dan Taeyeon menemukan kegaduhan itu di dalam kota New York.
Langkah cepat pejalan kaki yang hilir mudik, suara mesin dari kendaraan bermotor yang lalu lalang, sirene mobil polisi dan ambulans, alunan lagu oleh pemusik jalanan, sampai bisingnya pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Kegaduhan kota New York mampu mengalahkan suara-suara berisik yang sejak tiga tahun lalu menghantui kepala Taeyeon. Meski begitu, biasanya dia baru bisa tertidur pukul dua dini hari dan akan bangun empat jam kemudian.
Setiap orang setidaknya punya satu rahasia yang akan menghancurkan hati orang lain. Rahasia yang mungkin terlalu menyakitkan bahkan untuk orang yang paling dicintai. Rahasia yang ingin dibebaskan dari batin tanpa takut dipandang sebelah mata. Jessica telah berusaha menjaga rahasianya hingga suatu saat media membocorkan perihal itu dan menjadikannya rahasia publik. Pilihan paling logis baginya pada waktu itu adalah menghilang.
“Ponselmu bunyi terus dari tadi sepertinya ada hal yang penting,” kata Taeyeon begitu melihat gadis berambut coklat itu berjalan mendekat.
Jessica menemukan ada lima panggilan tak terjawab. Dia mengembuskan nafas panjang yang bercampur dengan perasaan putus asa. Hampir lima tahun dia menutup semua jalur komunikasi dan media sosial kecuali untuk keluarga dan teman terdekat.
Selang sepuluh detik, ponsel di tangannya berdering lagi. Dia sempat ragu-ragu untuk mengangkatnya tapi Taeyeon mengangguk pendek sebagai tanggapan atas pertanyaan yang tak terucap. Jessica langsung berjalan keluar dan berdiri di dekat pintu.
“Halo,” sapanya pelan setelah sambungan telepon terhubung.
“Ya ampun lama banget angkat teleponnya. Jangan bilang kalau kamu lagi kencan sama orang Amerika.”
“Kalau iya kenapa? Cemburu ya,” guraunya sambil melirik Taeyeon dari bingkai jendela yang terlihat sedang menyeruput minuman hangat.
“Enggaklah. Karena aku percaya walaupun banyak orang baru yang mendekati kamu, pemenangnya pasti tetap orang lama.”
Jessica tertawa. Sesuatu yang jarang dia lakukan selama lima tahun terakhir.
“Senang dengar kamu ketawa begini tapi lebih senang lagi kalau bisa dengar suaranya secara langsung. Jadi, kapan mau pulang? Apa perlu aku terbang ke sana buat jemput kamu?”
Jessica mengambil tarikan nafas panjang dan membuangnya pelan-pelan. “Belum tahu kapan, Hyo. Setahun lagi mungkin.”
Orang yang disapa “Hyo” atau lebih dikenal dengan nama lengkap Kim Hyoyeon adalah sahabat sekaligus rekan kerja dalam dunia fashion. Sesungguhnya dia sangat nyaman dengan jabatan assistant fashion designer namun sejak Jessica mengundurkan diri, dia terpaksa mengambil alih kekosongan posisi di dalam tim.
“Dari dulu selalu konsisten ya jawabannya setahun lagi sampai-sampai sudah empat tahun tinggal di Amerika. Ada baiknya kamu pulang. Aku yakin orang-orang juga sudah lupa dengan beritanya. Jangan terlalu ambil pusing. Dia saja sudah lama tampil di publik dan berani senyum ke kamera, masa kamu harus sembunyi terus.”
Ada jeda cukup panjang sampai akhirnya Jessica berkata, “nanti aku pikir-pikir dulu.”
“Kalau ada apa-apa kasih kabar ya. Kulihat kamu sudah jarang menelepon. Bilang kalau tidak punya kuota internet biar aku isikan pulsamu.”
Jessica tergelak lagi. “Ya sudah nanti kapan-kapan aku telepon. Salam buat semuanya.”
“Oke. Jaga diri baik-baik di sana. Aku tunggu kepulanganmu.”
“Iya,” balasnya singkat.
Jessica masih berdiri di luar La Churreria, memandang gedung-gedung bertingkat di seberang jalanan sambil membayangkan kehidupannya dulu dan sekarang. Sebagian dalam dirinya merindukan suasana di Korea namun sebagian lainnya dihantui ketakutan.
“Maaf ya agak lama teleponnya,” kata gadis itu seraya kembali duduk di depan Taeyeon. Tangannya meraih cangkir berisi cappucino yang telah dingin dan meneguknya sampai habis.
“It’s okay. Masih mau lanjut menggambar?”
Jessica menggeleng. “Pulang yuk,” katanya sambil mengemasi barang-barang di atas meja, kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan keluar lebih dulu tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Seperti biasa, dan Taeyeon juga sudah mulai terbiasa dengan sikap gadis itu yang dingin. Dari jendela Taeyeon bisa melihat Jessica sedang bersandar di dinding menunggunya.
That girl is... interesting? Taeyeon tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya tetapi dia sadar sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang menghubungkan mereka berdua terasa janggal; agak tidak biasa, jika tidak mau disebut aneh. Mereka tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain. Meski telah menghabiskan waktu bersama, kebanyakan obrolan mereka tidak menjurus kepada hal yang pribadi. Itu juga hanya berlangsung sesaat lantaran Jessica terlalu pendiam.
Mereka pada dasarnya hanya orang asing. Namun, hubungan pertemanan itu selalu berawal dari orang-orang asing yang pada akhirnya menemukan sebuah kecocokan. Dan persamaan di antara keduanya adalah pelarian.