Jarum pendek menunjukkan pukul dua dini hari. Sesungguhnya tidak ada hal serius yang membebani pikiran wanita itu, hanya saja pernyataan tak terduga saat di Paley Park tempo hari masih terngiang hingga saat ini.
Because you’re as lost as I am; kata-kata paling jujur yang pernah disampaikan orang asing kepadanya. Jessica muak mendengar kalimat-kalimat sampah yang mengatakan jika hidupnya akan baik-baik saja, kariernya akan kembali bersinar dan orang-orang akan melupakan skandalnya di masa lalu. Omong kosong. Sampai dengan detik ini, saat Jessica berseluncur di akun instagramnya, banyak kata-kata negatif masih bersarang di kolom komentar. Tidak peduli seberapa keras usahanya memblokir orang-orang bodoh itu, pada akhirnya mereka tetap bermunculan dengan akun baru.
Namun, itu bukan hal utama yang mengusik waktu tidurnya. Jessica mungkin tidak akan pernah lupa ekspresi wajah Taeyeon hari itu. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang hampir tidak terlihat, sama seperti matanya yang nyaris tak bersinar. Jessica bertanya-tanya kejadian buruk apakah yang Taeyeon alami hingga membuatnya kehilangan arah.
Jessica memutuskan bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar. Ada dua kamar tidur yang tersedia di dalam rumah tersebut, satu untuk Jessica dan Krystal, lalu satu lagi untuk Sunny dan Taeyeon. Pemandangan pertama yang tertangkap mata Jessica saat membuka pintu kamarnya adalah siluet seorang gadis berambut panjang sedang duduk di depan perapian.
“Kok belum tidur,” katanya sambil lewat.
Taeyeon menoleh lalu berjalan mengikuti gadis itu menuju dapur. Ada panci berisi air yang belum mendidih serta sebungkus mi instan yang sudah dibuka ujungnya. “Belum ngantuk. Kamu sering makan mi pas tengah malam begini?”
“Kadang-kadang. Kalau lagi lapar dan tidak bisa tidur, ya sudah masak mi instan saja.”
“Hm, sehat banget ya.”
“Letakkan dulu bungkus rokokmu itu di atas meja ini terus ulangi lagi ngomong begitu di depannya.”
Taeyeon tertawa kikuk. Punggung bersandar pada tembok, satu tangan tersembunyi di dalam saku celana dan satu lagi menggaruk belakang leher. Hampir dua bulan mereka berkenalan tetapi Jessica tahu betul bahasa tubuh wanita itu setiap kali ada sesuatu hal yang ingin disampaikan.
“Mau makan mi? Biar aku masak sekalian.”
“No, thanks. Aku temani kamu makan saja.”
Terdengar derit suara kursi. Taeyeon duduk bungkam seribu bahasa memandang wajah wanita di seberang meja yang sedang menghabiskan isi mangkuknya pelan-pelan.
“Minggu depan aku pulang ke Korea,” kata Taeyeon disertai helaan nafas panjang. Itu bukan sesuatu yang direncanakan jauh-jauh hari. Dia bahkan baru membeli tiketnya satu jam yang lalu. Gila, bukan? Pikiran Taeyeon memang sedang tidak waras.
Tindakan impulsif itu terjadi ketika Taeyeon menyadari foto apa saja yang tersimpan di dalam kameranya. Susah untuk menjelaskan bagaimana wajah seorang wanita muncul di koleksi fotonya atau seperti apa proses yang terjadi di kepalanya hingga jari telunjuk itu berani menekan tombol shutter di hadapan objek manusia. Sometimes it just happens. Lucunya, Jessica telah berpengaruh sebesar itu pada dirinya namun gadis tersebut masih mencari tahu apa yang terjadi.
Taeyeon menunggu sesuatu untuk didengar tetapi Jessica tetap menjadi Jessica. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Jessica bangkit, mengangkat mangkuknya yang sudah kosong dan beranjak ke wastafel. Dia mulai mencuci gelas, mangkuk, sendok, garpu, panci, semua peralatan yang tadi dia gunakan. Lalu terakhir, dia mengeringkan telapak tangannya dengan tisu.
“Tidurlah,” katanya pelan menepuk pundak Taeyeon yang masih duduk terdiam seperti orang linglung. “Kamu pasti capek banget. Tidur saja dulu. Besok kita bicarakan lagi.”
“Wanna know something?”
“What?”
“Aku tidak pernah memotret wajah orang lain karena tunanganku melarangnya.”
Jessica cuma diam, masih berdiri di belakang punggungnya dan mendengarkan. Orang-orang pada umumnya akan berteriak saat merasa kesal namun bagi sebagian orang level tertinggi mereka ketika marah adalah diam. Mungkin Jessica keliru mengartikan kedekatan mereka selama ini tetapi bukan salahnya juga kan. Taeyeon membuatnya bersemangat tentang hal-hal kecil yang mereka lakukan hampir setiap hari.
Dia suka aroma secangkir kopi milik Taeyeon dari kedai ujung jalan, rasa kayu manis pada churros, berbagai rasa popcorn saat mereka mengelilingi beberapa bioskop di New York demi mencari rasa popcorn terenak. Jessica memaksanya untuk menonton sebuah film di salah satu bioskop dan Taeyeon tertidur dengan mulut menganga. Jujur saja saat ini Jessica tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah apa yang baru saja Taeyeon katakan.
“Yoona sangat pencemburu. Dia tidak mau membiarkan aku melihat wajah orang lain selain dirinya.”
“Aku mengerti. Jadi, apakah Yoona marah karena kamu mengambil foto wajahku?”
“Mungkin,” jawabnya menundukkan kepala dan tersenyum getir. Taeyeon memutuskan untuk pulang karena perasaan bersalah yang terus menerus menggerogotinya. Dia tidak boleh mempermainkan perasaan wanita lain ketika dirinya masih terjebak dengan masa lalu. Sialnya, itu bukan sekedar main-main. Taeyeon benar-benar jatuh cinta kepadanya.
“Alasan aku selalu berpindah-pindah tempat tinggal karena aku seorang pembunuh. Tiga tahun lalu aku membunuh orang yang paling berharga di hidupku. Malam itu kami sedang dalam perjalanan menggunakan mobil. Aku terbatuk, Yoona membuka sabuk pengaman untuk mengambil botol minum di belakang, terus tiba-tiba sebuah truk menghantam mobil kami. Mereka bilang Yoona meninggal sedangkan aku... aku selamat. Seharusnya aku juga meninggal. Atau biar aku saja yang mati. Aku tidak pantas hidup. Aku... aku ingin mati. Aku...”
“Taeyeon...”
Jessica berlutut di sampingnya, menggenggam erat kedua telapak tangan gadis itu ketika dia terus meracau seperti orang gila. Taeyeon tidak tahu bagaimana gadis itu melakukannya tetapi itulah yang Jessica lakukan; she makes her calm even though there were no words between them. Mereka hanya diam, entah untuk berapa lama. Pada akhirnya Jessica yang bangkit lebih dulu kemudian memeluk Taeyeon dari samping.
“Tidurlah, Taeyeon. Kamu bisa cerita apa pun kepadaku. Aku tidak ke mana-mana,” katanya melepas pelukan dan beranjak pergi.
“Sica...”
Jessica berhenti, membalik badannya, menatap bola mata coklat itu. Taeyeon menghampirinya dengan tergesa-gesa, satu tangan menangkup pipinya dan tangan yang lain menelusuri lekuk lehernya. Taeyeon menciumnya. Dan Jessica membiarkan bibirnya setengah terbuka.