Pikiran manusia itu rumit. Terkadang suka membayangkan kejadian di masa lalu dan berandai-andai apa yang akan terjadi jika membuat pilihan yang berbeda. Misalnya; apabila dia mau menuruti keinginan orang tuanya mungkin saat ini dia sudah menjadi seorang dokter, jika dia tidak pergi ke acara reuni sekolah kemungkinan besar dia tidak akan bertemu cinta pertamanya, atau andai saja dia bersikeras memaksanya tinggal lebih lama sepertinya kecelakaan itu tidak pernah terjadi.
“Oh, sial!” Taeyeon buru-buru mematikan kompor kemudian melempar panekuk yang gosong itu ke dalam wastafel. Pikirannya berantakan, mirip dengan rambutnya yang acak-acakan.
“Hm, kebiasaan.” Sunny memukul tengkorak kepala temannya sebelum menyeret gadis malang itu untuk duduk di samping meja makan. Dia membawa selai coklat dan roti panggang ke atas meja. “Makan ini saja. Sudah dibilang jangan melamun kalau lagi masak.”
Taeyeon tidak menjawab, sibuk mengoles selai coklat sampai-sampai jari tangannya berlepotan tapi siapa yang peduli. Mulutnya terlihat penuh karena sedang mengunyah, sementara tangan kirinya menggenggam secangkir kopi.
“Siang ini ada rencana ke mana?”
Taeyeon menghirup aroma kopinya dalam-dalam sebelum meminumnya sedikit demi sedikit. “Belum tahu. Kenapa?”
“Krystal ngajak kita makan siang bareng. Sepertinya itu anak ada perasaan sama kamu,” goda Sunny lengkap dengan nada ejekannya yang membuat orang lain ingin melemparnya ke kandang buaya.
“Perasaan apaan sih. Kenal juga baru dua hari yang lalu.”
“Sekarang ini bukan lagi jamannya berteman lama bertahun-tahun, nanti malah diambil pacar sama orang lain.”
“Itu namanya tidak berjodoh.”
Sunny memutar bola matanya. “Jadi, mau jawab apa ini, ikut makan siang atau tidak?”
“Iya, tapi tidak janji. Aku kasih kabar nanti siang,” katanya sambil berlalu meninggalkan meja makan.
***
10 missed call; 20 messages.
Sekali lagi ponsel itu bergetar tanpa suara di dalam celah mantel yang tebal, sementara pemiliknya tetap fokus mengarahkan lensa kamera pada bangunan di seberang danau. Rumah tua yang terbuat dari kayu, atapnya berlubang dan cat dindingnya telah kusam. Taeyeon bertanya-tanya bagaimana rumah itu bisa mempertahankan bentuk aslinya di tengah cuaca ekstrem yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Beberapa bagian rumah memang terlihat telah rusak tetapi fondasinya sendiri tampak sangat kokoh.
Entah mengapa, melihat kondisi bangunan itu sedikit banyak mengingatkan Taeyeon akan dirinya sendiri. Tampak kuat namun juga rapuh dalam waktu bersamaan.
“Maafkan aku tidak bisa ikut makan siang,” katanya begitu menempelkan ponsel di telinga dan langsung menutup teleponnya sebelum orang di seberang sambungan bisa mengucapkan sepatah kata. Hanya ada satu orang yang tahu nomor teleponnya sehingga dia tidak perlu repot-repot melihat nama yang muncul pada layar.
Taeyeon mengakhiri aktivitas memotretnya setelah satu setengah jam bergelut dengan lensa dan kamera; bermula dari jenis lensa bawaan, kemudian menjadi lensa normal, dan terakhir menggunakan wide angle lens. Dengan menahan beban yang menggantung di pundaknya, Taeyeon menyeret sepatunya menuju stasiun kereta yang lumayan jauh. Kira-kira empat puluh lima menit dengan berjalan kaki.
Dari kejauhan tampak sebuah kereta datang mendekat dengan laju yang semakin lambat hingga kemudian berhenti sempurna dalam hitungan detik. Pada umumnya orang-orang berusaha lebih cepat untuk masuk ke dalam kereta agar mendapatkan kursi kosong, tapi Taeyeon memilih berdiri di luar selama tiga menit hingga keadaan sedikit tenang.