Manusia mungkin bisa merencanakan waktu pertemuan yang pertama, tapi mereka tidak mampu menduga kapan yang terakhir akan terjadi hingga seseorang itu mengembuskan nafas terakhir.
Masih teringat jelas kapan dan bagaimana ciuman pertama itu terjadi. Sunny yang baru saja genap berusia dua puluh empat tahun menyeret sahabatnya yang pemalas untuk datang ke acara reuni sekolah. Tidak ada yang spesial; Taeyeon menggunakan kaos polos dan celana jeans. Lagi pula itu hanya sekedar acara makan bersama dan obrolan bebas hingga larut malam.
Di sana Taeyeon melihat sosok wanita yang begitu cantik dengan garis mata indah saat tersenyum. Pesona gadis keturunan Korea-Amerika itu mempunyai kekuatan sihir yang dapat menghipnotis semua orang termasuk dirinya. Oh, jangan salah sangka. She wasn’t her first love. It’s just puppy love.
Taeyeon mengetuk layar ponsel dua kali dan memeriksa waktu saat ini, pukul dua belas malam lewat sepuluh menit. Hampir semua teman-temannya sudah pulang kecuali dia dan lima teman lelakinya; satu di antaranya mabuk berat, tiga orang setengah sadar dan yang terakhir sudah pingsan di atas meja.
“Belum mau pulang?” kata salah satu teman wanitanya yang tiba-tiba muncul entah dari mana namun Taeyeon tidak terlalu peduli karena satu-satunya yang ada di pikiran dia saat ini adalah ke mana sahabatnya pergi.
“Aku sedang menunggu Sunny. Apa kamu melihatnya?” Taeyeon mencoba mengirim pesan untuk kesekian kalinya dan tentu saja tidak mendapat balasan. Jangan tanya sudah berapa kali dia menelepon. Dia sudah bosan mendengar suara dari voice mail.
“Aku baru saja melihat beberapa gadis yang pulang menggunakan taksi. Mungkin empat atau lima orang. Ada Tiffany dan Sooyoung, tapi aku tidak yakin apakah Sunny juga ikut bersama mereka.”
“Sialan. Sepertinya aku sengaja ditinggal sendirian. Balas dendam itu anak gara-gara pernah aku tinggal di tempat karaoke waktu hari ulang tahunnya.”
“Hm, kalau begitu hari ini ulang tahunmu?”
“Kemarin sih soalnya sekarang sudah lewat jam dua belas.” Taeyeon terpaksa nyengir kikuk setelah menyadari kebodohannya. “Kalau kamu kenapa belum pulang?”
“Aku penanggung jawab acara reuni kita ini. Aku tidak bisa pulang kalau masih ada yang belum pulang.”
Taeyeon menepuk keningnya dengan keras. “Duh, maaf ya, aku tidak tahu. Aku pulang sekarang.”
“Pulang bareng yuk.”
“Hah?”
Seketika pikiran Taeyeon berputar cepat penuh kebingungan, bertanya-tanya sejak kapan pertemanan mereka menjadi dekat. Meskipun berada di dalam kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut lantas tidak membuat hubungan itu berarti istimewa.
Taeyeon memang terlihat cantik tapi kurang populer. Sementara Yoona berada jauh di atasnya. Nama julukan yoong-phrodite hadir bukan tanpa alasan. Selain pernah terlibat dalam beberapa tugas kelompok, mereka praktis tidak bertegur sapa selepas kelulusan sekolah.
“Masih tinggal di kawasan Hongdae, kan? Aku pindah apartemen di dekat universitas Hongik.”
Taeyeon mengangguk lambat; tidak terlihat jelas apakah itu untuk menegaskan tempat tinggalnya atau menerima ajakan temannya. Bisa jadi menjawab keduanya lantaran pada lima menit berikutnya Taeyeon menyadari bahwa mereka duduk di bawah atap mobil miliknya.
Awalnya Taeyeon mengira suasana di mobil akan terasa canggung namun siapa sangka obrolan mereka terus mengalir tanpa henti sampai-sampai perjalanan yang hampir satu jam berlalu begitu cepat.
“Terima kasih atas tumpangannya,” ucap Yoona sambil melepas sabuk pengaman.
“Jangan lupa kasih bintang lima ya.”