10

62 12 4
                                    

“Taeyeon!” seru gadis berkulit coklat itu sambil melompat dan melambaikan kedua tangannya setinggi harapan orang tua. Yuri menawarkan dirinya untuk datang ke bandara begitu tahu kalau Taeyeon akhirnya pulang ke Korea.

Lucu mengingat bagaimana hubungan mereka yang tadinya ibarat Tom and Jerry, just because Taeyeon used to be the class president and Yuri was a troublemaker; lalu berkembang menjadi seperti seekor anak anjing dan kucing. Memang tidak terlalu jauh bedanya tetapi mereka tidak sungguh-sungguh saling membunuh meskipun terkadang keduanya masih sering bertengkar. Terima kasih kepada Yoona yang sudah menjadi sahabat Yuri sejak kecil.

“Kamu mau langsung pulang atau mau mampir ke mana dulu?” tanya Yuri sambil memasukkan koper-koper ke dalam bagasi mobil.

“Bisa mampir ke toko bunga sebentar?”

Yuri mengangguk, paham dengan hal-hal yang biasanya Taeyeon lakukan setelah apa yang dia katakan sebagai proses penyembuhan. Setelah menempuh dua jam perjalanan mobil hitam itu berhenti di sebuah bangunan columbarium.

Bukan keinginan Taeyeon agar abu dari wanita yang dicintainya berada di sini, jauh dari tempat tinggalnya. Namun pada saat Yoona meninggal, Taeyeon juga tidak dalam kondisi bisa memilih. Pertama kali dia datang ke sini atau satu bulan setelah dirawat di rumah sakit; Taeyeon jatuh terduduk, menangis keras, tidak peduli dengan rasa sakit di kepalanya yang ingin meledak.

Sejak itu Taeyeon rutin datang ke columbarium itu setiap minggu pada dua bulan pertama, lalu dua minggu sekali untuk tiga bulan berikutnya, sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk melawan suara-suara bising di kepalanya.

Taeyeon hanya berdiri di sana. Tidak lama, dia tidak pernah tahan berlama-lama. Tidak ada cerita yang dia bagikan kepada guci putih kecil itu, tidak di dalam hati dan tidak juga dilafalkan. Percuma saja pikirnya, Yoona tidak mungkin menanggapinya seperti dulu lagi.

“Sudah?” sapa Yuri begitu Taeyeon masuk ke dalam mobil.

Taeyeon mengangguk kecil, memasang sabuk pengaman dan mengatur posisi sandaran kursi. Dia menghubungkan perangkat audio di mobil dengan pemutar musik di ponselnya.

“Oh iya, mumpung kamu di sini, bisa dong ya datang ke pesta pernikahan teman kita.”

“Siapa yang nikah?”

Yuri membuka laci dashboard mobilnya sambil tetap mengemudi pelan-pelan, mengeluarkan amplop berwarna coklat muda dan hiasan pita keemasan, senada dengan warna ukiran nama yang tertulis di bagian depan.

Taeyeon terkejut saat membaca isinya. “Kamu serius mau nikah?”

“Serius dong. Tidak mungkin cetak undangan kalau cuma main-main.”

“Aku pikir teman kita siapa yang mau nikah, eh ternyata kamu sendiri. Gila ya, tidak tahu kapan pacarannya tiba-tiba sudah mau nikah saja. Ini bukan karena hamil duluan, kan?”

“Enggaklah,” jawab Yuri sambil tertawa dan menoyor kepala temannya yang tidak waras. “Aku pertama ketemu dia ini waktu kamu pergi ke Paris dulu. Karena terlibat di satu perkerjaan yang sama akhirnya kami sering ketemu dan jalan bareng.”

Well, selamat ya, aku mendoakan yang terbaik buat kamu. Agak kaget sih. Aku kira dulu kamu suka sama Yoona, makanya kelihatannya benci banget sama aku.”

“Ya memang,” balas Yuri dengan suara santai dan tawa kecil. “Baru sadar sekarang?”

Sejak dulu Taeyeon menyadari bahwa gadis itu menyimpan perasaan khusus untuk kekasihnya. Dia bisa menilai sikap dan perhatian yang Yuri berikan untuk Yoona terkadang melebihi batas persahabatan. Taeyeon bertanya-tanya apakah yang akan terjadi jika seandainya Taeyeon tidak datang di acara reuni sekolah pada malam itu. Mungkin perasaan Yuri akan terbalas. Mungkin suatu saat nanti Yuri dan Yoona akan menikah. Mungkin Yoona tidak akan meninggal dalam kecelakaan mobil. Mungkin...

“Kamu baik-baik saja?”

Tidak. Taeyeon berada jauh dari definisi kata baik yang ada di dalam kamus bahasa, meski begitu dia tetap mengangguk.

“Yeah, I’m okay. Cuma masih tidak terbayang saja tiba-tiba kamu nikah secepat ini, padahal dulu kamu paling anti berkomitmen, katanya mau puas-puasin main dan nakalnya. Berarti sekarang sudah tidak nakal lagi, ya?”

“Masih sedikit,” kata Yuri cengengesan. “Tapi jujur ya, disayangi itu ternyata menyenangkan. Jangan ketawa kamu. Serius aku ini.”

Taeyeon cuma tertawa, tidak tahu mau berkata apa, karena ketika mendengar pernyataan Yuri tadi tiba-tiba wajah dua orang wanita melintas di pikirannya. Dia teringat masa-masa bahagia disayangi Yoona dahulu dan disayangi Jessica sekarang.

***

“Sudah beres?”

“Menurut kamu?” balas Jessica balik bertanya sambil membentangkan kedua lengan dengan dramatis, menunjuk ke dua koper besar yang belum terisi penuh dan setumpuk pakaian yang berserakan di atas kasur.

Krystal terkekeh. “Lagian kenapa mau bawa baju sebanyak itu. Kalau untuk pakaian sehari-hari di rumah sana juga masih ada.”

Lima tahun yang lalu Jessica melarikan diri ke New York hanya dengan membawa satu koper kabin. Sekarang dia memiliki segudang pakaian dan selusin sepatu, belum lagi koleksi tas serta berbagai aksesoris wanita.

“Tunggu...” Krystal buru-buru mendekati lemari lalu membuka lebar-lebar kedua sisi pintunya. Seketika matanya melotot. Kosong; tidak ada selembar pakaian pun yang tersisa di dalamnya. “Kamu tidak berniat untuk benar-benar pulang ke rumah, kan?”

“Ya memang, kan mama yang minta kita buat pulang.”

“Itu karena supupu kita ada yang mau nikah. Duh, jangan bercanda dulu deh. Pulang itu ya pulang. Enggak balik lagi ke sini.”

Jessica diam membisu, bahkan tarikan nafas yang dihembuskannya hampir tidak bersuara. Sudah berapa lama dia memikirkan hal ini? Mungkin sepanjang waktu. Keputusannya bisa saja salah. Tapi, membiarkan hidupnya berjalan tanpa arah juga tidak benar.

“Atau begini, tinggalkan sebagian barang kamu di sini. Besok-besok kalau mau balik lagi ke New York tidak perlu bawa apa-apa.”

“Besok-besok ya, dikira New York itu sedekat Incheon ke Seoul.”

“Gampang. Tinggal duduk manis di pesawat, tidur, tahu-tahu sudah sampai”

“Kamu yang belikan tiketnya?” goda Jessica.

“Beli sendirilah. Tabungan kamu kan banyak.”

“Tabungan banyak kalau terus-terusan tidak kerja lama-lama juga bakal habis.”

“Jadi, maksud kamu pulang ke Korea itu karena mau sekalian balik kerja lagi?”

Jessica mengangguk. Sesungguhnya dia belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap untuk kembali terjun ke dunia yang dahulu pernah membesarkan namanya. Namun, perasaannya hancur setiap kali melihat tumpukan buku-buku sketsa yang mulai berdebu, tidak tersentuh dan akhirnya tergeletak di kolong tempat tidur.

That’s good news!” teriak Krystal melompat kegirangan lalu berlari ke kamarnya mengambil dompet dan mantel. “We should celebrate! Ayo aku yang traktir, mau makan di mana?”

“Terserah,” jawab Jessica bangkit perlahan dan melupakan barang-barang yang harus dikemas. Dia memperbaiki riasan di wajahnya yang agak memudar, mengenakan mantel lalu terakhir melilitkan syal di leher.

“Kok aku lagi ingin makan yang manis-manis ya,” celetuk Krystal tiba-tiba. “Kita makan di L'adresse saja.”

Jessica tidak bisa menolak.

Meski tempat itu membangkitkan kenangannya terhadap seseorang yang menghilang selama hampir dua bulan lamanya; tidak ada telepon, tidak ada pesan singkat, tidak ada komunikasi dalam bentuk apa pun. Jessica tidak bisa menolak dan menenggelamkan kegembiraan yang tengah dirasakan adiknya, hanya karena orang itu yang mungkin juga sudah tidak ingat dirinya lagi.

THE UNSAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang