Jessica tidak ingat kapan dia pernah tersenyum lebar seperti ini dalam lima tahun terakhir. Dua hari setelah dia kembali ke Seoul, salah satu relasi lamanya menelepon dan minta bertemu. Dia sudah pernah mengerjakan semua model pakaian untuk empat musim, tapi tawarannya kali ini sempat membuat Jessica tertegun.
Kolaborasi untuk koleksi pakaian musim gugur dengan tenggat waktu pengerjaan kurang dari tiga bulan. Ini gila. Namun, dia tidak mungkin melewatkan kesempatan itu sementara yang dia perlukan hanya tenaga bantuan yang lebih banyak.
“Lusa kamu bisa ikut pergi ke Paris, kan? Kita akan lihat acara Paris Fashion Week sebelum memutuskan rancangannya. Bagaimana?”
Jessica mengangguk. Akhir pekan itu mereka terbang ke Paris, menghadiri acara peragaan busana selama satu minggu penuh, lalu secara resmi mulai bekerja sama dan tanda kontrak di minggu berikutnya.
Dia bekerja seperti orang gila; tujuh hari dalam seminggu, lima hari di kantor dan dua hari di apartemen. Rata-rata Jessica hanya tidur tiga sampai empat jam per hari. Semua sakit kepala dan kurang tidur yang harus dia lalui selama beberapa bulan setimpal dengan hasil yang terpampang di hadapannya. Coretan, gambar dan keringat itu akhirnya terwujud.
Setiap kali ada sebuah rancangan yang telah selesai dikerjakan, maka Jessica akan berdiri mengamatinya seperti sekarang. Walaupun pakaiannya sudah sesuai dengan rancangan yang disepakati, tidak kurang suatu apa pun, selalu saja ada satu atau dua hal yang tiba-tiba muncul di kepala Jessica saat itu. Hal-hal yang bisa sedikit berubah untuk dikembangkan. Itu tidak akan berhenti sampai Jessica tersenyum puas.
***
“Jadi, selama hampir tiga bulan ini dia tidak ada menghubungi kamu sama sekali?” tanya Yuri sambil mengupas buah apel lalu memakannya. Entah mengapa belakang ini selera makan dia menjadi dua kali lipat.
“Tidak.” Taeyeon menggeleng.
“No calls? No texts?”
“None.”
“Nah, karma is a bitch. You know, what goes around comes around.” Yuri mengolok-oloknya seolah semua itu salah temannya, dan memang benar, Taeyeon bahkan tak punya alasan untuk membela dirinya.
“Kamu pernah terpikir tidak buat menyusul dia terbang ke Paris?”
“Ada sih.”
“Tunggu apalagi kalau begitu,” kata Yuri merasa frustrasi dan geregetan.
“Aku masih bingung. Misalnya ya sudah ketemu Jessica di sana, terus gimana?”
“Kamu serius tanya begini?”
“Hu’um,” gumamnya mengangguk pelan.
“Kamu baluri dia pakai sirop coklat dari ujung kepala sampai ujung kaki terus kamu jilat.”
“Woi!” Taeyeon menendang tempat duduk Yuri dengan pelan sambil tertawa. Dia seharusnya sudah menduga jika temannya tidak pernah punya gagasan normal.
“Tapi serius ya, perasaan kamu seperti apa?”
“Tentang?”
“Menjilat coklat di tubuh Jessica.”
Kali ini Yuri nyaris terjungkal dari kursinya gara-gara mendapat tendangan yang dahsyat. “Ya lagian pakai tanya segala padahal sudah jelas arahnya ke mana. Jawablah, apa yang kamu rasakan setelah tiga bulan dia pergi ke Paris?”
Taeyeon menatap cangkir kopi yang hampir kosong di tangannya. “Kangen.”
“Terus?”
“Ingin ketemu lagi.”