"Maaf Tji. Apabila ada kata-kata dari aku, kamu artikan sebagai rayuan. Dan sedari tadi aku tidak merayu kamu. Ini semua keluar dari lubuk hatiku. Aku dengan tulus meminta maaf akan perangaiku kepada kamu tempo hari. Aku juga sangat tulus mengagumi dirimu yang sangat berkilau."
"Kamu boleh bertanya dan mencari tau ke Nyonya Laksamana Suardi tentang bagaimana diriku, sifat dan perangaiku. Aku tidak pernah keluar bersosialisasi dengan kawan-kawan pemuda lainnya. Aku begitu tamat sekolah langsung membantu orang tua ditoko kami. Sebagai anak pertama laki-laki, aku ditempa untuk bisa meneruskan usaha orang tua."
"Aku sama seperti Kokoh Budi. Namun lain halnya Kokoh Budi yang masih sempat berpelisir kemana-mana sambil menciptakan relasi, aku tidak ada keinginan untuk keluar berlarut-larut duduk bercengkrama. Begitu pulang dari toko ataupun gudang, aku langsung balik kerumah, membaca buku dan koran. Aku lebih tertarik dengan memelihara hewan-hewan daripada membasahi mulut dengan menggunjingkan orang. Aku juga jarang membaca buku para sastrawan dan para pujangga, aku lebih memilih membaca koran mengetahui keadaan bangsa dan negara".
"Jadi kalau perkataanku tadi diartikan sebagai merayu, aku tidak akan menyalahkanmu. Malahan aku bersyukur, aku bisa merayumu Tji. Aku bukan lelaki yang menyukai tarik ulur, aku orangnya sangat to the point. Dikesempatan ini, aku mungkin sangat lancang ingin meminta persetujuanmu yang akan mendekati dirimu. Kalau kamu berkenan, aku ingin mengetahui dirimu lebih dekat. Tji, apa kamu bersedia didekati oleh ku?" ucap Hilmar sungguh-sunguh sambil memegang tangan Tjitji.
"Aku tidak tau Hilmar. Aku belum pernah sekalipun didekati oleh seorang lelaki. Aku juga tidak mempunyai kawan lelaki. Karena Papi dan Koh Budi sangat membatasi diriku dengan sangat ketat. Aku takut kamu akan bosan dan menjauh setelah tau, aku susah untuk didekati karena terbentur larangan mereka dan juga aku tidak tau bagaimana harus bersikap. Aku hanyalah seorang pemula dalam hal ini Hilmar. Sekarang pun aku sangat grogi dibuatnya." Tjitji lagi-lagi hanya bisa tertunduk malu.
"Aku juga seorang pemula Tji. Aku baru kali ini, sangat tertarik dengan seseorang selain usaha dan buku-buku. Dan orang itu kamu Tji. Watakmu yang meledak-ledak dan yang paling aku sukai yaitu suara merdu kamu seperti malaikat bernyanyi disurga. Aku selalu ingin lagi dan lagi mendengarkan suara kamu. Aku jadi ingin tau bagaimana rasanya dekat dengan dirimu. Aku jadi ingin tau bagaimana rasanya berjalan berdua dengan dirimu. Aku tertarik dengan dirimu yang begitu indah."
"Tapi Hilmar, aku takut nanti kamu bosan atau malah kamu ketakutan karena pengawasan Papi. Takut nanti ekspektasi kamu ke aku itu berubah ternyata aku orangnya sangat kaku. Aku bukan seperti gadis-gadis diluar sana yang tau membuka cerita, yang tau meramaikan suasana. Aku susah berteman. Aku sangat pemalu."
"Jangan kira aku sering bernyanyi itu bikin aku juga pandai bersosialisasi. Tidak Hilmar, aku seorang pemalu. Makanya diri ku pun heran kenapa hari itu aku mau-maunya diajak oleh para bedebah. Aku hanyalah seorang gadis yang sangat pemalu. Cuma dikeluargaku saja aku bisa ceria dan cerewet. Teman karibku pun hanya seorang. Apa betul kamu mau mendekati aku yang seperti itu Hilmar?"
Belum lagi, riwayat keluarga besar kita berdua sangat suram Hilmar. Musuhan paling tepat. Apa bisa kita leluasa berbagi kasih selayaknya pemuda pemudi diluar sana? Aku takutnya sebelum melangkah, kaki kita berdua sudah duluan dipatahkan oleh orang tua kita. Aku seorang Soepaja Lim dan kamu Jahja Watanabe. Apa bisa kita bersama?" Tjitji menahan isak membayangkan nasib mereka berdua.
"Kamu sudah tau tentang permusuhan kedua keluarga kita Tji?" tanya Hilmar hati-hati kepada Tjitji yang enggan menampakkan wajah indahnya.
"Semalam aku sudah bertanya kepada Bibi Ratmi. Dia sudah bercerita banyak tentang bagaimana permusuhan Papi dan Papa kamu Hilmar. Yang aku juga tidak habis pikir kenapa dari hal yang sepele bisa menjadi besar seperti ini. Bahkan sampai berdarah-darah. Aku tau betul Papi aku itu sangat keras orangnya. Kemauan dan keinginannya harus terpenuhi. Bertemu dengan Papa kamu yang juga sama-sama keras kepala. Belum lagi darah keturunan kita berbeda. Apa kita bisa memadu kasih Hilmar?"
"Persetan dengan orang tua Tji. Persetan dengan darah yang mengalir ditubuhku dan ditubuhmu. Aku hanya inginkan kamu. Mengetahui dirimu lebih lanjut. Kalau bisa menua bersama, melihat anak-anak kita tumbuh besar, rambut memutih, kamu yang akan menyanyikan langgam melayu disetiap malam. Aku cuma ingin itu Tji." Teriak Hilmar lepas kendali akibat emosi yang memuncak.
Dengan segera Tjitji menggenggam jemari Hilmar yang sudah memerah akibat menahan emosi.
"Hilmar. Tolong. Kita bicarakan ini dilain waktu. Atau kalau kamu mau, kita bisa kewarkop sahabat ku yang tempo hari tempat kita pertama kali bertemu. Kita bicarakan ini disana. Aku takut orang orang melihat dan melaporkan kita. Hilmar tolong berhenti untuk emosi. Kendalikan dirimu. Aku mohon. Kamu maukan mendengarkan aku?"
"Ke warkop tempo hari? Apa kamu tidak akan mendapat masalah nanti Tji?"
"Aku jamin sahabat ku itu tidak akan berbicara. Kamu mau kan kita kesana?" Ucap Tjitji sambil meremat jemari Hilmar dan akhirnya Hilmar mengangguk tanda setuju.
"Baiklah. Kemanapun kamu mau, aku akan turuti. Kalau begitu, aku ke kasir. Kamu tunggu disini dulu Tji. Jangan kemana mana."
"Iya Hilmar. Aku tidak akan kemana mana"
Setelah membayar makanan, mereka berdua pun bersegera berjalan ke arah parkiran mobil ditempat warkop tempat mereka bertemu siang ini.
Erat tangan Hilmar memandu Tjitji berjalan beriringan. Sesekali diusap lembut jemari Tjitji, yang entah mengapa terasa dingin oleh Hilmar.
Tjitji yang cemas akan pandangan orang disekitarnya, mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Hilmar. Namun sayang, Hilmar sungguh berperinsip kali ini. Genggamannya makin menguat.
"Jangan dilepas Tji. Kamu sudah janji tadi tidak akan kemana mana. Jangan takut, apapun yang terjadi, aku akan selalu bersama mu. Aku akan bertanggung jawab dihubungan kita."
Tjitji yang mendengarkan itu meluruh hatinya. Dia bahkan terisak menahan tangis. Walaupun begitu, keduanya tetap melangkah. Hilmar sudah memantapkan janjinya. Janji seorang lelaki, untuk mencintai, menjaga, setia dan bertanggung jawab untuk wanitanya Tjitji seorang.
Genggaman erat ditangan keduanya tidak melonggar. Meski hati keduanya dilanda gelombang. Tau apa yang akan terjadi kedepannya. Tapi biarlah semua itu terjadi. Cinta pertama mereka akan diperjuangkan. Hilmar siap menjadi pejuang, berjuang dalam bara api hanya demi cinta mereka. Dan Tjitji akan menjadi benteng mempertahankan kisah cinta mereka.
Begitu mereka sampai diparkiran mobil Tjitji. Keduanya enggan melepaskan genggaman. Masih ingin merasakan desiran disekujur tubuh. Masih ingin merasakan aliran listrik menghujami tubuh keduanya.
"Tji, kamu naik duluan kemobil kamu. Motorku ada diseberang sana. Kita bertemu diwarkop sebentar lagi. Kamu hati-hati yah" ucap Hilmar
"Kamu juga Hilmar, hati-hati mengendarai motornya. Jangan ugal-ugalan. Kita hanya berpisah sebentar saja."
"Baiklah sesuai mandat dari Yang Mulia Ratu, aku akan berhati-hati. Sampai bertemu diwarkop yah Tji"
Senyum Tjitji menghiasi diwajahnya yang ayu. Matanya yang cantik bagai serigala menerkam hati Hilmar. Baru beberapa detik berpisah, dirinya sudah dilanda badai kerinduan. Apalah daya, nasib lelaki pecinta seperti Hilmar. Seorang pemula dalam percintaan. .
Tjitji, kekasih hati ku. Aku bersumpah atas nama Tuhan Bapa disurga, aku akan meminangmu. Menjadikanmu mempelai wanita ku satu satunya. Dan hanya Dia yang mampu memisahkan kita berdua.
🦋🐺
KAMU SEDANG MEMBACA
After Life
FanfictionSaat cinta bertahan selamanya, melewati ruang dimensi dan waktu, disitulah kekuatan cinta dipertaruhkan.