03

72 6 0
                                    








FLASHBACK


Satu tahun yang lalu, Hilmar yang baru pulang menemani Papa nya berniaga dari Bandung, melipir ke sebuah kios kelontong yang juga merangkap sebagai warung kopi dipinggiran kota Jakarta. Lumayan ramai pengunjung kios ini, mungkin karena lengkap dan sedikit luas tempatnya dibanding warung kopi atau kios kelontong lainnya.

Ramai pengunjung bercakap-cakap tentang resesi ekonomi juga politik dan pergerakan kepemudaan yang sedang bergejolak di negara ini. Meski terdengar samar karena takut akan razia tentara, tapi keseruan pembicaraan sangatlah intens membuat Hilmar ingin nimbrung duduk dan bercakap dengan mereka. Tapi konsentrasi Hilmar terpecahkan, ketika dirinya tiba-tiba tersorong kedepan hampir menabrak meja dekat dirinya berdiri.

Dirinya tersenggol sedikit keras oleh seorang wanita yang sedang tertawa kencang dan memegang secangkir kopi hitam panas. Sungguh malang nasib Hilmar, dirinya yang berniat untuk bercakap-cakap dengan beberapa pemuda dikios ini, tapi naas dirinya ditabrak dan terkena siraman kopi hitam yang panas diarea punggungnya.

"Aduh, kalo jalan liat-liat dong. Lu punya mata ama kaki dipakai yg benar." Yup, Hilmar mengumpat, punggungnya kepanasan oleh siraman kopi, belum lagi stelan ini baru saja dibelikan oleh Mamanya. Bisa-bisa Mamanya bakalan marah besar, meskipun bukan salah Hilmar.

"Hei Bung, lu yang salah. Ngapain berdiri planga plongo depan jalanan masuk. Lu g liat apa, ini jalanan masuk, mata belo tapi buta. Apa liat-liat"

Kaget dong Hilmar. Seumur hidupnya, dia g pernah melihat seorang wanita yang berisik dan selugas wanita dihadapannya ini. Lumayan cantik sih, meski kulitnya sawo matang, dan matanya itu sangat indah. Hilmar mengira-ngira, wanita ini peranakan pribumi cina.

"Heh malah diem. Ngapa lu, bego banget jadi laki." Tambah berisik deh wanita ini pikir Hilmar. Mana tidak sopan pake lu lu.

"Apa, gua bego?. Lu kali, jadi wanita berisik amat. Mulutnya kaya ember pecah, ketawa kencang mulutnya menganga macam gong. Jalan g liat-liat pula, habis lah stelan gua bau kopi. G bisa ilang dah ini. Lu harus ganti rugi"

"Ehh enak aja ganti rugi. Lu yang ganti kopi gua. Belum gua minum ketumpah gara-gara lu bengong dijalanan. Emang ini kios punya Engkong lu? Stelan segitu aja sok-sokan mau minta ganti rugi. Stelan tanah abang sombong sekali."

"Wah, gadis ini, berisiknya minta ampun. Apa lu bilang, stelan tanah abang. Lu kali blus lu buatan tanah abang. Ini stelan baru beli di Tokyo. Lu pasti g tau Tokyo. Lu kan udik. Lu kerja disini? Mana yang punya kios gua mau bicara, biar lu dipecat. G becus jd karyawan".

"Wah, ada apa ini Tji. Ya ampun, maaf Bung, kawan saya g sengaja numpahin kopinya. Saya akan ganti rugi, setelan Bung bisa saya bawa ke binatu langganan kami. Sebagai bentuk permintaan maaf atas ketidak sengajaan kawan saya."

"Maaf Nona, stelan saya g bisa asal-asalan dicuci, saya punya langganan washdry. Saya maafkan karena Nona sudah beritikad baik, tidak seperti kawan Nona yang urakan ini."

"Hei Bung, anda makin lama makin kurang ajar ya klo dilihat-lihat. Lagaknya seperti yang punya Batavia aja. Apaan itu, stelan saya g bisa asal-asalan dicuci, stelan model pasar belagunya selangit. Bung, anda jangan membohongi saya dan kawan saya yah".

"Jaga bicara kamu Nona. Mana ada stelan dengan jahitannya yang rapih seperti ini dijual di pasar pribumi. Kamu, kalau g punya duit buat ganti rugi bilang aja, jangan banyak cincong."

"Wah g benar lelaki ini ternyata. Sini, stelan segitu, gua bisa beli 100 picis sekarang juga. Jangan memandang remeh manusia Bung."

"Tji sudah cukup. Lu masuk deh ke dapur, bikin kopi baru lagi aja. Ssttt sudah sono, pegi, biar gua yang tanganin disini. Begini-begini, ini kios gua Tji. Gua mohon deh"

Tjitji yang merasa terusir sebelum berperang, merotasikan bola matanya saking jengkelnya dengan lelaki dihadapannya itu. Dengan langkah lebar dan penuh penekanan, Tjitji pun menggerutu dan menatap sekali lagi kepada lelaki sombong itu dengan tatapan maut nan tajam. Lelaki itu pun tidak mau kalah, balik menatap Tjitji dengan tatapan sinisnya.

"Dan anda Bung. Tjitji ada benarnya, anda jangan seperti itu. Jangan memandang remeh siapapun itu. Begini saja Bung, anda ke binatu punya Kakek saya saja. 6 rumah dari kios sini. Binatu Ong. Cukup terkenal, langganan ibu-ibu pejabat. Bilang saja kawan dari Ahmei. Mereka sudah paham."

"Ahh aku tau Binatu Ong. Memang langganan family saya. Tapi g usah. Saya masih mampu biayain diri ku sendiri."

"Oh yah sudah kalau anda tidak mau. Tapi jangan sampai nanti anda berkata yang tidak benar kepada yang lain, bahwa saya dan Tjitji tidak mau mengganti rugi."

"Nona percaya sama saya. Saya lelaki yang penuh martabat. Tidak suka memfitnah. Kalau begitu, saya permisi".

Sepeninggal lelaki itu, yang kita ketahui bersama, bahwa dia itu Hilmar. Ahmei beranjak ke arah dapur kiosnya, untuk menengok keadaan karibnya, yang bisa dia pastikan saat ini belum berhenti untuk menggerutu. Dan ternyata dugaannya benar, dilihatnya Tjitji terduduk sambil mengaduk kopi nya dengan penuh emosi.

"Tuh orang beneran sombong banget deh Tji. Cocok banget ama Papi lu. Sama-sama sombong. Jangan-jangan jodoh lu ntar. Hahahaha"

"Heh, mulutnya, bagus diumpani buat lele di empang. Sini lu, gua iris-iris mulutnya."

"Dih, segitu aja marah. Hati-hati Tji. Biasanya tuh yah, benci-benci jadi cinta. Gua syukurin lu klo kejadian. Hahaha"

"G, ogah. Mending gua jadi perawan tua daripada ama tuh orang. Amit-amit jabang bayi. OGAH MEI".





🦋🐺

After LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang