Episode 18

73 49 2
                                    

JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK DAN SARANNYA🔥
Typo, koreksi📌

●○●○●○

Setelah perjalanan yang cukup menguras energi, akhirnya mereka sampai di rumah Nara dengan selamat sentosa.

"Lo langsung pulang aja, gak usah mampir."

"Gue juga gak berniat mampir sih. Lo gak lihat, tatapan bang Harsya yang nyeremin gitu!?" Mata Dhara menatap ke arah Harsya yang berdiri tegak di depan gerbang dengan mata yang menatap tajam pada mereka. Sepertinya, abangnya itu sengaja berdiri di depan gerbang untuk menunggu kedatangan dirinya.

"Ya sudah, sana pergi!" Dhara mengangguk kemudian menatap Harsya dengan tersenyum. "Halo bang Harsya, aku pulang dulu ya, selamat malam, dan jangan lupa mimpiin Dhara." Cewek itu mengedipkan sebelah matanya guna menggoda Harsya.

Seketika Nara langsung menabok sahabatnya itu. "Gak usah kumat!"

"Ya maaf. Abang lo terlalu ganteng buat dianggurin, meski kalau dia kumat suka bikin gue emosi, tapi pesonanya masih bisa ditoleransi sama mata premium gue," jawab Dhara dengan cengengesan.

"Kalau gitu, gue pulang sekarang." Dia langsung masuk ke dalam mobilnya. "Bye bestie."

Nara tersenyum melambaikan tangannya. "Bye."

Setelah itu, Nara memutar badan menghadap abangnya yang sudah menunggunya dengan tatapan tajam yang tidak pernah lepas darinya.

"Lo emang keras kepala, Nar," sambut Harsya setelah Nara berada tepat di depannya.

"Dan si keras kepala ini, adik, Abang," balas Nara dengan sebelah alis terangkat. Dia mendongak melihat wajah abangnya dengan tersenyum memamerkan giginya.

Mendengar itu, tatapan Harsya yang semula tajam langsung berganti menjadi seringaian tipis, lalu dia mengangkat tangannya mengacak rambut Nara.

"Gadis nakal." Gemas Harsya.

ʕ•ﻌ•ʔ

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Nara duduk di pinggir kasur, ekspresinya tidak bisa dikatakan tenang, karena besok merupakan hari pertama dia bertemu dengan kakak pertamanya setelah tiga tahun berpisah.

"Sebenarnya, kenapa kak Arsen tiba-tiba pulang? Apa kakak sudah gak marah ke gue? Atau malah dia masih benci sama gue?" Bingung Nara mulai memikirkan kemungkinan yang akan terjadi besok. Perasaannya campur aduk antara takut, senang, dan rindu menjadi satu.

Dia mendengus. "Gak, gak. Pasti kakak tiba-tiba pulang karena dia sudah tidak marah padaku, mungkin dia juga merindukanku. Tapi kalau dia masih marah, maka aku harus meminta maafnya sampai dia mau memaafkanku. Kan, dulu juga tidak semuanya kesalahanku," tekadnya kuat dan sungguh-sungguh.

"Lah, kenapa tiba-tiba gue ngomong pakai bahasa baku, sok formal banget sih gue." Dia memukul kepalanya beberapa kali. "Bisa gila gue lama-lama."

Nara berdiri dan berjalan menuju arah jendela kamarnya. Dia berdiri memandang langit malam dengan mata yang mulai berembun.

Karena tenggelam dengan lamunannya, dia sampai melupakan perutnya yang belum dia isi. Hingga rasa perih dan suara nyaring terdengar dari perutnya, menyadarkan dia dari lamunannya.

"Ah, gue lupa makan malam. Pantesan nih perut demo mulu dari tadi, lebih baik gue turun sekarang buat ngasih asupan lambung gue yang sudah meronta-ronta dari tadi."

Nara segera bergegas keluar dari kamarnya dan berjalan menuju lantai bawah dengan tangan yang mengelus perut ratanya. "Sabar ya cacing-cacingku, sebentar lagi kalian semua bakal mendapatkan makanan yang enak kok."

Tetapi ketika dia akan melangkahkan kakinya menuruni tangga, matanya tidak sengaja melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Dia mengurungkan langkahnya dan malah berbelok menghampiri kamar tersebut.

Nara berdiri di depan pintu kamar itu, raut sendu terlihat jelas di mukanya. Dia berdiri cukup lama dengan bibir yang tertutup rapat menahan tangis.

"Ka-kak," bisiknya pelan dengan suara tergagap. "Nara rindu. Nara kangen sama Kakak," adunya seakan-akan Arsen berada di depannya.

"Semua itu bukan salah Nara, Kak. Tolong percaya sama Nara!" Tubuhnya bergetar. Dia menangis sesenggukan, mengadukan segala sesak yang telah dia tahan selama ini.

Dengan suara parau dan lirih, dia kembali berbicara, meski sosok yang dia ajak bicara tidak akan mendengar suaranya, karena mungkin sosok itu sudah menyelami alam mimpinya.

"Nara kangen, kak Arsen yang dulu. Kak Arsen yang selalu ada untuk Nara, yang selalu manjain Nara, dan selalu menatap Nara dengan teduh." Nara benar-benar merindukan kakaknya yang dulu, dia benci tatapan dingin Arsen yang dilayangkan padanya. Tatapan hangat yang selalu tertuju padanya itu sirna, digantikan dengan tatapan asing nan dingin.

Nara semakin melangkah mendekat. Dia menempelkan dahinya pada permukaan pintu, lalu berbisik lirih. "Nara sayang, Kakak. Selamat tidur kakaknya Nara, semoga mimpi indah. Dan semoga, esok pagi kakak kembali sayang sama Nara." Tersenyum getir.

Setelah itu, Nara langsung berlari pergi menuju kamarnya, bahkan dia sudah tidak memperdulikan perutnya yang berbunyi sedari tadi, rasa perih di perutnya juga dia abaikan, sekarang tujuannya hanyalah pergi ke kamar untuk mengeluarkan segala rasa sakitnya. Hatinya benar-benar sakit mengingat sikap kakaknya yang berubah drastis padanya.

Sudah berkali-kali dia mencoba menjelaskan kepada Arsen, tapi cowok itu seakan menutup telinganya dari segala yang diucapkan oleh Nara.

"Sampai kapan pun. Aku akan tetap terlihat sebagai pelaku, karena kamu selalu menutup mata dari segala fakta, Kak." Nara menekuk kedua kakinya duduk di lantai kamar yang dingin. "Aku tau semuanya, aku tau, Kak." Tatapan matanya kosong.

"Aku tau, kakak hanya takut kehilangan dia." Nara memejamkan matanya membiarkan air matanya keluar bebas. "Kamu takut kembali merasakan kehilangan, tapi kamu tidak pernah memikirkan aku yang juga merasakan kehilangan sosok cinta keduaku." Nara membenamkan kepala pada kedua lututnya. Keheningan malam dan suasana kamar yang sunyi kini dipenuhi oleh suara tangisan memilukan. Ini sakit, benar-benar sakit.

Sedangkan dari arah berlawanan, Harsya yang semula akan turun untuk mengambil minum, mengurungkan niatnya ketika melihat sang adik menangis di depan kamar kakaknya. Rasanya dia ingin berlari dan merengkuh tubuh adiknya. Tanpa sadar, air matanya keluar. Hatinya berdenyut sakit, melihat adik yang selama ini dia jaga, terlihat sangat rapuh.

"Maaf, Dek. Maafin, Abang yang gak bisa ngapa-ngapain."

Tangan Harsya terkepal kuat hingga membuat otot-otot tangannya menonjol. Dia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat sesuatu. Semakin lama dia melihat adiknya, rasa bersalah semakin besar menghantamnya.

Harsya tidak kuat melihat itu semua. Dengan langkah lebar, dia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya kuat-kuat untuk melampiaskan segala emosinya, kemudian menguncinya. Dia benar-benar hancur, setelah sekian lama, dia kembali melihat air mata adiknya dengan mata kepalanya sendiri.

Detik dan DetaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang