JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK DAN SARANNYA!
Typo, koreksi📌●○●○●○
Setelah perjalanan yang cukup menguras energi, akhirnya mereka sampai di rumah Nara dengan selamat sentosa.
"Lo langsung pulang aja, gak usah mampir!"
"Gue juga gak berniat mampir, sih. Lo gak lihat tatapan Bang Harsya yang nyeremin gitu?"
Mata Dhara menatap ke arah Harsya yang berdiri tegak di depan gerbang dengan sorot mata tajam. Sepertinya, Harsya memang sengaja berdiri di sana untuk menunggu kedatangan mereka.
"Ya udah, sana pergi!"
Dhara mengangguk, lalu menatap Harsya sambil tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya.
"Halo, Bang Harsya. Aku pulang dulu, ya. Selamat malam, dan jangan lupa mimpikan Dhara." Mengedipkan sebelah matanya, menggoda Harsya.
Seketika Nara langsung menabok sahabatnya itu.
"Gak usah kumat!"
"Ya, maaf. Abang lo terlalu ganteng buat dianggurin. Meski kalau dia kumat suka bikin gue emosi, tapi pesonanya masih bisa ditoleransi sama mata premium gue," jawab Dhara dengan cengengesan.
"Kalau gitu, gue pulang sekarang." Dia langsung masuk ke dalam mobil.
"Bye, bestie."
"Bye," jawab Nara, melambaikan tangannya.
Setelah itu, Nara berbalik menghadap abangnya yang sejak tadi menatapnya tajam.
Harsya melangkah mendekati adiknya yang berdiri diam menatapnya dengan langkah kecil.
"Lo emang keras kepala!" ungkap Harsya saat Nara sudah berada di hadapannya.
"Dan si keras kepala ini adalah adik Abang," balas Nara sambil mengangkat sebelah alis.
Nara mendongak menatap wajah Harsya dengan senyum yang memamerkan deretan giginya.
Tatapan tajam Harsya perlahan berubah menjadi senyum tipis. Ia mengangkat tangannya dan mengacak rambut Nara.
"Bocil nakal!" gumamnya gemas.
ʕ•ﻌ•ʔ
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian tidur, Nara duduk di pinggir kasur. Wajahnya tidak bisa dikatakan tenang. Besok adalah hari pertamanya bertemu kembali dengan kakak pertamanya setelah dua tahun berpisah.
"Sebenarnya, kenapa Kak Arsen tiba-tiba pulang? Apa dia udah gak marah lagi sama gue? Atau malah masih benci?" pikir Nara. Perasaannya campur aduk, takut, senang, dan rindu menjadi satu.
Ia mendengus pelan.
"Gak, gak. Pasti Kakak pulang karena udah gak marah lagi. Mungkin dia juga kangen. Tapi kalau ternyata masih marah, gue harus minta maaf sampai dimaafkan. Meski sebenarnya gue gak salah," tekadnya mantap.
Nara berdiri dan berjalan menuju jendela kamarnya. Ia menatap langit malam dengan mata yang mulai berembun.
Karena terlalu tenggelam dalam lamunannya, ia sampai melupakan perutnya yang belum terisi. Rasa perih dan suara nyaring dari perutnya menyadarkannya.
"Ah, gue lupa makan malam. Pantesan nih perut demo mulu dari tadi. Lebih baik gue turun buat ngasih asupan ke lambung gue yang udah meronta-ronta dari tadi."
Nara segera keluar dari kamarnya, berjalan ke lantai bawah sambil mengelus perut ratanya.
"Sabar ya, cacing-cacingku. Sebentar lagi kalian semua bakal dapet makanan enak kok," katanya.
Namun, ketika hendak menuruni tangga, matanya tidak sengaja melirik ke arah sebuah pintu kamar yang tertutup rapat. Ia mengurungkan niat dan malah berbelok menghampiri kamar tersebut.
Nara berdiri di depan pintu itu. Raut sendu jelas terlihat di wajahnya. Ia terdiam cukup lama, bibirnya terkatup rapat menahan tangis.
"Ka–kak..." bisiknya pelan. "Nara rindu... Nara kangen sama Kakak."
"Semua ini bukan salah Nara, Kak. Tolong percaya sama Nara!" tubuhnya mulai bergetar. Ia menangis sesenggukan, mencurahkan segala sesak yang ia pendam selama ini.
Dengan suara lirih, ia kembali berbicara meski tahu sosok yang ia ajak bicara mungkin sudah tenggelam dalam mimpi.
"Nara kangen, Kak Arsen yang dulu. Kak Arsen yang selalu ada untuk Nara, manjain Nara, dan selalu menatap Nara dengan teduh."
Ia benar-benar merindukan kakaknya yang dulu. Ia benci tatapan dingin Arsen padanya.
Nara melangkah lebih dekat, menempelkan dahinya pada permukaan pintu.
"Nara sayang Kakak. Selamat tidur, Kakaknya Nara. Semoga mimpi indah. Dan semoga, esok pagi Kakak kembali sayang sama Nara." Ia tersenyum getir, lalu berlari kembali ke kamarnya.
Rasa lapar dan nyeri di perutnya tak lagi penting. Kini hanya ada keinginan untuk mengeluarkan segala rasa sakit di hatinya.
Sudah berkali-kali ia mencoba menjelaskan pada Arsen, namun laki-laki itu seakan menutup telinga dari semua penjelasan Nara.
"Sampai kapan pun aku akan tetap terlihat sebagai pelaku, karena Kakak selalu menutup mata dari fakta." Nara duduk bersimpuh di lantai, menekuk kedua kakinya.
"Aku tahu semuanya, Kak.""Sebenarnya Kakak tahu siapa pelaku yang sebenarnya, tapi... kenapa Kakak gak ngomong ke semua orang? Kenapa malah membiarkan aku dituduh selama dua tahun ini?"
"Dan kenapa Kakak juga ikut membenciku?"
Kata-kata itu terus bersarang di benaknya selama dua tahun terakhir. Setiap kali mengingat kakaknya, ia selalu menggumamkan pertanyaan itu berulang kali.
Nara membenamkan wajahnya pada lutut. Suara tangisnya memecah keheningan malam. Ini benar-benar menyakitkan.
•
•
•Sementara itu, dari arah berlawanan, Harsya yang hendak turun untuk mengambil minum mendadak mengurungkan niatnya ketika melihat adiknya menangis di depan kamar kakaknya. Ingin rasanya ia langsung berlari dan memeluk adiknya itu.
Tanpa sadar, air mata Harsya menetes. Hatinya nyeri, melihat adik yang selama ini ia jaga terlihat begitu rapuh.
"Maaf, Dek. Maafin Abang yang gak bisa ngapa-ngapain!"
Tangan Harsya mengepal kuat hingga otot-ototnya menonjol. Ia benci pada dirinya sendiri yang hanya bisa diam, tanpa bisa melakukan apa pun.
Tak sanggup lagi melihat, Harsya kembali ke kamarnya. Ia membanting pintu keras-keras dan menguncinya. Emosinya meluap, tak tertahankan. Sudah lama ia tak melihat air mata itu, dan kini menyaksikannya lagi dengan mata kepala sendiri.
°
°
°♡TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA♡
SEE YOU AND STAY TUNED!JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK JUGA!
"To Be Continued"
°•°

KAMU SEDANG MEMBACA
Detik dan Detaknya (REVISI)
Genç Kurgu⚠️WARNING⚠️ JANGAN MENJIPLAK! ITU PERBUATAN RENDAH DAN TIDAK BERADAB. .・✫・゜・。. .・。.・゜✭・ Nara menyukai Razka sejak masa SMP. Setiap hari, rasa suka itu semakin bertambah, hingga kini dia duduk di bangku SMA. Seiring berjalannya waktu, rasa itu sema...