"Kenapa harus ada perbandingan di dunia ini. Banding sana, banding sini. Semua punya pencapaian masing-masing. Tidak semua orang semakin termotivasi setelah dibandingkan, ada yang semakin jatuh diperlakukan dan diberikan ucapan-ucapan yang seharusnya tidak mereka dapatkan"
✧˚ ʚɞ˚ ༘✿ ♡ ⋆。˚
"Abi, Lino ambil pulpen aku", teriak Tari sambil menghentakkan kakinya kesal. Iya benar, Tari. Seorang gadis kecil yang aku temui di warung saat pertama kali melihat Bintang. Sudah satu bulan lebih aku menjadi guru di sekolah ini. Awalnya hanya sebagai guru bahasa Indonesia, namun lama-kelamaan aku juga merangkap menjadi guru agama. Itulah sebabnya mengapa aku dipanggil Abi.
"Lino", panggilku lembut. "Gak boleh nakal sama temannya. Kamu punya adik perempuan enggak?"
"Punya Abi. Segini", ucapnya sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V, sedang tangan sebelahnya masih menggenggam pulpen Tari.
"Nah, bayangin kalau adik kamu juga dijailin seseorang kaya kamu jahilin Tari. Gimana perasaan kamu?"
"Ya seneng Abi. Soalnya aku juga sering jahilin dia"
Aku tersenyum namun mengutuk dalam hati. Bukan respon seperti ini yang aku harapkan.
Selama mengajar, aku belajar banyak tentang arti kesabaran. Sabar untuk tidak marah setiap pagi karena ledekan Bintang, sabar untuk tidak kesal menghadapi tingkah anak-anak dan yang terpenting sabar untuk mengajari mereka yang tidak mau belajar. Bisa kalian bayangkan, mengajari orang yang mau belajar saja terkadang sulit, dan sekarang aku harus mengajari anak-anak yang tidak mau belajar.
Sudah menjadi fitrah anak-anak untuk seperti itu. Aku juga sudah terbiasa mengajari anak-anak sebab aku sendiri memiliki Nina dan Dela. Mengajari mereka membaca sudah menjadi rutinitasku sedari dulu.
Mengajari anak-anak ini sangat berbeda dengan adikku. Nina dan Dela bisa saja ku pukul jika nakal dan tidak mau mendengar. Berbeda sekali dengan anak-anak yang saat ini duduk di hadapanku. Aku harus ekstra sabar dalam membimbing mereka. Ditambah dengan jumlah mereka yang lebih dari 20 siswa.
"Abi ini nulisnya boleh di buku gambar?", tanya salah satu muridku yang duduk paling belakang. Aku membuang napas kasar. Saat ini belajar bahasa Indonesia, kenapa ditulis di buku gambar?
"Buku bahasa Indonesia Eki mana? Kenapa nulis di buku gambar?", aku berjalan mendekati mejanya.
"Buku tulisnya basah Abi. Minum aku tumpah"
Dan begitulah aktifitasku sehari-hari selama mengajar di sekolah dasar. Meski sering kesal, aku tetap bahagia bisa berada di posisi ini. Menjadi bagian dari pertumbuhan anak-anak membuatku merasa berharga. Setidaknya, mereka akan mencariku ketika sedang mengalami kesulitan, meski sesederhana untuk mengadu bahwa hari ini mereka mendapatkan uang jajan lebih dari ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
what if?
FanfictionIni hanya potongan-potongan kisah mengenai perjalanan mereka yang tengah berjuang untuk ikhlas merelakan dan berdamai dengan diri. Tentang mereka yang tidak punya pilihan selain mengalah kepada semesta yang semena-mena memaksa untuk menelan pahitnya...