Chapter 2

27 1 1
                                    

Beberapa hari setelah peristiwa yang menegunkan hati Susan, dia beraktivitas seperti biasanya, Ibunya pergi ke kebun serta ayahnya terkadang ada di rumah dan sesekali pergi mencari sepeser uang. Entah untuk apa uang tersebut ia habiskan. Di sekolah Susan adalah murid yang pendiam, terkadang sering jadi bahan ejekan teman temannya karena kondisi ekonomi yang dibawah teman teman lainnya, bahkan guru guru pun bertanya kepada susan saat jam istirahat

"Susan kenapa kamu berdiam diri dikelas, nggak jajan ke kantin",

Susan menatap gurunya dengan tatapan kosong,

" Tidak bu Susan hanya ingin tenang",

guru Susan pun bingung dan kembali bertanya kepada Susan

"kamu ada masalah Susan? " ,

Susan hanya menggelengkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun,

"ya udah nggak papa kalau kamu ada masalah crita ya sama ibu".

Susan pun kembali hanya menganggukan kepala seraya meng iya kan ucapan dari gurunya, kondisi itulah yang membuat Susan berucap dalam hatinya

"Tubuhku memang masih hidup tapi jiwaku sudah mati"

Kondisi psikis Susan sangat terganggu, belum lagi tetangga Susan yang mulai mencium perilaku ayahnya, Mereka terkadang melihat saat rumah Susan tidak ada orang, ayahnya sering membawa perempuan yang tidak mreka kenali, hal itu membuat Keluarga Susan menjadi bahan gosip bagi para tetangga. Pernah saat Pagi hari, Susan berangkat ke sekolah, ia melewati sekumpulan ibu ibu yang sedang duduk di teras rumah tetangganya, Ibu ibu tersebut melihat Susan lewat dan kemudian bertanya kepada Susan,

"Susan kemarin ibu lihat ayah kamu masuk ke rumah dengan perempuan, itu siapa susan? ",

Susan hanya terdiam dan berlalu seakan akan tidak menghiraukan perkataan ibu ibu tersebut, mental Susan sedang diuji oleh kenyataan yang gusar, hal yang tidak pantas ditanyakan untuk anak 10 tahun, mereka tidak mengetahui betapa beratnya kondisi batin dan amarah yang dihadapi Susan.

Setelah panas mulai menyengat, Hari sudah siang, bel lonceng pun berbunyi anak anak sekolah dasar tersebut keluar dari kelasnya sembari menuju ke arah gerbang keluar sekolah, pelajaran hari ini telah selesai, Susan pun keluar dari kelas untuk pulang ke rumah dengan harapan dia bisa bersitirahat sejenak untuk menenangkan pikirannya setelah lelah mendengar banyak ocehan ocehan negatif seperti segerombolan Anjing yang mengonggong. Baru beberapa meter melewati gerbang sekolah, teman teman susan kembali menghampiri susan dan berkata

"Lihat ada anak tukang karet yang bau karet",

"Susan kamu tidak mandi yaa kok badanmu bau karet, oh iya kan ibumu hanya petani karet",

Emosi Susan memuncak, amarahnya meluap

"memang kenapa kalau ibuku petani karet?, ibuku bukan pencuri yang mengambil uang orang lain",

temannya kembali meneriaki susan

" Pantasan kamu miskin ibumu hanya tukang karet"

Susan sontak berkata

"apakah tukang karet pekerjaan yang hina dari perampok? ",

Teman teman susan tidak berhenti mengejek hingga susan pun berlari pulang dengan pipi yang basah dan air mata yang mengalir sambil berfikir Dunia ingin membunuhnya secara perlahan.

Sesampainya di rumah Susan menangis meratapi kehidupan yang kejam atas dirinya, tidak lama ibu pulang dari kebun, ibunya pulang lebih awal hari ini dikarenakan tangan ibu terluka saat mengikis pohon karet, jadi ibu disuruh pulang lebih awal oleh atasannya untuk mengobati luka di tanganya. Ibu kaget setelah sampai di rumah melihat Susan duduk di ruang tamu dengan air mata yang mengalir kencang, ibu lantas bertanya kepada Susan,

"Susan kenapa menangis Nak",

Susan menatap ibunya sambil berkata lirih

" Teman teman Susan menghina ibu dengan mengatakan Kita miskin karena ibu hanya petani karet, sedangkan ayah tidak bekerja dan tidak pernah memberikan kita uang bu",

mendengar perkataan Susan mata ibunya berkaca sambil menahan rasa sedih,

"Nak biarpun hidup kita sederhana yang terpenting kita tidak pernah mengemis dan mengambil sesuatu yang bukan milik kita",

Susan menatap ibunya dengan pandangan yang sayup, Ibunya kemudian mengayunkan tangannya yang terluka sambil mengusap air mata susan,

" Susan jangan berkecil hati ya, ibu akan selalu menjadi pendengar di saat Susan gelisah dan pelindung bagi siapapun yang mencoba menghakimi Susan",

Susan tersenyum kecil, hatinya mulai tenang, emosinya sudah redah, dan amarahnya seakan memudar. Susan merasakan ada tetesan air yang jatuh ke kakinya dari tangan ibu, matanya tertuju ke arah sumber tetesan itu, Susan terkejut karna melihat tangan ibunya mengeluarkan darah, Susan Sontak bertanya

"Bu tangan ibu kenapa? "

ibu melihat dengan tatapan sendu.

"Tidak kenapa napa, hanya terkena pisau saat mengikis pohon karet",

Susan dengan sigap mengambil perban dan betadine

"Susan obati yaa bu kesian ibu",

Ibu menatap gadis kecil itu sembari berkata dalam benaknya

" Susan kamu anak yang baik, masih terlalu dini untuk mengetahui hal yang tidak seharusnya kamu ketahui"

Lalu setelah susan mengambil perban dan betadine dengan mata yang masih sembab,ia langsung mengobati tangan ibu yang terluka sambil berucap dalam pikirannya

"Kasian ibu, demi memenuhi kebutuhanku ibu rela berdarah darah seperti ini, aku tidak ingin batin ibu juga berdarah, cukup aku yang menanggung hakiman orang orang, jangan sampai ibu mengetahui perbuatan brengsek ayah"

Gadis sekecil itu menanggung semua kekejaman dunia terhadap dirinya, dia hanya mencoba melanjutkan hidup untuk besok, lusa dan masa yang akan datang, walaupun ia sadar akan terbunuh oleh keadaan yang mengiris emosionalnya

Susan meganggap ibunya seperti malaikat tak bersayap yang dikirimkan Tuhan untuk menerangi hidupnya,
sedangkan Ayahnya bagaikan Iblis dari Neraka yang membuat kehidupannya menjadi gelap.

-To be Continued-

Cinta adalah ketiadaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang