Mine 02

1.4K 76 0
                                    

'Polisi masih belum bisa mengungkap siapa dalang di balik pembunuhan berantai yang akhir akhir ini marak dibicarakan di berbagai media sosial. Kemarin, pukul tujuh malam, tunawisma wanita paruh baya ditemukan tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dugaan sementara, pelaku pembunuhan ini memiliki motif balas dendam.’

Haru mematikan layar televisi lalu duduk di samping Hirima seraya menyodorkan sereal sarapan pagi dan susu yang sudah dia buat. Tidak ada jam kuliah, jadi Hirima hanya diam di rumah. Mungkin, teman temannya yang lain sedang bersenang senang di luar sana. Tidak peduli, sejauh ini, Hirima sengaja dijauhkan dari dunia sosial. Siapa lagi pelakunya jika bukan Haru.

“Sambil sarapan. Perut kamu sensitif kalau telat makan,” ucap Haru mengambil sesendok sereal hendak menyuapi Hirima. Gadis itu tidak kunjung bereaksi. Sibuk berkutat dengan pikirannya. Korban yang ia lihat di berita tadi jelas sekali mirip orang yang ditemuinya kemarin.

“Kamu membunuhnya, Kak?” tanya Hirima gelagapan menatap nanar sosok di depannya. Melihat mulut itu terbuka, Haru langsung memasukan makanannya dan membungkan bibirnya dengan ciuman panjang. Hanya memastikan Hirima menelan sereal yang ia berikan saja.

“Awalnya tidak ada niatan untuk melenyapkan wanita tua itu. Tapi setelah melihatnya kegirangan membeli makanan dari uang yang kamu kasih, aku membunuhnya,” balas Haru enteng seolah apa yang ia lakukan masih dalam tahap wajar.

Hirima menelan ludah tidak bisa berkata kata. “Kenapa bisa ada orang sejahat kamu?”

Haru menggedikan bahu tidak acuh. Sadar bahwa Hirima sedang dalam mood tidak baik, laki laki itu menyimpan piring serealnya di meja lantas memeluk Hirima dari samping erat. “Aku hanya mencoba jujur dengan apa yang aku lakukan. Karena aku pikir, jika dua insan sudah dipertemukan dalam bahtera rumah tangga, harus saling terbuka. Tidak ada rahasia yang ditutupi. Aku membunuh wanita tua itu karena cemburu.”

“Aku benci mengetahui fakta bahwa suamiku adalah seorang pembunuh,” ucap Hirima lirih. Saat itu juga, sekujur tubuh Haru menegang. Sumpah, dia tidak menyukai kalimat jelek yang keluar dari mulut Hirima. Menjauhkan tubuhnya demi meneliti wajah cantik Hirima, Haru menggelapkan mata namun bibirnya tersungging senyuman.

“Saat janji suci kita diikrarkan, kita sudah saling mengucap akan menerima pasangan masing masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya.”

“Kamu pembunuh!”
“Demi kamu! Aku sangat tidak menyukai kamu ditatap oleh orang lain. Bahkan jika bisa, aku ingin sekali membawamu pergi ke pulau tidak berpenghuni agar tidak ada yang bisa menikmatimu dengan mata telanjang.”

Semenyeramkan itu obsesi Haru kepadanya. Hirima tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membangun rumah tangga yang normal. Kekhawatiran Haru selalu dijadikan alasannya membunuh. Ya, Hirima satu satunya saksi bagaimana brutalnya seorang Haru jika menyangkut dirinya. Entah sudah berapa orang yang mati di tangan Haru hanya karena masalah sepele.

“Aku mohon berhenti, Kak. Ini semua tidak benar. Membunuh bukan satu satunya jalan untuk melampiaskan kecemburuan Kakak.”

“Kalau begitu, biarkan aku mengurungmu di rumah selamanya. Tidak ada kuliah, tidak ada berinteraksi dengan dunia luar. Bagaimana?”

Haru menyunggingkan seringaian puas saat Hirima tidak bisa berkata kata lagi. Berhubung hari ini juga Haru tidak ada jadwal kerja di rumah sakit, ia akan menghabiskan seharian bersama sang istri.

“Sudah ya jangan mendebatkan sesuatu yang sudah sering kita perdebatkan. Terima kekurangan aku, bisa kan?”

Tapi, kekurangan yang dimiliki Haru tidak wajar. Dia seperti psikopat gila haus darah. Haru menuntun Hirima untuk berbaring di sofa yang bermuatan dua orang. Menindihnya dengan kedua tangan menopang agar tidak terlalu memberatkan.

“Aku hanya menyakiti mereka, bukan kamu, Hirima sayang.”

***

Haru sedang pergi ke super market membeli bahan pangan dan kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Stok di rumah sudah mulai menipis. Apakah Haru senantiasa mengizinkan Hirima untuk ikut? Jelas tidak. Super market adalah tempat rawan di mana banyak orang saling berinteraksi.

Yang dilakukan Hirima selagi Haru tidak ada adalah membaca jurnal jurnal psikolog. Demi menetralisir bosannya, Hirima melakukannya di taman rumah yang letaknya tidak jauh dari gerbang utama. Jadi, semisal Haru datang, dia bisa dengan cepat menyambut.

Hirima terlonjak saat ada yang menggedor gedor gerbang rumah lumayan kencang. Di rumahnya tidak di sediakan satpam untuk menjaga gerbang, sudah dipastikan sikap ketidakwajaran Haru yang membuatnya demikian. Menoleh cepat ke sumber suara, namun Hirima tidak menemukan siapapun.

Berjalan menghampiri, Hirima memeriksa apa yang terjadi. Gerbang rumahnya tidak bisa dibuka secara manual, ada remote khusus yang mengontrol. Hampir saja Hirima berteriak histeris saat melihat bundanya dengan pakaian lusuh berdiri di depan gerbang sambil menahan tangis. Berusaha membuka gerbang, namun hasilnya nihil.

“Bunda, bunda sama siapa ke sini?” tanya Hirima masih keras kepala membuka gerbang. Semua yang dia lakukan percuma, nyatanya remote yang mengontrol semua rumah berada di genggaman Haru.

“Kamu sudah besar rupanya. Harus hidup bahagia bersama suami kamu, ya? Nggak boleh manja.”

“Hirima mau pulang aja Bunda. Bawa aku pulang. Aku takut di sini.” Tangan Hirima menjulur ingin menggapai sang bunda. Sosok yang berdiri di luar itu pun sama terenyuhnya melihat putri semata wayangnya tidak bisa lagi bersama.

“Kenapa takut? Haru memperlakukanmu dengan baik kan?”

“Iya. Tapi aku mau sama bunda dan ayah. Bisakah kita hidup bersama di sini? Sungguh, aku selalu diselimuti rasa takut jika bersama Haru. Dia memang  tidak pernah melakukan hal buruk, namun perlakuannya sudah di luar batas. Aku terkekang hidup bersamanya, Bunda.” Hirima menangis histeris.

“Bunda ke sini hanya ingin memastikan bahwa kamu baik baik saja. Melihat kehidupan layak yang Haru berikan, Bunda tenang. Karena kamu diperlakukan sebagaimana mestinya. Bunda tidak akan lama, ada sesuatu yang harus diurus.”

“Jangan pergi,” pinta Hirima melambaikan tangan guna menahan paruh baya itu beranjak. Ingin sekali Hirima merutuki Haru yang melarangnya menemui siapapun termasuk orang tuanya sendiri. Hirima menangis sesegukan saat pundak ringkih itu berbalik lalu melangkah menjauh.

“Bunda! Bunda jangan pergi, Hirima masih rindu. Hirima mau pulang. Bunda.” Tangisannya semakin histeris ketika paruh baya itu mulai menjauh.

Tidak berselang lama, gerbang yang membatasi obrolan mereka tiba tiba terbuka disusul oleh mobil keluaran terbaru yang memasuki pekarangan rumah. Haru turun, dengan napas memburunya menghampiri Hirima dan mencekal lengannya kuat.

“Lepas!”

“Masuk!” bentak Haru.

“Tadi ada bunda ke sini, aku mau nyusul.”

Haru mengeraskan rahangnya tidak menyukai segala tangkisan yang istrinya lakukan. “Sudah tau kan aturannya? Aku tidak akan membiarkanmu keluar untuk menemui orang lain.”

“Tapi dia bundaku!”

“Aku tidak peduli!” bentak Haru tersulut emosi. Hirima menampar Haru kuat untuk menyadarkan bahwa semua kelakuannya memuakan. Setelah satu tahun pernikahan, ini pertama kalinya, Haru membentaknya, dan Hirima berani menampar wajah tampan itu.

Hirima berlari masuk, tidak mau peduli lagi dengan takdir hidupnya di masa mendatang, sedangkan Haru menghela napas panjang menghadapi tingkah istri kecilnya.

Yok lah gasss nyevote cerita ini.
Semoga suka
Selamat membaca.

The Obsession Of Crazy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang