Mine 07

914 50 0
                                    

Dia ingin cepat pulang tanpa melewati banyak drama lagi. Sudah cukup hatinya dipermalukan oleh keluarga dari suaminya. Sekarang tidak lagi. Hirima mengepalkan tangan kuat hanya agar tubuhnya tidak bergetar saat dipertemukan dengan pemabuk di gang sempit. Padahal ini siang hari, namun suasana di sekitarnya sangat sepi.

"Minggir sialan! Jangan berani menggangguku," bentak Hirima mengusap jejak air mata di wajah kasar. Dia menatap pria plontos itu tajam. Sebenarnya takut melingkupi jiwa raganya, terlebih si pemabuk membawa pecahan botol seperti ingin membunuhnya.

"Kalau tidak mau diganggu kenapa jalan sendirian di gang sempit? Tempat ini selalu sepi karena terkenal tidak aman bagi para wanita."

"Maka berhenti menjadi parasit dan membuat semua orang takut! Menjauh! Aku bilang menjauh, Akhhh." Hirima melindungi kepalanya yang hendak dipukul oleh pecahan botol itu. Sayangnya, si pria plontos malah tertawa terbahak bahak seraya menggantungkan botol di udara. Mengelus pipi Hirima seduktif, lantas memajukan wajah hendak mengecupnya.

Bugh

Reflek, Hirima menendang kemaluan si lawan sampai terjerembab ke tanah. Bukannya marah atau meringis sakit, dia malah kegirangan dan meracau tidak jelas. "Tubuhmu wangi sekali, hmm. Aku ingin mencobanya." Tidak tinggal diam, Hirima menggunakan kesempatan itu untuk berlari sekuatnya. Beribu sial, kakinya sudah lebih dulu ditahan, dan kini Hirima terjatuh menelungkup.

"Lepas! Tolong! Arghhh, berengsek."

"Kamu tidak bisa lari lagi, perempuan wangi. Aku akan memakanmu sekarang," ucapnya seduktif mengamati setiap inchi bagian tubuh Hirima. Gadis itu terus saja mundur menghindari sentuhan demi sentuhan. Demi apapun, ini menjijikan.

Karena tingkah kekanak kanakannya, Hirima harus menanggung konsekuensi tidak lebih menyebalkan dengan terjebak bersama laki laki beraroma alkohol.

Saat tangannya hendak membuka kancing bagian atas Hirima, dari arah belakang, seseorang dengan kerasnya menarik kerah baju si laki laki plontos lantas membenturkannya ke tembok beberapa kali.

Setiap jeritan kesakitan yang ia dengar membuat tubuh Hirima tremor. Di depan matanya, Haru, sang suami sedang menikmati aksinya yang membenturkan kepala laki laki itu sampai terlihat jelas noda darah menghiasi tembok.

Hirima memberenggut takut karena tatapan Haru berubah gelap dan tajam. Bertepatan ia menutup mata, wajahnya terciprat darah. Haru pun sama, malah lebih parah. Si pemabuk yang mengganggunya sudah terkapar tanpa nyawa dengan pisau menancap di lehernya.

Tiba tiba Hirima sesak napas. Mencengkram segala sesuatu untuk menopang pijakannya. Untuk pertama kali, Hirima melihat aksi sadis itu. Ketakutannya kian bertambah saat Haru berbalik dan berjalan pelan ke arahnya.

"Pergi! Aku mohon jangan mendekat," gumam Hirima lirih sarat kefrustrasian.

"Aku suami kamu, Hirima. Jangan takut!" ucap Haru lembut seraya berjongkok di depan gadis ketakutan itu.

"Tolong pergi sebentar, aku masih shock. Tolong!"

"Tapi kamu harus pulang. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Mengeluarkan tisu basah dari saku jasnya, Haru membersihkan wajah Hirima telaten sampai tidak tersisa noda darah meski setetes pun.

Bagaimana mungkin dia bisa lepas dari belenggu yang Haru ciptakan sedangkan laki laki itu sedikit pun tidak pernah meninggalkannya. Hirima menatap wajah berlumuran darah di depannya dengan isak tangis mengiringi. Hidupnya sangat datar, tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali aktivitas yang sudah diatur sebaik mungkin oleh Haru.

"Kenapa dulu kita harus bertemu, Kak?"

Haru tersenyum miring lalu dengan mudahnya menggendong Hirima ala bridal style. "Karena pertemuan kita adalah skenario terbaik Tuhan untuk mempersatukan hambanya."

***

Haru sengaja memberikan obat tidur agar Hirima bisa istirahat. Kasian sekali istrinya itu harus menyaksikan kebrutalannya. Dia bersumpah, tidak akan menampakkan wujud aslinya di depan Hirima. Yang harus gadis itu tahu, suaminya adalah sosok yang patut dia cintai tanpa kekurangan apapun.

Menatap pergelangan kaki Hirima tercetak ruam biru, Haru menggeram marah. Pria tadi sudah melewati batas dengan menyakiti Hirima di berbagai titik. Pasalnya tidak hanya di situ, lutut Hirima pun sedikit lecet akibat terjatuh, begitupun telapak tangannya.

Dengan telaten tanpa terlewat sedikit pun, Haru membalurkan salep pereda nyeri di pergelangan kaki dan lutut Hirima, lantas memplester printilan luka luka lain yang mengeluarkan darah.

Selesai dengan pengobatan dadakan itu, Haru membereskan peralatan p3k lalu bangkit untuk kembali menyimpannya di medicine box. Seperti biasa, mematikan lampu dan menyalakan satu lilin aroma terapi, Haru ikut berbaring di samping Hirima. Merengkuh pinggang ramping itu kuat, rasanya Haru ingin meremas dan mematahkannya. Namun, Haru masih sadar dan waras. Sekarang yang ia lakukan adalah, bergerilya di leher Hirima tidak henti menggigit dan menghisapnya gemas, kemungkinan esok hari akan membekas.

Padahal, sedari tadi Hirima sudah sadar dan sebisa mungkin menahan suaranya saat Haru dengan bringasnya menjelajahi lehernya. Dia masih takut bertemu Haru. Kejadian siang tadi membuatnya terus berpikiran negatif.

"Kamu sudah bangun kan? Buka saja matanya, jangan takut. Aku masih suami kamu yang akan terus mencintaimu, Hirima," ucap Haru beralih mengecupi rambutnya. Perlahan namun pasti, Hirima berhasil membuka matanya. Seperti sengaja, Haru tidak beralih menatapnya dan malah memejakan mata.

"Please berhenti, Kak."

"Apa yang harus berhenti? Mengecupi rambutmu?" Berhubung Hirima hanya diam menunduk, Haru menghentikan kegiatannya.

"Kamu risih ya? Maaf, aku akan berhenti."

"Bukan itu maksudku," sangkal Hirima cepat. "Berhenti membunuh orang Kak. Aku takut, aku hanya ingin menjalani pernikahan yang normal. Di mana kita bisa bahagia bersama keluarga kecil kita kelak tanpa mengkhawatirkan ketukan pintu yang bisa saja berasal dari polisi." Hirima memohon dengan sangat sampai suaranya tercekat.

"Maaf. Aku sudah berusaha mencobanya, namun selalu gagal. Maaf, Hirima aku minta maaf. Ada luka yang belum sembuh. Aku janji akan menghentikannya demi kamu, sayang. Tapi tidak sekarang, aku belum bisa."

"Aku hanya ingin, jika kita sudah memiliki buah hati, mereka akan mengenalmu sebagai sosok ayah yang baik dan sempurna," ucap Hirima tiba tiba yang sukses membuat Haru menatapnya tajam.

"Aku tidak mau memiliki momongan. Kalau kamu hamil, segera gugurkan!"

Hati Hirima mencelos mendengarnya. Tidak bisa menahan sakitnya lagi, air mata lolos begitu saja.

"Kenapa jahat sekali?"

"Aku hanya takut saat kamu memiliki anak, cintamu terbagi."

"Kak Haru!"

"Stop! Kamu seharusnya paham kenapa aku selalu menyuruhmu memimun obat. Itu semata mata agar bisa menekan kesuburanmu."

"Jahat!" Hirima menjerit histeris sembari menjambak rambutnya. Dia lelah, frustrasi dan tidak tahu harus menjadi apa lagi kedepannya. Setidaknya jika tidak ditakdirkan menjadi wanita karir, izinkan Hirima menjadi seorang ibu yang mendidik anak anaknya dengan baik.

Rasa bersalah mulai merayap ke relung hatinya menyaksikan Hirima menangis histeris. Membelai pipinya lalu berniat menarik tubuh Hirima ke dalam pelukannya, namun gadis itu sudah lebih dulu berontak dan berbalik badan. Haru mendekat, Hirima membungkus seluruh tubuh dengan selimut.

"Tapi aku benar benar tidak mau memiliki seorang anak, Hirima. Untuk kali ini saja, aku mohon jangan menolaknya. Aku ingin hanya memilikimu seutuhnya." Haru memeluk tubuh berbalut selimut itu dari belakang dan menaruh dagunya di atas kepala Hirima.

The Obsession Of Crazy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang