Mine 08

830 43 1
                                    

"Kenapa sarapannya tidak dihabiskan? Kakak masak banyak loh,” ujar Haru menatap sayang pada beberapa menu sarapan yang terhidang di meja makan. Istrinya itu suka sekali makan dalam porsi besar, makanya Haru  selalu menyiapkan banyak stok. 

“Aku kenyang,” ucap Hirima ketus seraya bangkit hendak siap siap untuk pergi ke kampus. Laki laki yang sudah siap dengan pakaian formalnya hanya menggelengkan kepala lalu membereskan piring piring kotor dalam satu tumpukan untuk ia cuci nanti. Mungkin Hirima masih tersinggung perihal perdebatan malam tadi. 

Haru merasa bersalah. Tidak seharusnya dia berbicara kasar perihal seorang anak. Jujur, Haru menikahi Hirima bukan ingin memperbanyak keturunan. Perasaannya pure ingin memiliki tanpa mau berbagi. 

Selagi Haru mencuci piring, di sisi lain, Hirima dengan hebohnya memilih baju untuk ia gunakan kuliah. Selama ini, setiap berpergian selalu saja Haru yang mengatur outfitnya, menyebalkannya lagi, baju baju yang Haru pilih sangat tertutup. 

Pilihannya jatuh pada kaos putih longgar over size dan rok sebatas paha yang hampir tertutupi seluruhnya oleh kaos. Tidak banyak basa basi lagi, Hirima langsung memakainya lalu mematut diri di depan cermin. Rambut panjang yang tergerai pun ia ikat menjadi satu sampai menampilkan leher jenjangnya. 

“Oh, cantik sekali,” pujinya pada diri sendiri. 

“Benar sayang, kamu sangat cantik. Jadi bisakah, berpakaian seperti itu hanya untuk di rumah?” ucap Haru menatap intens Hirima dari ambang pintu. Senyuman antusias yang tadi terpatri di wajahnya, kini digantikan dengan raut datar. Hirima masih menaruh dendam pada laki laki itu. 

“Nggak mau. Aku akan kuliah dengan pakaian seperti ini.” Hirima menyambar tas tangannya hendak pergi, sayangnya Haru yang berada di ambang pintu langsung masuk dan mengunci pintunya rapat rapat seraya menghampiri istri kecilnya itu. 

“Selagi aku minta baik baik, tolong ganti, ok?” tawar Haru dengan intonasi sangat lembut. 

“Minggir! Selagi aku juga belum tersulut emosi.”

“Hirima!”

“Apa!” Gadis itu balik membentak. Padahal, Haru sama sekali tidak meninggikan nada suaranya. 

Tidak pernah marah bukan berarti Haru membiarkan Hirima membangkang begitu saja. Apa yang gadis itu lakukan sudah kelewatan. Padahal maksudnya baik untuk tidak berpakaian yang mengundang laki laki untuk menggodanya. Namun, peringatan itu malah disalah artikan. 

Tatapan Haru berubah tajam, meski begitu Hirima tidak kenal takut. Namun keangkuhannya itu harus sirna saat Haru membuka ikat pinggangnya lalu menggulungnya hingga tersisa setengah. 

“Masih mau kuliah pake pakaian seperti itu?” tanya Haru rendah di sebelah telinganya. Setiap detik embusan napas menerpa bagian lehernya, Hirima bergidik merasa tergelitik. Seberapa tinggi level takutnya seorang Hirima, egonya lebih tinggi dari apapun. Mendorong dada Haru hingga menjauh, Hirima lantas berbalik menatapnya tidak kalah tajam. 

“Apa Kakak berhak menyuruhku? Memangnya aku ini apa? dikekang tidak wajar, dan sialnya aku pasrah saja menikahi psikopat gila sepertimu.”

Masih diam, Haru mendengarkan semua ocehan Hirima tentangnya. “Dan percakapan memuakan apa malam tadi? Kaka bahkan tidak mau memiliki seorang keturunan? Lalu? Kakak anggap aku ini apa? wanita bayaran kah? Wanita jalang? Oooh, kenapa tidak mencarinya saja di bar bar ramai hah?”

“Hirima! Kamu sudah keterlaluan.”

“Aku keterlaluan ya? Lantas gimana sama Kakak sendiri? Saling mencium bibir dengan adik tiri apakah itu wajar? Apa tidak sekalian saja bersetubuh hah? Ingat! Kalian tidak sedarah,” jerit Hirima mengacak acak rambutnya frustrasi. “Ceraikan aku saja dan nikahi adik tirimu! Aku rela, sangat rela jika harus diceraikan sekarang juga!”

Splash

Splash

Dua pukulan dari ikat pingganya mendarat di kaki Hirima. Haru menggelap. Dia mencengkram leher Hirima lantas melemparnya ke ranjang. Saat dia menetapkan hati menikahi Hirima, pikiran yang selalu ia hindari adalah bercerai. Karena sampai kapanpun itu tidak pernah terjadi. Namun sekarang? Kenapa Hirima dengan santai dan teganya mengucap kata kata yang paling ia benci. 

“Berhenti! Aku bilang berhenti!” pekik Hirima ketakutan saat Haru kembali mengayunkan ikat pinggangnya. Terlambat, Hirima menjerit sakit merasakan perih di perutnya. 

“Aku tidak akan meminta maaf atas apa yang aku lakukan sekarang. Kadang, kamu juga harus tau batasan Hirima. Dan aku yang membatasimu untuk bertindak.”

Lagi, kini punggungnya yang menjadi sasaran empuk. Rasa sakitnya tidak bisa dideskripsikan dengan kata kata. Perih semuanya, tubuhnya seperti disayat sayat. Hirima mencengkram seprai kuat sambil menangis sesegukan.

“Aku hanya menyuruhmu untuk berpakaian sopan. Kenapa kamu menyangkut pautkannya dengan keturunan dan perceraian, sayang? Sungguh aku tidak mau. Maaf, kalau perlakuanku pada adikku terlalu berlebihan. Namun berani bersumpah, kami tidak seperti yang kamu pikirkan.” 

Haru melemparkan ikat pinggangnya ke sembarang arah lalu mengungkung tubuh Hirima yang menelungkup. Gadis itu bergetar hebat sambil terisak. Dia tidak menyangka, seorang Haru yang sering sekali membual tidak akan menyakitinya malah bertindak seperti ini. Hirima kecewa, hatinya sakit, pun seluruh tubuhnya. 

“Pergi! Aku mohon jangan muncul di hadapanku lagi,” ucap Hirima terbata bata. Melihat Haru sok perhatian dan terus terusan menyesali perbuatannya membuat Hirima muak. Dia sudah cukup dikecewakan dengan sikap asli suaminya itu. Jadi, ia harap, Haru segera enyah dari hadapannya. 

“Kamu harus diobati,” bujuk Haru. Dia menatap seluruh luka yang ia ciptakan. Sebenarnya apa di pikirannya sampai dengan tega dan bringas memukul Hirima? Tidak peduli akan semarah apa Hirima nanti, Haru menyelipkan tangannya di bawah perut Hirima dan mengangkatnya perlahan untuk ia obati. 

“Jangan sentuh, hiks. Sakit, semuanya sakit. Jangan sentuh!” Hirima memikik nyaring saat beberapa titik ulah Haru disentuh bahkan ditekannya. Haru tidak peduli, dia lebih memilih membenarkan posisi tidur Hirima lantas bergegas menyiapkan beberapa perlatan medis. 

“Jangan buat aku marah Hirima. Aku mohon, dengan sangat. Aku takut terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi padamu,” ucapnya lirih sembari telaten mengoleskan salep pereda nyeri di kaki, tangan punggung dan perut Hirima. Dia meringis sendiri melihat ulahnya. 

Hirima tidak menjawab. Dia tidak peduli. 

“Aku benar benar tidak akan menduakanmu. Dia hanya adik, tidak lebih. Maaf jika perlakuan kami sudah kelewatan di mata kamu.”

“Arghh.” Hirima menjerit saat Haru tidak sengaja menyentuh lukannya. 

“Maaf, maaf.” Dengan gilanya, Haru mengecup seringan bulu berulang kali luka luka Hirima. 

“Berhenti!”

“Tolong jangan mengecupkan kalimat menakutkan itu lagi. Aku benar benar tidak mau kehilangan kamu. Bisa kah?” 

Tiba tiba saja ide cemerlang muncul di benaknya. Perlahan, Hirima mendongak, mempertemukan mata mereka. 

“Apa Kakak sangat menyesal sekarang?” Haru mengangguk risau. 

“Belikan aku ponsel maka aku tidak menganggap hari ini ada. Aku akan memaafkan semua kesalahan Kakak dan tentu saja tentang percerai-“ Belum sempat menyelesaikan ucapannya, bibirnya sudah dibungkam oleh kecupan panjang. 

Keduanya melepaskan diri lalu saling terengah. “Iya sayang, iya. Akan aku belikan ponsel untuk kamu. Asalkan kamu harus menjaga ucapan!”



Yuk vote dan ramaikan lapak ini. 

Gasss ngeeeeng

The Obsession Of Crazy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang