Hirima masuk ke dalam jajaran mahasiswi tercerdas di kampusnya. Hampir keseluruhan ip (indeks prestasi) di setiap semester berangka empat, paling rendah adalah tiga koma sembilan. Jika ditanya apa hobinya, maka Hirima akan menjawab, membaca buku. Memangnya selama hidup bersama Haru, apa yang ia lakukan selain membaca dan dimanjakan? Dia tidak usah pusing memikirkan kebutuhan hidup karena Haru yang menanggung resiko.
Makalah yang sudah selesai digarap oleh Haru dan sekarang berbentuk hardcopy terletak di atas meja. Hirima duduk anteng membaca buku karya Cal Gustav Jung tentang ingatan, mimpi dan refleksi sambil menunggu dosen yang mengampu presentasinya nanti. Seorang gadis menghampirinya sambil membawa botol minuman terbuka. Hirima tidak harus peduli, toh gadis itu sering sekali membuat ulah dengannya.
Byuur
Namanya Hera, dia putri dari penanam saham terbanyak nomor dua di universitasnya. Merasa paling superior di antara yang lain, namun faktanya, Hera memang mahasiswi aktif dalam segala kajian dan organisasi. Tidak sepertinya, menjadi kupu kupu alias kuliah - pulang, kuliah - pulang dengan limit waktu terbatas. Gadis cantik itu mengguyur berkas makalah sampai tintanya memudar dan berbaur tidak tentu arah. Hirima diam, mengamati itu semua tanpa memberi pembelaan.
"Tugas terakhir dari Pak Nui dinilai dari kreativitas presentasi dan materi yang kita buat. Ok, aku akui kalau kamu unggul dalam hal itu. Namun, kuliah bukan hanya soal seberapa besarnya nilai kita. Namun sebanyak apa pengalaman kita. Kamu! Tidak berhak mendapat gelar mahasiswi coumloude hanya berdasarkan nilai nilai sialan itu," ucap Hera menggebu gebu sambil melemparkan makalah tidak berbentuk itu ke lantai. Hanya ada beberapa orang saja di dalam kelas, mereka bahkan malah asyik mengamati tanpa ada niatan melerai.
"WHO mendefiniskan tentang sehat dan kesehatan mental secara rinci. Siapa tau kamu butuh, maka akan aku jelaskan sedetail mungkin. Mau pilih yang mana?" ucap Hirima enteng.
Napas Hera mederu bak terbakar api. Dia iri kepada Hirima yang dengan mudahnya diberi penghargaan mahasiswa terbaik tiga semester berturut turut dan dikenal banyak orang. Sedangkan dia sendiri, investor terbanyak, aktif dalam segala hal, nilainya pun tidak beda jauh dengan Hirima malah diabaikan begitu saja.
"Sialan! Kamu pikir dengan begitu semua orang akan terkesan?"
"A State of complete phsycal, mental and social well - being and not merely the absence of disease or infirnity. Itu adalah sehat menurut WHO. Satu lagi, kesehatan mental, A state of well being in which the individual realizes his or her own abilities, can cope with normal stresses of life, can work productively and fruitfully, and is able to make a contribution to his or her community." Hirima melirik makalahnya yang hancur berserakan tergenang air. "Jadi, bukannya apa yang kamu lakukan sekarang sudah termasuk kategori maladaptif, sangat kekanak kanakan, dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Bagaimana kalau kamu memeriksa kesehatan mentalmu terlebih dulu?" Hera berhasil terpancing emosi akan semua bualan Hirima. Menarik kerah bajunya beringas, lantas menjambak rambutnya keras.
Hirima merintih, jambakannya membuat kulit kepalanya berdenyut sakit. Bagaimana ya jika Haru tahu istrinya diperlakukan seperi ini? Apakah keesokan hari akan muncul berita pembunuhan seorang gadis?
"Kenapa kamu sombong sekali hah? Aku bahkan yakin, seluruh dosen yang pernah mengajarmu diberi uang muka untuk memantau nilaimu. Atau jangan jangan ... suami tampanmu yang membayar rektor agar kamu tetap berada di posisi atas?"
"Apa yang kamu maksud?" tanya Hirima geram.
"Benar? Otakmu memang tidak berguna. Nilai nilai yang kau banggakan itu tidak ada artinya mengingat kamu saja pemalas dan jarang bersosialisasi." Ini sudah kelewatan. Hirima tidak terima jika upaya kerasnya bisa kuliah disia-siakan. Tidak mudah membujuk Haru untuk mengizinkannya keluar rumah. Dan omong kosong apa itu? sekali sentakan, Hirima mendorong balik Hera dan memojokannya di dinding. Menamparnya dua kali guna meluapkan amarah.
"Akan aku pastikan, besok kamu tidak dapat menghirup udara bebas lagi," ucapnya geram menyungkurkan Hera sampai terjerembab dan membentur ujung meja. Dahinya berdarah, teman teman sekelasnya berbondong bondong menolong Hera dan sebagian yang lain menenangkan Hirima.
Di depan Haru, Hirima mungkin terlihat manja dan kekanak kanakan. Namun, dia bukan wanita lemah jika ada kuman menempelinya.
***
"Lihat aku sebentar," pinta Haru lembut seraya mengarahkan wajah Hirima agar menatapnya. Mereka sudah berada di mobil. Suaminya selalu tepat waktu menjemput. Gara gara Hera, dia mendapatkan nilai C meski presentasinya dibilang sangat bagus. Jelas itu menyakitkan.
Hirima menyembunyikan kesedihannya dengan membelakangi Haru. Sebisa mungkin menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata.
"Ada yang jahatin kamu?" Biasanya Hirima akan menutupi kesalahan orang lain hanya agar Haru tidak berbuat macam macam. Namun sekarang berbeda, karena amarah di puncak, Hirima mengangguk lemah. Tidak tahan lagi, dia berbalik, menubruk dada bidang Haru dan mencengkram jas yang laki laki itu pakai.
"Kok? Ada apa hey?"
"Kak, memangnya aku kuliah sia sia? Semua yang sudah aku pelajari sia sia?" Hirima bertanya lirih menatap Haru yang kebingungan dengan pertanyaan itu."Tentu saja nggak sayang. Tidak ada yang sia sia saat kamu melakukan sesuatu yang menurutmu baik."
"Hati aku sakit."
"Siapa yang sudah menyakitinya?" Di luar sana, bisa Hirima lihat dari jendela mobil, Hera sedang berjalan santai bersama teman teman satu organisasinya. Dilihat dari sisi manapun, gadis itu memang social butterfly, pandai bergaul dan menyesuaikan diri. Sayangnya, kelebihan itu tertutupi oleh iri hati.
Tidak Hirima sadari, Haru juga mengamati sosok yang ditatap istrinya dari kaca spion. Menyeringai seram setelah menargetkan sesuatu. Haru menyelipkan jari jarinya ke helaian rambut Hirima dan mendongakan kepalanya perlahan. Bibir Hirima bergetar karena tangis yang belum reda. Memajukan wajah lantas memiring seirama, keduanya menutup mata saat dua benda kenyal itu saling bersatu. Haru menjilat permukaan bibir Hirima lantas beralih ke leher.
"Mau pulang," rengek Hirima memeluk leher Haru yang otomatis menghentikan aktivitasnya.
Haru menggeram frustrasi, tetapi dia tahan. Dia tidak mau Hirima salah paham dengan perlakuannya. Balas memeluk tubuh ringkih itu, Haru menyempatkan membuat tanda di leher Hirima dan si empunya memekik sakit.
"Sakit, jangan membuat tanda. Nanti leherku gatal," lenguh Hirima sambil menggosok gosok permukaan yang ditandai Haru.
"Maaf, oke kita pulang, ya? Selama kuliah tadi, kamu tidak berinteraksi dengan laki laki kan?" Merasakan raut wajah Hirima tidak tenang dan gelisah, perlahan namun pasti tangan Haru memasuki baju istrinya dan mengelus perut rata itu. Hirima menggigit bibir, sembari menatap Haru gamang.
"Jawab sayang!"
"Enggak Kak, sama sekali nggak."
"Bagus! Aku percaya sama kamu." Haru tersenyum puas mengetahui fakta bahwa Hirima mulai bisa beradaptasi dengan semua peraturannya. Beralih menggenggam tangan sang istri, Haru menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya keluar dari area kampus. Sesekali laki laki itu pun mengecupi punggung tangan Hirima penuh sayang.
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Obsession Of Crazy Husband
HorrorWARNING! Cerita ini mengandung unsur -pembunuhan -sadistic -pschopath -toxic relationship. (FOLLOW SEBELUM BACA!!!!!!!) Haru tidak suka melihat Hirima berinteraksi dengan siapapun termasuk keluarganya sendiri. Membuat targetnya lemah dan gila adalah...