Mine 09

821 40 0
                                    

Rintihan itu menandakan kesakitan tiada tara. Keringat bercucuran di sela tidurnya. Bibir Hirima bergetar, entah menahan dingin atau sakit yang dirasakannya sekarang, satu yang pasti seluruh tulangnya bagaikan sedang dihancurkan. 

Haru mengusap air mata yang tiba-tiba saja meluruh ke pipi melihat Hirima tidak karuan. Ini semua salahnya, andaikan Haru bisa sedikit lebih bersabar dan tidak bertindak di luar nalar, mungkin Hirima tidak kesakitan. Kedua tangan Haru telaten membersihkan luka cambuk di berbagai anggota tubuhnya, mengompresnya sebentar untuk menghilangkan bakteri lalu Haru usap semua lukanya dengan antibiotik. Hirima terbangun merasakan perih yang sangat. Tangisannya pecah saat melihat Haru sibuk menenangkannya padahal dirinya sedang sibuk membersihkan air matanya.

"Kenapa kakak menangis? Kak Haru belum puas menyakiti aku? Atau kak Haru baru menyesal sekarang? Bagus kalau menyesal, kak Haru bahkan tidak pernah berpikir sebelum bertindak." Meski ucapannya begitu menohok, suara Hirima bergetar karena tangisnha tidak bisa dibendung. 

"Berhenti bicara, aku tidak suka ucapan kamu." Haru mengintimidasi masih tetap mengobati luka-luka Hirima. 

"Menurut kakak, apakah selama ini aku suka diperlakukan bagai kerbau dicocok hidungnya? Apa aku pernah marah? Tidak kan? Meski seratus kali aku bilang tidak suka, kak Haru tetap ga kenal peduli." Bagaikan diberi peluang untuk menumpahkan unek-uneknya, Hirima berteriak histeris agar Haru sadar bahwa kehidupan pernikahannya begitu melelahkan. 

Sekali hentakan, Haru membanting baskom berisi air kompresan ke sembarang arah. Matanya menggelap, rahangnya pun mengetat kuat. Hirima takut, tetapi dia sudah tidak peduli konsekuensi. 

Haru mendekat, mencengkram rahang Hirima kuat. "Kamu tau, semua yang aku lakukan demi kamu. Aku melindungi kamu dari orang-orang jahat. Dunia ini sudah gila sayang, hanya aku yang bisa kamu andalkan?" Haru menyatukan dahi keduanya. Dapat Hirima rasakan hembusan napas Haru beserta tetesan air mata yang membasahi wajahnya. Haru menangis.

"Kakak sadar nggak sih kalau dunia terlihat jahat itu karena orang-orang seperti kamu? Kamu nggak punya hati nurani, egois dan selalu bertindak sesuka kamu. Kak Haru berharap apa dari menjauhkan aku sama dunia yang kejam padahal kak Haru sendiri adalah definisi kekejaman yang nyata." 

Mata Haru mengkilat di tengah kegelapan. Apa yang Hirima katakan benar adanya. Dunia menjadi kejam karena orang-orang sepertinya. Tetapi apakah dirinya tidak pantas untuk melindungi seseorang yang dicintainya? 

"Kamu tau rasanya sendirian dan semua orang seolah membenci kamu, sayang? Cuma kamu yang aku punya, cuma kamu yang ingin aku lindungi. Aku takut, kalau kamu pergi aku harus pulang ke siapa. Sekali saja dalam seumur hidupku, biarkan aku memilikimu seutuhnya. Aku mohon." Tatapan tajam itu berubah mengkilat karena ada genangan air mata. Hati Hirima teremas, tetapi dia tidak peduli berusaha tegar. 

"Banyak hal yang ingin aku bahas. Perihal anak, perihal obsesi gila kamu dan tingkah laku kamu, kak. Aku bingung alasan kak Haru tidak mau punya anak itu apa? Its hurt my heart kak. Aku ingin menjadi seorang ibu. Aku juga ingin  kita menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita kelak." 

"Aku tidak punya alasan. Tunggu, tunggu sampai aku siap ya? Aku janji, semuanya akan berubah indah perlahan-lahan buat kamu. Kamu mau?" tanya Haru kini menatap Hirima lembut. Cengkraman yang tadinya menyakitkan berubah menjadi usapan seringan bulu. 

"Aku akan tunggu sampai kamu berubah. Ayo hidup lebih baik lagi, ka. Hanya ada aku, kamu dan anak-anak kita kelak." 

"Pasti, semua aku lakukan buat kamu, sayang." Tidak kuat akan kebahagiaan di malam hari ini, Hirima memeluk pinggang Haru kuat. Seberapa banyak dia disakiti, tetapi cinta dan kasih sayang Haru lebih banyak dia dapatkan. Katakan Hirima gila jika dia juga tidak bisa hidup tanpa Haru. 

💓💓💓

Hirima duduk di sofa sembari menonton kartun kesukaannya di tablet. Badannya masih terasa sakit, jadi dia memutuskan untuk izin kuliah. Sedangkan Haru di dapur sedang menyiapkan makanan dan cemilan untuk Hirima karena dia harus ke kantor. Sesekali Haru tersenyum gemas menoleh ke arah Hirima yang begitu fokus menonton. Menu hari ini tidak ribet, untuk sarapan Haru menyiapkan salad sayur karena istrinya itu sangat membenci sayuran. 

"Hirima, nontonnya sambil sarapan ya. Kakak mau mandi dulu." Haru menyajikan satu gelas susu dan salad sayur di hadapan Hirima. 

"Kak, mending salad buah, deh," rajuk Hirim menatap geli sayur mayur itu. 

"Kakak udah siapin banyak buah kesukaan kamu di kulkas, tapi nanti makannya agak siangan ya. Makan sayur dulu." 

"Nggak suka kak."

"Kamu dijamin suka, coba dulu deh. Itu kakak buatnya pake bumbu rahasia." Hirima akui tampilan saladnya tidak terlalu buruk, malahan jika dia tidak menyadari itu sayuran makan Hirima akan langsung tergiur. 

"Sayang coba dulu dong," ucap Haru yang melihat Hirima hanya diam menatap geli pada mangkok sayur itu. 

"Baiklah." Pasrah, Hirima mengambil seseondok potongan sayur itu lalu langsung memasukkannya ke dalam mulut. Kunyahan pertama masih tidak ada ekspresi, barulah di kunyahan ketiga, mata Hirima berbinar dan kembali menyendok salad itu. Melihat itu Haru tertawa gemas seraya mengusap rambut Hirima. 

"Enak, kan? Itu aku bikinnya pake cinta tau."

"Delicious, i like it. Aku gak suka sayur karena pernah nemu ulat ijo gede banget di batang bayam. Geli liatnya, tapi i trust masakan punya kak Haru udah terjamin higienis kan?" tanya Hirima menyendok sayur itu untuk menghuapi Haru. 

"Kamu jangan raguin aku, semua yang aku suguhkan buat kamu sudah terjamin higienis. Aku gak mau kalau istriku ini sakit karena makan gak layak." 

"Nanti aja mandinya, kak Haru sarapan dulu. Makasih, ya, udah masakin buat aku. Selagi aku izin aku bakal belajar masak deh supaya kak Haru bisa makan masakan aku." 

"Belajar lewat apa sayang?" 

"Lewat youtube bisa kok kak. Don't to worry." 

"Kalau kamu mau belajar masak, kakak panggilin koki bersertifikat ke rumah ya? Kalau lewat google pasti mata kamu lelah harus bolak-balik liat tablet." Kini giliran Haru yang menghuapi Hirima karena sejak tadi dia sibuk mengoceh. 

"Apa apaan sampe kirim chef bersertifikat, kayak aku mau ikutan master chef aja. Nggak ah kak, lewat daring aja belajarnya. Lagian gampang kok."

"No! Keamanan kamu jaminan nomor satu. Aku nggak mau kamu kecelakaan dalam memasak. Nyalain kompor emangnya udah bisa?" ejek Haru yang membuat Hirima membenarkan. 

"Nanti kan belajar." 

"Dengerin kakak boleh? Untuk pertama kali belajar, kakak panggilin chef supaya dia bisa ngarahin dan kamu bisa dapat informasi cukup tentang peralatan dapur. Lalu sekiranya kamu sudah yakin, kakak izinin buat latihan lewat youtube. Deal?" Meski Hirima tidak menyetujuinya, tetapi alibi Haru sangat masuk akal. Dia tidak bisa memasak, menyalakan kompor saja masih takut. 

"Deal, kak."

"Bagus, anak pintar." Haru mengecup kening Hirima lalu bangkit untuk pergi ke kamar. "Aku mandi dulu, ya?" ucap Haru. 

"Iya, tapi boleh gak gerbangnya jangan dikontrol?" Baru saja bertanya seperti itu, atmosfer di sekitarnya mendadak tidak enak. 

"Kenapa emangnya?" tanya Haru mengintimidasi. 

"Takut bosan, aku boleh kan ke kantor kak Haru?" Wajah yang tadinya tegang, mendadak lunak setelah mendengar jawaban Hirima. 

"Boleh sayang. Telepon aja mau jam berapa ke kantor nanti aku jemput."

"Baiklah." 

The Obsession Of Crazy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang