Mine 04

1.1K 48 0
                                    

Hirima terbangun di tengah malam. Posisinya berada dalam dekapan hangat Haru dengan kedua tangan meliliti pinggangnya. Menjulurkan setengah badan menggapai jam waker di nakas, Hirima mengeluh kesal karena lupa mengerjakan makalah yang akan ia presentasikan besok. 

"Kenapa bangun?" gumam Haru menarik Hirima lagi ke dalam pelukannya. Akses kabur terblokir karena kaki Haru mengunci kaki dan tangannya kuat. Meniup lilin aroma terapi yang menjadi satu satunya penerangan, Hirima menyalakan lampu tidur. Kebiasaan ini milik Haru. Laki laki itu suka sekali saat tidur hanya ditemani remang remang dan aroma menenangkan.

"Lepasin dulu!" pinta Hirima kepayahan meloloskan diri. Bahkan saking kesalnya, Hirima sampai memukuli lengan dan kaki Haru. Peluang menjahili besar, Haru mengunci total pergerakan Hirima. Diam diam, dia tertawa gemas. 

"Aku belum ngerjain tugas makalah. Lupa, besok presentasi," adu Hirima kini pasrah dan kembali tertidur di pelukan sang suami. Posisinya mereka saling berhadapan, namun Haru pura pura memejamkan mata. Membiarkan Hirima berbicara semaunya. 

"Judul materinya apa?" 

"Pentingnya peran orang tua dalam mengenali mental anak. Aku belum mengerjakannya sama sekali."

"Ini sudah sangat malam, lebih baik kamu tidur," titah Haru mengangkat selimutnya untuk menutupi keduanya. Namun sudah lebih dulu ditahan oleh Hirima. 

"Lalu gimana tugasku? Aku mau ngerjain sekarang, minggir!" Gadis itu memberontak sekuat tenaga hingga pelukan Haru mengendur. 

"Hirima!" panggil Haru datar ikut bangun lalu mengucek matanya karena kantuk masih mendera. Terlihat jelas, istrinya itu menahan napas dan memberenggut takut. Salah lagi, seharusnya dia tidak usah mengeluarkan suara yang mengintimidasi. 

"Maaf maaf." Memeluk Hirima dari belakang dan mencuri kecupan kupu kupu di leher jenjangnya, Haru berbisik seduktif, "Ayo kita kerjakan sama sama tugasnya, namun aku meminta syarat." Bulu kuduknya mendadak merinding. Belum sempat menjawab, Haru sudah membalikan tubuh Hirima lalu menyimpan sebelah tangannya di belakang kepala seraya kembali membaringkannya perlahan. 

Masing masing netranya saling bertubrukan. Ibu jari Haru mengelus ujung bibir Hirima sebelum dikecupnya singkat. Melihat raut wajah istrinya memerah, Haru tidak bisa menahan senyum. Benar benar menggemaskan. Dia pastikan, tidak ada orang lain yang bisa melihat Hirima dalam keadaan menggemaskan seperti ini.

"Boleh kah?" pinta Haru sayu memainkan kancing piyama Hirima seduktiv. Si empunya menahan napas. Perutnya banyak sekali kupu kupu berterbangan. Tangan Haru yang lain menjalar ke nakas lalu mematikan lampu tidurnya kembali. Dirasa tidak ada penolakan, Haru tersenyum seduktif lantas mendekatkan wajah.

***

Ditanya apakah seorang Hirima pernah merasa takut kepada Haru? Jawabannya tidak. Haru yang membutuhkannya, maka dia leluasa bersikap. Toh, suaminya itu tidak pernah marah. Kecuali, jika dia berbuat kesalahan fatal, entah apa yang akan ia terima. Namun, sejauh ini, perlakuan Haru baik baik saja. 

Kalau saja laki laki itu tidak memiliki kelainan aneh yang menyeramkan, sudah pasti tanpa paksaan pun, Hirima akan tulus mencintainya. Menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Seiring berjalannya waktu mereka hidup bersama, sampai menjadi suami istri, Hirima tidak sejahat itu membenci Haru yang jelas jelas mencintainya dengan sangat. 

Jam dinding menunjukan pukul tiga pagi. Sesuai janji, mereka akan mengerjakan tugas makalah bersama. 

Haru dengan handuk menggantung di leher dan rambut basahnya membawa dua cup mi rebus ke ruang tamu di mana Hirima berada. Ia kira, Hirima sedang sibuk di depan laptop, ternyata, istrinya itu malah tertidur di sofa dengan laptop terbuka begitu saja. Bahkan saat ia mengecek tugasnya, belum ada sama sekali tulisan. Haru menggelengkan kepala, duduk di dekat kepalanya lalu mengangkatnya ke pangkuan.

Mengeringkan rambut Hirima yang juga basah menggunakan handuk. Sepanjang melakukan itu, atensi Haru tidak berpaling sedikit pun dari wajah pulasnya. Ah, Hirima benar benar, bilangnya akan mengerjakan bersama, namun dia bertingkah seperti sengaja membebankan seluruh tugas kepadanya. 

"Padahal aku udah buat mi rebus," pancing Haru mengusap ngusap dahi Hirima. Tidak ada pergerakan yang berarti istrinya itu benar benar sudah tertidur, Haru terkekeh lantas merapihkan bantal sofa untuk dijadikan sandaran bagi Hirima. Dia harus segera menyelesaikan tugas makalah sebelum sinar matahari menyapa. 

Memindahkan laptop ke pangkuan, Haru mulai mencari jurnal referensi untuk materi yang Hirima garap. Hanya agar fokusnya tidak buyar, sesekali Haru memakan mi cup yang ia buat. 

"Wangi mie, mau," gumam Hirima menajamkan indera penciumannya. 

"Udah abis, salah siapa tidur," goda Haru sambil terus mengetik materi. Tidak butuh lama mencari referensi, makalah yang baru berapa menit ia garap hampir selesai. Haru pernah kuliah, jadi dia tidak asing dengan masalah seperti ini. 

Hirima bangun menguap lebar. Dengan sigap, Haru menutupnya dengan sebelah tangan. "Kamu kayak gitu, tetep aja cantik," ucap Haru spontan. 

Sudah biasa digombali seperti itu, Hirima menaruh laptop di pangkuan Haru ke meja dan ia berbaring nyaman di sana. "Capek, Kak. Badanku sakit," adu Hirima lirih. 

"Lanjut tidur aja, biar Kakak yang garap tugasnya."

"Kalau nilaiku A gimana?"

"Ya bagus," ucap Haru mencondongkan badan agar bisa mengetik dengan nyaman. Biarkan saja Hirima terdekap oleh badannya. Toh gadis itu pasti sedang proses mengunjungi alam bawah sadar. 

Beberapa saat, suasananya hanya ditemani suara ketikan keyboard. Keduanya tidak ada yang membuka suara. Haru kira Hirima sudah tidur, namun dirasakan dari embusan napasnya yang belum teratur, sang istri pasti sedang melamun.

"Boleh nggak aku punya ponsel?" Haru menghentikan gerakan jarinya sekilas seraya menekan huruf huruf random sampai layarnya dipenuhi ketikan tidak jelas. Tatapan matanya pun menyalang tajam menatap layar laptop.

"Udah nggak usah dijawab. Aku tau jawabannya," ucap Hirim ketus tiba tiba bangkit dan duduk tegak. Mengambil satu cup mi lain yang masih utuh, lantas memakannya rakus. 

"Bukan gitu, sayang," kilah Haru mendekatkan jaraknya lalu merangkul Hirima. Dikecupinya pipi tirus itu berkali kali agar emosi Hirima mereda. 

"Terus kenapa? Alasannya basi. Kakak berlebihan memperlakukan aku. Padahal ponsel itu penting. Aku udah semester lima, di mana komunikasi dengan dosen dan teman teman sangat dibutuhkan."

"Bisa pakai ponsel aku."

"Nggak mau."

"Aku melarang," ucap Haru tegas.

"Aku maksa!" Hirima menatap suaminya tajam. Haru mengembuskan napas lelah seraya menyeka tetesan kuah yang tersisa di sudut bibir Hirima. 

"Lalu kamu akan memiliki banyak teman, kemungkinan lawan jenis menyukaimu sangat besar. Dari sana, kamu akan selingkuh dan meninggalkan aku."

"Pikirannya kelewatan. Stop mencurigaiku, Kak."

"Habiskan mi nya, kalau mau tidur, ke kamar aja. Sebentar lagi makalahnya selesai," ucap Haru dingin. Lebih baik mendiamkan Hirima sebentar daripada ia melakukan hal tidak tidak kepada istirnya itu. 

"Nggak usah, biarin aku aja."

Haru menangkup wajah Hirima lantas menatapnya intens. "Please, tadi kamu bilang capek kan? Badan kamu juga sakit. Biar aku yang kerjain semuanya. Ini sudah hampir selesai."

Tidak mau kalah, Hirima berbalik menatap Haru tajam lalu memukul dadanya brutal beberapa kali. "Kesel banget sama kamu, Kak. Kesel. Aku cuma minta ponsel, nggak akan digunakan hal aneh aneh juga kok." Tidak tega mendengar tangisannya, Haru meringkus kedua tangan Hirima lalu mendekapnya lagi. 

"Iya sayang, aku paham. Aku percaya, tapi aku masih belum siap melepasmu secara menyuluruh."

Obat paling ampuh meredakan tangisan adalah afeksi pelukan. 








Hirima badannya sakit abis iya iya sama Haru. Jangan negativ thinking guys. 😶😶😶

The Obsession Of Crazy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang