Berdiri di depan cermin rias, dengan mandiri Haru mengompres sebelah pipinya yang bengkak karena tamparan panas sang istri. Dia tidak marah, malah hatinya gelisah tidak karuan saat mendengar lirihan dari arah tempat tidurnya.
Dirasa lirihan itu terus melesat ke dalam hati, akhirnya Haru menyudahi aktivitasnya lalu menghampiri Hirima dengan salep di tangan. Tadi, dia kelepasan mencengkram tangan Hirima. Takutnya ada luka yang tidak dia sadari.
"Coba liat dulu tangannya. Bangun dulu sebentar," bujuk Haru sangat lembut. Bahkan saking lembutnya, suara itu hampir mirip gumaman lirih. Sesayang dan secinta itu seorang Haru kepada Hirima.
Tidak berhenti merajuk, Hirima menggelengkan kepala tegas dan tidak acuh atas suruhan Haru. Andaikan Hirima bukan wanita yang dicintainya, sudah pasti Haru tidak bisa lagi menahan kesabaran. Namun tidak, segila apa seorang Haru, dia tetap memprioritaskan Hirima. Melayani gadis itu dengan baik, dan memastikannya selalu bahagia.
Ok, dia akan menahan kesabaran sampai Hirima mau berbalik menghadapnya. Selagi menunggu, Haru memainkan rambut gadis itu sambil mendengungkan lagu klasik yang sering sekali ia nyanyikan.
"Mau ketemu Ayah Bunda sebentar, Kak," ucap Hirima sesegukan.
"Kamu belum tau semengerikan apa dunia di luar sana. Biarkan kamu hanya memiliki aku, Hirima."
"Kenapa kamu sangat berlebihan? Mereka keluargaku, orang tuaku. Sekiranya, jangan membatasi ruang gerakku untuk berinteraksi dengan mereka."
"Aku hanya takut kehilangan kamu."
Menangis sejadi jadinya sambil menelungkupkan wajah di bantal. Kedua tangannya yang mengepal pun ia gunakan memukul kasur demi melampiaskan amarah. Hirima terlalu frustrasi menghadapi tingkah berlebihan Haru.
"Pengap, sayang. Jangan seperti itu. Bangun dulu sebentar. Aku mau obatin luka kamu," ucap Haru melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hirima hendak mengangkatnya agar duduk. Tidak ada rontaan apapun, Haru berhasil membuat Hirima menuruti kemauannya. Mengambil tiga helai tisu sekaligus dari nakas, dengan telaten, laki laki itu membersihkan setiap jejak air mata yang menghiasi wajah cantik itu.
"Tadi Bunda bicara apa saja sama kamu, hmm?" Selagi mengoleskan salep, Haru tidak henti hentinya memancing Hirima untuk membuka suara. Sedari tadi istrinya itu hanya menahan tangis sambil sesegukan. Sungguh, itu sangat menyesakan. Hirima pasti susah bernapas jika harus menahan tangis seperti itu.
"Nangis aja nggak apa apa. Napas kamu nanti berat kalau terus menutup mulut dan hidung." Mengecup pergelangan tangan yang sudah berbalut salep, Haru menyayangkan sikapnya yang sudah menyakiti kulit Hirima. Dia sangat marah sampai tidak sengaja mencengkram pergelangan tangannya.
"Lukannya udah aku obatin. Masih terasa sakit?"
Hirima tetap bungkam. Haru mencondongkan wajahnya hendak mengecup pipi Hirima, namun gadis itu langsung memalingkan wajah. Alhasil, Haru hanya mengecup angin. Bukannya marah, Haru malah tersenyum.
"Semua yang aku lakukan selalu disertai alasan, sayang. Manusia lebih menyeramkan daripada iblis. Aku tidak mau kamu sakit, aku hanya ingin kamu bahagia. Apakah kamu masih berpikiran aku jahat?"
"Tidak untuk kedua orang tuaku. Mereka sudah membesarkanku dengan baik!" ucap Hirima tegas menatap nyalang ke arah suaminya.
"Really?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Obsession Of Crazy Husband
HorrorWARNING! Cerita ini mengandung unsur -pembunuhan -sadistic -pschopath -toxic relationship. (FOLLOW SEBELUM BACA!!!!!!!) Haru tidak suka melihat Hirima berinteraksi dengan siapapun termasuk keluarganya sendiri. Membuat targetnya lemah dan gila adalah...