Tanah Para Pengacau (1)

213 33 0
                                    

Seorang pria terlihat terkapar lesu di atas sebuah meja sambil memainkan kentang yang sudah seperti pasir di piring miliknya. Makanan di piringnya itu masih belum berkurang. Dirinya malah menatap ke antah berantah, memandang hal yang tidak jelas nyata. Mata biru muda itu terlihat kosong, seakan tidak memiliki jiwa.

Ais muak dengan kentang. Dia ingin lobster bakar dengan saus mentega yang harum dan lezat, dan hidangan wilayah selatan lainnya yang identik dengan lautan. Jangankan lobster, rebusan payah super sehat buatan solar pun pasti rasanya lebih baik dari pada kentang di depannya. Dia sudah benar-benar bosan dengan kentang yang dia makan selama beberapa tahun. Karena kentang adalah satu-satunya makanan yang bisa dimakan di Tanah Hitam.

Rasanya hambar dan seperti tanah. Teksturnya lembek, dan kering di tenggorokan. Sulit di konsumsi tanpa air, padahal di sini air sulit di dapat. Diam-diam Ais sering mengutuk Duri yang hanya membiarkan kentang yang tumbuh di Tanah Hitam dan bukan tanaman lain. Diam-diam juga dia merengek meminta dibawakan lobster pada Blaze, namun berujung penyiksaan. Tapi setidaknya, Ais dapat meningkatkan simpati dari penghuni di sini berkat beberapa pukulan Blaze.

Saat sibuk meratapi nasib, pandangan Ais tak sengaja melihat sesosok pria berambut acak-acakan yang saking berantakannya mirip seperti sarang burung. Pria itu menengok ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari orang. Ais mengenalinya, itu adalah Ben. Salah satu orang yang ditargetkan olehnya untuk menggali informasi di tempat terkutuk ini.

"Hoi!" Ais memanggilnya, menyebabkan dia menengok ke arah Ais dan bergegas mendekati Ais yang masih duduk lesu sambil memainkan pasir kentang miliknya.

"Yuki! Maaf sudah membuat mu menunggu!" kata Ben, dia lalu duduk di hadapan Ais.

'Yuki' yang dimaksud oleh Ben adalah Ais, lebih tepatnya nama samaran yang Ais gunakan. Tidak mungkin Ais menggunakan namanya yang sudah dikenal banyak orang, apalagi nama sakralnya. Ais bunuh diri kalau seperti itu.

"Tidak ada juga yang bisa aku lakukan selain menunggu, tempat ini benar-benar yang terburuk." Dengan mendalami peran, Ais menjawabnya secara acuh tidak acuh.

Ben lalu merangkul Ais dengan akrab. "Ahahaha, tenanglah Yuki. Sebentar lagi kita akan bebas dari tanah terkutuk ini. Di saat itu, mari kita injak-injak para naga bajingan yang sombong itu."

Ais ingin tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya, namun harus dia tahan. Sayangnya sebuah senyum sinis tidak dapat dia bendung, reflek muncul di sudut bibirnya saat itu juga. Sadar sesaat kemudian, Ais berhenti bermain-main dengan kentang keringnya dan langsung menutupi sebagian wajahnya dengan tangan.

Ben yang melihatnya tidak curiga sama sekali. Dia menganggap kalau Yuki sedang terlalu senang memikirkan saat dia bisa bebas nanti dan menghajar habis orang-orang yang mengurung mereka di tanah terkutuk ini. Ben benar-benar percaya kalau Yuki adalah salah satu dari mereka.

Saat sudah bisa mengendalikan emosi wajahnya, Ais lalu bertanya. "Bagaimana rencana selanjutnya?" Sebuah pertanyaan yang membuatnya rela menunggu Ben sejak tadi.

"Oh benar! Maaf hampir lupa. Semuanya lancar, Kronos meminta semuanya berkumpul lusa untuk membahas rencananya lebih detail." Ben menjawabnya dengan semangat. Seandainya dia bukan pengacau dan tidak gila, Ais mungkin bisa berpikir kalau Ben adalah orang yang cukup baik. Sayangnya, di Tanah Hitam hanya berisi orang-orang gila yang tidak mungkin baik.

"Apakah semua penghuni Tanah Hitam ikut?"

"Kau bercanda? Semua yang dimaksud itu hanya orang-orang yang aktif dalam rencana Kronos. Tidak sebanyak sampai seluruh penghuni Tanah Hitam."

"Yah, aku kira karena rencana kali ini cukup besar, Kronos akan mengajak semua orang sebagai tambahan tenaga."

"Target kita tidak sekuat itu, deretan orang terkuat di sini sudah cukup untuk mendesak mereka."

"Siapa targetnya?" Ais kini semakin memperdalam topiknya dan berusaha menggali informasi lebih dalam.

"Entah, mungkin—"

"Hei Yuki! Jalang sialan itu meminta untuk bertemu denganmu!" Sayangnya, jawaban Ben terpotong oleh seseorang dengan kulit pucat seperti mayat yang tiba-tiba menginterupsi tanpa permisi. Baik Ais maupun Ben keduanya langsung menengok ke arah si pelaku.

Ais tidak tahu siapa jalang yang dimaksud. Tapi kemudian dia terpikirkan seseorang dan langsung mengepalkan tangannya untuk menahan sedikit kekesalannya. Seandainya dia sedang tidak menyamar, akan langsung Ais bekukan orang pucat kurang ajar ini.

Orang pucat itu mendekat dan kembali berbicara. "Sebenarnya kebodohan apa yang kamu buat hingga dipanggil?" Wajah pucat miliknya terlihat pongah dan memandang Ais dengan rendah.

"Wah, cukup gawat kalau kau dicurigai, mungkin aku akan melaporkan pada Kronos kalau kau tidak dapat hadir lusa." Ben pun ikut menanggapi orang pucat itu.

Lalu Ais menengahi keduanya. "Tidak perlu, membuatnya berhenti curiga adalah hal yang mudah. Tidak akan aku biarkan rapat kita terganggu." Dia berbicara seperti itu untuk menenangkan mereka berdua. Dan tentu saja, sandiwaranya berjalan sangat mulus.

Kalau Yaya memanggilnya langsung seperti ini, Yaya pasti punya sebuah rencana. Jadi Ais hanya harus mengikuti rencana Yaya dan sedikit memberi improvisasi untuk menyesuaikan lapangan. Maka dari itu, baik panggilan Yaya atau rapat lusa, Ais akan mendatangi keduanya.







Psstt, Nanas mau bilang....

Ini tidak ada kaitannya dengan cerita, tapi aku cuma pengen curhat aja ke kalian yang baca.

Mood ku belakangan ini lagi kacau, mental ku capek banget sumpah menghadapi orang-orang egois yang gak mau diatur. Tapi semisal ga ada yang ngatur, mereka protes minta diatur. Dan aku sebagai orang yang cukup idealis, dipandang sama mereka jadi orang nyebelin yang cuma marah-marah doang. Padahal kalau aku udah marah dan debat orang, itu tandanya aku udah capek banget. Dan kalau aku udah marah dan debat orang, itu tandanya mereka emang gak bener dan gak sesuai sama harapan ku.

Aku tau aku lumayan kejam, ucapan-ucapan ku pun kayaknya terlalu tajam buat mereka. Sadar juga sebenarnya aku bisa lebih baik daripada cuma marah-marah dan ngatur mereka. Misal ngedeketin orang satu-satu, dengerin mereka ngomong, dengerin pendapat mereka, terus nyatuin pendapat itu jadi satu. Tapi emang kayaknya aku kurang cocok yang kayak gitu. Apalagi pas kondisi otakku udah capek buat mikir kritis buat nge-improvisasi kenyataan yang aku sadar gak bakal sesuai sama yang ada di otakku.

Terlalu banyak improvisasi bikin aku capek mikir. Capek mikir bikin emosi ku gampang tersulut. Padahal, emang aku suka jadi orang yang nyuruh-nyuruh orang dan marah-marah mulu? Nggak! Aku benci keributan, aku benci ekspresi gak suka orang-orang. Aku benci pandangan mereka yang bilang aku ini sok bener, sok iya, dan sok jadi orang yang paling harus dituruti.

Aku berharap banget mereka nurunin sedikit ego mereka yang masih kayak anak kecil, terus mau nyoba liat sudut pandang ku yang idealis. Meski aku tau, aku yang ngarep gini juga termasuk egois. Tapi serius, aku harap mereka juga bisa mengerti pandangan idealis ku ini.

Son of DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang