Papa (end)

194 33 15
                                    

Setelah hari di mana Boboiboy dan Gempa mengalami sedikit pertengkaran, Boboiboy mengurung dirinya di kamar. Dia mengasingkan dirinya dari Gempa dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dengan gelap kamarnya yang sengaja dia biarkan, Boboiboy termenung sepanjang hari di balik pintu.

Tatapannya kosong, menatap entah kemana di ruangan gelap itu. Pikirannya berkelana, menelusuri ingatan kemarin, dan ingatan kehidupan lamanya yang sudah benar-benar sangat jauh dari kata berhubungan. Beberapa tetes air mata kadang jatuh tanpa permisi. Perasaannya benar-benar campur aduk kali ini. Dibandingkan rasa marah dan sedih, Boboiboy mungkin lebih merasa takut.

Perandaian demi perandaian dia buat, banyak skenario dia pikirkan. Kadang Boboiboy ingin menganggap dunianya sekarang adalah mimpi, kadang Boboiboy berpikir kalau seharusnya dunia lamanya yang dia anggap sebagai mimpi. Pertanyaan yang sebenarnya hampir dia lupakan pun juga kembali lagi sekarang.

Kenapa dia harus dilahirkan kembali? Kenapa dia harus menjalani sebuah kehidupan lagi? Padahal, Boboiboy sudah sangat lelah dan mendambakan kematian saat itu. Namun, kematian malah menghadiahinya sebuah kehidupan yang baru.

Boboiboy kini kembali mengingat saat-saat terakhir kehidupannya dulu. Saat itu, dia ingat pernah memiliki sebuah pemikiran yang sangat bodoh.

Pandangan matanya yang kosong mendadak memunculkan emosi lain, sebuah emosi ragu-ragu dan khawatir. Tubuhnya gemetar beberapa saat setelah menyadari pemikiran bodohnya kala itu. Prasangka-prasangka datang, kembali menambah rasa takutnya. Bagaimana, bagaimana, bagaimana dan bagaimana terus bermunculan di otaknya, tanpa jeda. Apakah kehidupan keduanya ini adalah jawaban dari harapan kosongnya saat itu?

Boboiboy merengkuh dirinya sendiri yang terus gemetar sejak tadi. Kepalanya dia tenggelamkan dibalik tangan-tangannya. "Sadarlah, sadar Boboiboy." Dengan mata yang terpejam, Boboiboy berusaha untuk terus mengucapkannya. Berulang-ulang kalimat itu disuarakan dengan suara yang lirih seperti bisikan, bagaikan itu adalah sebuah mantra penenang.

"Sayang, aku takut kalau Oboi akan membenciku ..."

Hingga sebuah suara terdengar di kepalanya, membuat Boboiboy secara reflek mengangkat kepalanya. Suaranya sayup-sayup antara jelas dan tidak. Namun Boboiboy tahu siapa yang bersuara. Nadanya terasa lesu, bahkan sedikit parau. Tapi Boboiboy masih dapat mengenalinya, itu adalah suara Gempa.

Saat Boboiboy sadar, suara tadi sudah tidak terdengar lagi. Boboiboy jujur cukup penasaran dengan suara yang dia dengar. Apa maksudnya? Apakah itu semacam telepati? Tapi yang ini sangat berbeda jauh dengan sihir telepati yang dia tahu. Lalu apa mungkin ini jenis sihir yang lain?

Rasa penasaran kini mendominasi dan mengalahkan ketakutannya. Boboiboy bangun dari duduknya, dia berbalik dan memegang gagang pintu. Sebuah tarikan napas dia lakukan untuk semakin membulatkan tekatnya. Kemudian secara perlahan, gagang pintu yang dia genggam mulai dia putar.

Pintu kini terbuka. Yang menyapa matanya adalah sinar lampu yang cukup membuat matanya kaget, meski lampu itu sebenarnya tidak terlalu terang. Boboiboy berkedip untuk menyesuaikan penglihatannya. Kemudian dia menengok ke kanan dan mendapati lampu ruang tengah masih menyala terang, menandakan sebuah aktivitas di sana.

Mendengar suara Gempa yang lesu membuatnya mengambil inisiatif untuk mencari tahu hal yang sebenarnya. Perlahan Boboiboy berjalan, mendekati balkon yang menjadi pembatas di lantai dua rumahnya. Saat semakin mendekat, suara antara dua orang yang sedang berbincang bisa dia dengar.

Boboiboy lalu mengintip dari balkon lantai dua rumahnya, menatap ke arah ruang tengah di bawah sana. Matanya bisa melihat kedua orang tuanya sedang duduk dan berbincang di sana sambil membelakangi balkon. Di atas meja terdapat sebuah teko dan secangkir teh berwarna emas.

Son of DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang