Keluarga Thermablade (1)

166 25 18
                                    

Gempa menghentakkan kakinya sekali ke tanah, satu peleton golem kemudian muncul dan mulai menyerang para Pengacau. Sedangkan Gempa, dia melesat ke arah Schrödinger dan melayangkan sebuah tinju berbalut batu. Schrödinger mundur untuk menghindar, namun serangan dari Gempa masih belum berhenti. Pukulan demi pukulan dari Gempa terus dihindari Schrödinger sambil berjalan mundur dengan santai.

Hingga serangan dari Gempa seketika berhenti karena dia harus menghindar dari sebuh rumah yang runtuh tiba-tiba. Schrödinger tersenyum puas, ternyata pria dengan warna mata beda sebelah itu sengaja menggiring Gempa ke suatu tempat, bukan hanya semata mundur menghindari serangan.

Pria dengan mata berlainan mata itu lalu mendekati Gempa dan berbisik padanya.

"Tahan sebentar sebelum kau kembali menyerang,"

Gempa mundur dengan waspada, menatap tajam ke arah Schrödinger. "Apa mau mu?" tanya Gempa, menanyakan maksud dari ucapan Schrödinger.

Schrödinger mengangkat bahunya santai, berjalan-jalan berputar-putar yang tentu saja sambil diikuti oleh pandangan awas dari Gempa. Kakinya dengan ringan melangkah ke sana kemari, diikuti suara bising pertarungan di latar yang memekakkan telinga.

Entah itu teriakan, benturan baja, atau dentuman keras khas sesuatu yang berat jatuh, Schrödinger tidak terlalu memusingkannya— atau bahkan dia malah menikmatinya. "Apa kau tidak penasaran, kemana perginya Ais dan yang lain? Kenapa mereka tidak membantumu?" Dirinya berkicau, seakan sedang memancing Gempa untuk hal yang lain.

Gempa mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan dirinya untuk tidak terhasut. Dengan tegas dia menjawab, "Aku tahu mereka di Hutan Besar Barat."

"Memangnya Hutan Besar Barat juga tetap diserang? Kau bisa lihat sendiri, nyatanya malah Erlupi yang diserang, bukan?" Kalimat-kalimat hasutan terus disuarakan oleh Schrödinger.

Gempa sedikit goyah, memikirkan perkataan pria gila itu terlalu dalam. Bagaimana kalau yang lainnya memang sengaja tidak membantu Erlupi? Bagaimana kalau tanahnya ternyata ditumbalkan? Bagaimana kalau ternyata dia dikhianati oleh yang lainnya?

Ini buruk. Pikiran-pikiran negatif mulai mengisi kepalanya. Segera dia gelengkan kepalanya untuk menepis semua hal jelek yang ada di otaknya. Schrödinger hanya sedang memancingnya, mana bisa dia biarkan begitu saja! Gempa harus menguatkan pikirannya agar tidak mudah terpengaruh.

Schrödinger yang menatap Gempa sedikit melunturkan senyumannya. Entah seberapa keras Gempa bertahan, akan terus Schrödinger lakukan sampai membuahkan hasil. Entah itu marah dengan ucapannya atau marah dengan hal yang lain, keduanya tidak begitu merugikan.

"Ayo salahkan Ais, dia tidak becus menjadi mata-mata. Salahkan juga Blaze, dia tidak cocok menjadi seorang penjaga. Karena mereka tidak becus, keluargamu kecilmu jadi sedikit terganggu."

Melirik Gempa yang masih diam membuat Schrödinger semakin menjadi-jadi. Kalimat demi kalimat yang menyesatkan terus berbunyi dari mulutnya. Lidahnya itu seakan lihai menari membentuk sebuah rangkaian kata-kata buruk.

"Wah, seandainya mereka melakukan tugasnya dengan benar, Erlupi tidak akan hancur. Kau akan masih bisa bercanda bermain kuda-kudaan bersama anakmu."

Schrödinger sedikit melirik, kepalan tangan Gempa yang semakin menguat. Wajahnya benar-benar sudah mengeras sekeras batu sampai-sampai guratan-guratan pembuluh darahnya terlihat jelas. Perlahan Schrödinger melangkahkan kakinya ke arah Gempa, pelan dan santai menipiskan jarak diantara mereka.

"Lalu, salahkan juga Halilintar, bukankah dia salah karena lemah?" Di depan wajah Gempa, Schrödinger mengatakannya dengan enteng.

"Tutup mulut busuk mu!" Gempa menggeram marah, dia ingin sekali mencabik-cabik pria di depannya.

Son of DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang