🍀10

25.4K 2.3K 756
                                    

"Mas tidak mau lagi mengenal dia. Terserah kalo kamu ikut Mas atau tidak, yang jelas setelah itu kita cerai."

Suara sayup-sayup Temy terdengar di telinga Kayana, tau kedua orang tuanya sedang bersitenggang karena dirinya, Kayana membuka matanya perlahan. Bias cahaya berlomba-lomba memasuki retina matanya.

Kayana mendesis lirih dan itu berhasil mendapat atensi orang tuanya. Sejak membuka mata, Kayana tidak berharap akan mendapat sambutan kata penuh kekhawatiran. Karena memang semua tidak sama lagi.

"Lihat, aib itu sudah sadar. Belum cukup menghancurkan orang tuanya, dia juga hamil di luar nikah." kalimat tajam itu begitu mudah Temy muntahkan tanpa peduli bahwa Kayana masih meresapi rasa sakit di tubuhnya.

"Mas..."

Temy melengos lalu pergi meninggalkan ruangan Kayana.

Menggeleng tak habis pikir, Raisa menatap putri sulungnya itu yang hanya diam. Raisa mengelus rambutnya sayang, tanpa bisa dicegah airmatanya keluar.

"Maaf, Ma." suara lirih Kayana kian membuat airmata Raisa semakin mengucur deras. Bukan hanya fakta kehamilan Kayana saja yang membuatnya syok, tetapi juga sayatan bekas luka di lengan Kayana yang banyak.

"Kamu keguguran, usianya baru 3 minggu." paparnya setelah berhasil menenangkan dirinya, Raisa jelas tidak ingin mengungkit goresan-goresan itu karena khawatir akan menjadi beban baru bagi Kayana. Menghapus buliran airmatanya, Raisa menggenggam tangan ringkih putrinya.

"Nak, siapa pria itu?" tanyanya kemudian. Tetapi melihat Kayana membuang pandangannya ke samping, Raisa tau bahwa Kayana tidak akan mengatakannya.

Menghela napas panjang, Raisa mencium dahi Kayana penuh kasih lalu menatap putrinya itu lembut.

"Kay, apapun yang terjadi Mama bakal di samping kamu. Mama sayang sama kamu, jadi apapun keadaannya Mama siap menampung cerita kamu. Kasih sayang seorang ibu itu tidak ada batasnya, meski sang anak melakukan kesalahan besar sedikitpun." tutur Raisa tanpa ada nada penghakiman.

Pandangan Kayana meredup, ia tau sang ibu tidak akan menghakiminya terlepas bagaimana kecewanya ia setelah putri sulungnya tidak bisa menjaga diri. Maka dari itu Kayana sejak tadi memilih bungkam dan tidak melihat Raisa di saat rasa malu serta bersalah menggerogoti hatinya.

"Istirahatlah, Mama mau keluar. Nanti Mama ke sini lagi."

Nyatanya hari itu adalah hari terakhir Raisa menemuinya. Terhitung sudah 3 hari Kayana berada di rumah sakit, dan sejak itu tidak ada yang datang menjenguknya.

Tak seorang pun.

Asik menatap dinding rumah sakit, Kayana tidak sadar ada seseorang yang memasuki ruangannya. Barulah saat mendengar suara langkah kaki yang jelas, Kayana mengalihkan fokusnya. Tangannya tanpa sadar saling meremas.

"Pagi, Sayang." sapanya tersenyum manis. Dan Kayana anggap senyum itu adalah awal dari petaka.

Arras bersiul kecil kemudian dengan lembut memegang tali infus Kayana.

"Maaf ya baru datang, soalnya lagi sibuk pelantikan CEO." akunya yang dalam hitungan detik mengubah mimik wajahnya menjadi sedih.

Kayana melengos, enggan sekali menatap Arras. Tubuhnya refleks bergeser saat Arras duduk di bagian sisi brankarnya, Kayana sempat melemparkan tatapan tajam namun sebaliknya pria itu mengelus tangannya yang di infus.

"Aku sedih dengar kamu keguguran, kasian calon anak kita yang belum lihat dunia." ungkapnya dengan satu tangan mengelus permukaan perut Kayana. Gestur tidak nyaman, tidak luput dari Kayana berikan. Bukannya mengerti, Arras malah kian memepetkan tubuhnya.

Lembayung TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang