📍Chapter 18

4.8K 488 13
                                    

Keesokan harinya, saat matahari terbenam di bawah cakrawala yang menimbulkan bayangan panjang yang tenang dan indah. 

Rigala merapikan ranselnya dan bergegas menyusuri jalan, ia ingin segera pulang sebelum gelap. Dia selalu menjadi murid yang baik, anak yang bertanggung jawab, dan anak yang baik dalam segala hal. 

Namun malam itu, takdir berkehendak lain untuknya. Ketika motor yang ia kendarai melewati sebuah gang gelap, ia pikir jalan pintas yang dilaluinya merupakan pilihan yang ia sesali.

Di tengah jalan, dia mendengar suara erangan yang terdengar sedikit familiar. Keingintahuan menguasai dirinya, dan dia meyakinkan diri untuk berhenti dan menghampiri salah satu gang yang gelap itu lalu mengintip dari sudut. 

Jaga-jaga agar dia bisa langsung kabur dan menelpon polisi jika ada seseorang yang melakukan tindak kriminal. Karena hari ini Rigala sedang sial karena lupa membawa cadangan senjatanya, dan dia masih menggunakan seragam sekolah.

Apa yang dilihatnya membuat dirinya membeku tak percaya. Seorang pria yang terduduk sendirian itu bersimbah darah.

Pria itu, mengenakan setelan hitam sempurna, darah yang keluar dari tubuhnya cukup untuk memberitahu pemuda itu kalau pria itu terluka parah.

Rigala tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, tetapi ketika pria itu berbicara untuk mengusirnya sekali lagi, ia menjadi terkejut. 

Pria itu, Daraya. Sosok yang cukup ia kenal dekat dalam beberapa hari ini.

"Hei, brat! Enyahlah!" Daraya mengusirnya lagi. Dari ucapannya, Rigala memahami satu hal. Pria itu tak sadar kalau yang ia usir adalah dirinya. Suara paraunya cukup lemah, jadi Rigala tidak terlalu mengenali awalnya

Jantung pemuda itu berdebar kencang, dia tidak ingin terlibat sebenarnya, tapi dia tidak bisa meninggalkan pria itu. Tanpa pikir panjang, dia mendekat perlahan.

Dengan napas berat, Daraya menoleh ke arah Langit. “Kenapa kau masih disini?"

Rigala sedikit terkejut kala ia melihat wajah Daraya dengan jelas.

Ia mengangkat bahu malas, mengubah sikapnya kembali ke setelan awalnya, bersikap acuh.

“Pak tua. Kau ingin aku meninggalkanmu begitu saja di sana?”

Daraya tersenyum masam, mencoba mengabaikan rasa sakit akibat luka tembaknya.

“Kamu lebih berani dari kebanyakan orang ternyata.”

"Well, paman sendiri tahu kalau banyak yang mengincar keluargaku."

"Ah, ya. Ayah mu kan di cap penghianat oleh Pentag0n dan ibu mu menghianati C1A."

"Hm. Btw, paman mau aku antar ke rumah sakit atau ke mansion?"

"Tidak keduanya. Bisakah kamu antar saya ke perusahaan saya? Letaknya di jalan XXX."

Rigala mengangguk dan mulai membopong pria yang lebih tinggi 25 centi darinya itu. Walau sedikit sulit, Rigala berhasil menuntun pria itu ke motornya.

"Paman, kau masih kuat untuk pegangan kan? Aku akan ngebut soalnya."

"Ya. Tolong hati-hati."

"Um."

Dengan begitu, Rigala melajujan motornya dengan kecepatan tinggi namun sedikit lebih pelan dari kecepatan yang biasanya.

<>

Sesampainya di perusahaan cabang, Satpam dan resepsionis yang berjaga di kejutkan dengan keadaan berdarah boss mereka.

Dengan panik, satpam yang berjaga itu membantu Rigala untuk membopong Daraya, sementara salah satu resepsionis yang peka dengan cepat menelpon atasannya, Kenan. Lalu menelpon dokter pribadi Daraya, Andrea, atas perintah Kenan.

Daraya pun di bawa ke kamar pribadinya yang berada di lantai teratas yang tersambung dengan ruang kerja dirinya dan Kenan.

"RAYA! KALIAN CEPAT LETAKAN IA DI MARI!" Ucap Kenan dengan panik mengarahkan satpam dan Rigala yang membopong Daraya untuk meletakkan pria itu di Kamar pribadinya.

Setelah Daraya berhasil di dudukkan di kasur, Kenan mengusir satpam itu dan dengan cekatan merobek setelan yang di pakai Daraya untuk melihat kondisi lukanya.

"Sial. Sepertinya dalam."

Rigala yang berada di samping pria itu pun menatap luka-luka di tubuh duda dua anak itu dengan ekspresi nostalgia. Ia teringat kondisi mendiang ayahnya sebelum meninggal sama seperti itu. Bedanya, lebih banyak peluru yang bersarang di tubuh ayahnya saat itu.

3 luka peluru, 1 di bahu kiri, 2 di area pinggang dan 5 luka sayatan.

"Ah... Pola sayatan ini..."

"Un. Mereka mulai bergerak."

Rigala tak tahu siapa 'mereka' yang Daraya maksud, yang pasti adalah ia dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah Kenan yang berubah menjadi sangat serius. Auranya tak main-main. Sedikit tak menyangka karena paman Kenan yang ia kenal adalah sosok pria yang ceria dan selalu bertingkah aneh.

BRAK!

"RAYA!!"

Andrea datang dengan panik. Tanpa basa-basi, ia segera mengeluarkan peralatan yang ia bawa.

Andrea langsung melakukan operasi pengeluaran peluru tanpa membius Daraya terlebih dahulu karena pria itu terbiasa melakukannya tanpa dibius.

"Apa paman tak apa, melakukannya tanpa di bius?" Tanya Rigala sedikit penasaran

"Hn. Sudah biasa."

"Oh..."

"Ugh. Ini cukup dalam." Gumam Andrea setelah mengeluarkan salah satu peluru.

Setelah beberapa saat, Andrea berhasil mengeluarkan dua peluru sisanya. Dia mulai membersihkan luka itu baru menjahitnya satu persatu.

"Pheww."

Andrea mengusap keningnya yang berkeringat, padahal ruangan itu suhunya cukup rendah karena pendingin ruangan.

"Paman, aku akan pulang." Ucap Rigala memcah keheningan yang entah sejak kapan terjadi itu.

"Tak ingin menginap?"

"Lain kali. Ada kejuaraan renang besok."

"Oh. Kalau begitu semangat. Jika kau menang aku akan mentraktir mu."

"Terimakasih. Aku selalu menang."

"Hmph. Percaya diri sekali kau bocah."

"Memang kenyataannya begitu."

"Cih. Ngomong-ngomong, terimakasih."

"Um, sama-sama."

"Berhati-hati lah saat pulang."

"Ya. Cepatlah sembuh, pak tua."

"Sekali lagi, terimakasih."

"Terimakasih kembali. Kalau begitu, aku pergi sekarang."

"Ya."

Dengan begitu, Rigala pun pergi meninggalkan ketiga pria itu yang kembali terjebak dalam keheningan yang berat.

.

.

.

Tbc

DARAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang